Puasa, Kedewasaan, dan Korupsi
Oleh: Arfanda Siregar,
Direktur Islamic Center Ali Bin Abi Tholib; Dosen Politeknik Negeri Medan
Ramadhan melatih umat Islam meningkatkan derajat kepribadian menjadi manusia dewasa, dengan berbagai amal dan ibadah yang dapat memenuhi kebutuhan rohani.
Puasa Ramadhan merupakan proses mendewasakan diri umat Islam supaya menggapai derajat takwa, seperti pesan Surat Al-Baqarah. Dalam konteks agama Islam, derajat takwa hanya dapat dicapai oleh orang dewasa. Anak-anak, meskipun menjalankan ibadah puasa, tidak bakal mencapai derajat takwa karena taklif (beban) menjalankan ibadah, termasuk berpuasa, belum wajb mereka kerjakan.
Berdasar psikologi perkembangan (development psychology), kebutuhan manusia selalu berubah sepanjang waktu seiring perkembangan kepribadiannya. Pada tahap awal perkembangan atau masa anak-anak, kebutuhan manusia hanya untuk pemenuhan hal yang konkret. Pada tahap ini, sifat pemenuhannya harus sesegera mungkin dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Anak-anak kerap menangis ketika keinginannya tak dituruti oleh orangtua.
Baca juga Putus Sekolah dan Pembangunan Berkelanjutan
Sigmund Freud membagi tiga tahap perkembangan kepribadian pada masa anak-anak. Freud mengistilahkan tahap pertama perkembangan kepribadian sebagai periode oral. Anak–anak merasa nikmat dan nyaman ketika memasukkan sesuatu ke mulut. Pada periode ini hampir semua aktivitas anak memasukkan sesuatu ke mulut. Apa saja yang ada di sekitar, selama dapat digenggam oleh tangannya dimasukkan ke mulut. Bahkan, ketika tidak ada lagi benda yang dapat diraih, tangan sendiri akan dimasukkan ke mulut.
Pada fase kedua, kenikmatan tidak hanya terletak pada mulut. Dia mendapatkan kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. Seperti ketika buang air besar atau buang air kecil. Anak-anak senang memainkan kotorannya. Bahkan, sebagian anak ada yang sampai memasukan fesesnya ke mulut. Fase ini diistilahkan Freud dengan periode anal.
Baca juga Aksi Perundungan Siswa Semakin Mencemaskan
Sementara fase yang ketiga biasa disebut dengan periode genital. Pada periode ini, anak sudah memulai mempersiapkan diri menjadi orang yang dewasa. Anak mulai mempermainkan alat kelamin dan mempertontonkannya kepada orangtua serta anggota keluarganya.
Apa yang digambarkan Freud dalam teori perkembangan psikologi manusia tersebut menyatakan bahwa seluruh fase perkembangan psikologi masa anak-anak hanya sebatas memenuhi kebutuhan fisik semata. Atau dengan kata lain, tingkat kepuasan anak-anak berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik ansich.
Baca juga Etika Penggunaan AI dalam Jurnalisme
Padahal, kenyataannya tidak demikian. Semakin dewasa manusia, semakin abstrak kebutuhannya. Semakin tua umur seseorang, kebutuhannya terhadap materi kian berkurang. Kemampuan orangtua menikmati materi kian berkurang seiring berkurangnya kekuatan fisik. Orangtua lebih cenderung mempersiapkan kematian ketimbang kehidupan.
Abraham Moslow menggambarkan tingkat kebutuhan manusia dengan sebuah piramida. Bahwa, semakin ke puncak akan semakin abstrak kebutuhan manusia. Pada fondasi, manusia hanya membutuhkan makanan dan minuman. Semakin ke puncak, manusia malah membutuhkan hal–hal yang abstrak, seperti kasih sayang, ketenteraman, keamanan, penghargaan, keakraban dari sosial masyarakat, hingga kebutuhan aktualisasi diri.
Terhambat perkembangan kepribadian
Sebagian besar manusia sering kali terhambat perkembangan kepribadiannya dan gagal mencapai puncak piramida Maslow. Misalnya, ada orang yang fase perkembangannya hanya sampai oral saja, padahal sesungguhnya secara fisik ia sudah dewasa. Dia merasa kenikmatan hidup ini hanya sebatas pemenuhan kebutuhan perut dan bawah perut. Demi kenikmatan hidup, menghalalkan segala cara mencapainya.
Freud mengatakan bahwa orang yang mengalami hambatan perkembangan kepribadian diistilahkan mengalamai fiksasi. Orang yang terkena fiksasi, seperti halnya orang yang terkena sakit jiwa. Mereka hanya mengejar kenikmatan dalam makan, minum, hubungan seks, dan prilaku hedonis. Mereka seperti anak–anak, walau secara fisik sudah dewasa, tetapi tanpa perasaan malu oleh tatapan orang lain.
Baca juga Zaman Ruwaibidhah
Para koruptor termasuk mengalami hambatan fiksasi. Meskipun berusia tua, bahkan ada yang mulai pikun, tetapi masih rakus dengan uang. Kekayaan yang sudah selangit tak membuatnya berhenti korupsi di usia tua. Bukannya mendekatkan diri kepada Tuhan di masjid, malah menjadi binaan aparat hukum di sel penjara.
Perkembangan psikologi orang seperti itu tertahan pada fase kedua, yaitu merasa nikmat melihat melihat kotoran. Tumpukan kekayaan yang dimilikinya merupakan pemuliaan atau sublimasi dari kenikmatan melihat kotoran. Bukankah kekayaan yang bertumpuk–tumpuk tersebut hanya bisa dipandang saja seperti setumpuk kotoran?
Baca juga Mengejar “Ketertinggalan” Pendidikan
Pada sisi lain, manusia yang tidak mengalami fiksasi akan beralih kepada pemenuhan kebutuhan yang lebih abstrak, seperti yang digambarkan Maslow. Semakin dewasa seseorang, semakin ”lapar” memenuhi kebutuhan yang memuaskan kebutuhan abstarknya. Mengutip istilah Kang Jalal pada bukunya ”Madrasah Ruhaniah” disebut al-takamul al–ruhani, proses penyempurnaan spiritual. Itulah sebenarnya tingkat paling tinggi kebutuhan manusia.
Momen Ramadhan
Ramadhan melatih umat Islam meningkatkan derajat kepribadian menjadi manusia dewasa. Bulan Ramadhan melatih umat Islam meninggalkan fase oral, anal, dan genital untuk mi’raz ke tingkat pemenuhan kebutuhan rohaniah sebagai tingkat kedewasaan manusia. Fase oral orang berpuasa dikekang. Hanya saat berbuka sampai sahur mereka boleh makan dan minum. Demikian juga fase genital, nafsu syahwat hanya bisa disalurkan kepada pasangan ketika waktu berbuka sampai sahur. Lewat waktu itu, orang berpuasa diharamkan memenuhi kebutuhan oral dan genital.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam dilatih untuk menjadi dewasa dengan berbagai amal dan ibadah yang dapat memenuhi kebutuhan rohani. Manusia merupakan gabungan jasmani dan rohani, tetapi sering kali kebutuhan rohani dikesampingkan sehingga membuat jiwa manusia menjadi kering. Jika hal ini sukses dilakukan, puasa Ramadhan pasti akan menghasilkan manusia dewasa (takwa), bukan para koruptor yang sesungguhnya hanya berpenampilan dewasa, tetapi sesungguhnya masih berkepribadian anak-anak yang belum bisa membedakan antara kotoran dan makanan.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Rabu 20 April 2022
Baca juga Penguatan Moderasi Beragama