20/03/2024

Putus Sekolah dan Pembangunan Berkelanjutan

Oleh Agus Suwignyo,
Pedagog cum Sejarawan Pendidikan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Meningkatnya angka putus sekolah sangat mungkin berkaitan dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan ekonomi penduduk.

Hingga hari ini, Indonesia masih terus berjuang mengatasi aneka persoalan pemerataan pendidikan. Salah satunya, tingginya angka putus sekolah. Meningkatnya angka putus sekolah merupakan ancaman serius bagi pembangunan berkelanjutan dan target Indonesia Emas 2045.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada Juni 2023 angka putus SD mencapai 0,13 persen, SMP 1,06 persen, dan SMA 1,38 persen (Kompas.com, 26/6/2023). Angka nominalnya sangat besar karena pada periode yang sama jumlah total murid SD mencapai 24.035.934 orang, SMP 9.970.737 orang, dan SMA 5.317.975 orang (Monavia Ayu Rizaty, 2023). Belum terhitung sekolah kejuruan dan lembaga pendidikan sebelum SD.

Baca juga Aksi Perundungan Siswa Semakin Mencemaskan

Data 2023 itu tak jauh berbeda dengan situasi pada tahun-tahun sebelumnya. Analisis Litbang Kompas menunjukkan, dalam rentang 2016-2022, jumlah anak putus sekolah mengalami fluktuasi (Kompas. id, 7/6/2022). Namun, persentasenya cenderung naik dalam tiga tahun terakhir. Meski pandemi Covid-19 mungkin faktor penyumbang peningkatan angka putus sekolah, hal itu bukan satu-satunya.

Jika diperhatikan, peningkatan angka putus sekolah terjadi dalam periode yang sama dengan meningkatnya indeks ketimpangan pendapatan ekonomi, yang diukur dengan rasio gini. Berdasarkan data BPS, pada Maret 2023 indeks rasio gini Indonesia untuk wilayah perkotaan 0,409 dan wilayah perkotaan-perdesaan 0,388.

Baca juga Etika Penggunaan AI dalam Jurnalisme

Angka ini meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022, 2021, dan 2020. Hanya rasio gini di wilayah perdesaan yang relatif tetap, yaitu 0,313 (BPS, 2023).

Dengan semua data itu, dapat dikatakan, meningkatnya angka putus sekolah sangat mungkin berkaitan dengan meningkatnya ketimpangan pendapatan ekonomi penduduk usia produktif yang memiliki anak usia sekolah.

Baca juga Zaman Ruwaibidhah

Pembagian Kartu Indonesia Pintar (KIP) bisa saja menaikkan angka partisipasi kasar dan partisipasi murni pendidikan sebagaimana dikatakan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Meski demikian, dampak KIP hanya bersifat sementara dan tak efektif menghilangkan akar persoalan putus sekolah.

Sinkronisasi kebijakan

Survei awal yang penulis lakukan menunjukkan, besarnya pendapatan asli suatu daerah (PAD) dan anggaran pendapatan dan belanja suatu daerah (APBD) tak menjamin daerah itu terbebas dari masalah anak putus sekolah. Bahkan ada kecenderungan daerah-daerah yang memiliki pusat-pusat perekonomian skala besar memiliki potensi kerentanan anak putus sekolah yang tinggi.

Sebagai contoh, lima provinsi yang memiliki jumlah kasus anak putus sekolah tertinggi, yaitu berturut-turut Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, secara kumulatif merupakan penyumbang sekitar 70 persen kekuatan ekonomi nasional (Kompas.id, 7/6/2022).

Baca juga Mengejar “Ketertinggalan” Pendidikan

Melihat fakta-fakta ini, mengatasi ”ketimpangan” pendapatan ekonomi di antara penduduk di suatu wilayah sangat krusial untuk menyelesaikan persoalan putus sekolah hingga ke akar-akarnya.

Faktor lain yang juga sangat penting adalah membenahi manajemen kebijakan pendidikan, khususnya terkait anggaran. Selama ini hampir setengah jumlah anggaran pendidikan nasional dari APBN dikelola dan dikendalikan pemerintah pusat. Misalnya, dari alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2024 yang Rp 660,8 triliun, sejumlah Rp 237,3 triliun merupakan belanja pendidikan pemerintah pusat (Puslapdik Kemendikbudristek, 2023).

Baca juga Penguatan Moderasi Beragama

Di sisi lain, banyak pemerintah daerah cenderung tak menyediakan alokasi anggaran yang memadai untuk sektor pendidikan pada APBD masing-masing. Pemerintah di beberapa daerah bahkan terkesan beranggapan bahwa pembiayaan pendidikan di wilayahnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.

Padahal, sejak ditetapkannya UU Sisdiknas tahun 2003 dan UU Pemerintahan Daerah tahun 2004, tanggung jawab atas pengembangan pendidikan dasar di suatu kabupaten/kota ada pada pemerintah kabupaten/kota, dan tanggung jawab atas pendidikan menengah pada pemerintah provinsi.

Baca juga Pendidikan untuk Perdamaian yang Berkelanjutan

Karena itu, harus ada pembenahan koordinasi dalam pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota secara lebih tegas, khususnya terkait alokasi dan pemanfaatan anggaran pendidikan. Sinkronisasi berjenjang cara kerja pemerintah tersebut perlu untuk memitigasi akar-akar persoalan pemerataan pendidikan.

Optimalisasi ”kuliah kerja nyata”

Upaya yang juga sangat layak dilakukan pemerintah adalah melibatkan perguruan tinggi melalui program kuliah kerja nyata (KKN). Pada masa lalu pernah ada program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTN) dan Indonesia Mengajar. Program-program itu sangat membantu pemerintah mengatasi keterbatasan akses pendidikan pada masanya. Namun, keberlanjutan program ini memerlukan sumber pendanaan yang besar dan berdaya tahan.

Saat ini hampir semua perguruan tinggi di Indonesia, yang jumlahnya sekitar 2.800 institusi, memiliki mata kuliah KKN pada kurikulumnya. Puluhan ribu mahasiswa diterjunkan dalam program KKN ini. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada menerjunkan sekitar 8.000 mahasiswa KKN setiap tahun, tersebar ke semua provinsi.

Baca juga Terang Peradaban melalui Buku

Namun, tak semua pemda cukup jeli mengoptimalkan KKN mahasiswa untuk mengatasi persoalan putus sekolah meski hampir semua daerah menghadapi persoalan itu.

Dalam hal ini, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, merupakan satu dari sangat sedikit pemerintah daerah yang secara eksplisit mengundang perguruan tinggi agar mengirimkan mahasiswa KKN untuk membantu mengatasi persoalan putus sekolah di wilayahnya.

Baca juga Negara dan Peran Akademisi

Dari 15 kecamatan yang diusulkan Kabupaten Banyuwangi sebagai wilayah KKN UGM tahun 2024, misalnya, 10 wilayah mengajukan tema ”penanganan anak putus sekolah” (Direktorat PkM UGM, 2024). Jika banyak pemerintah daerah menyadari ancaman serius persoalan putus sekolah, program pembangunan berkelanjutan Indonesia rasanya akan lebih cerah ke depan.

*Artikel ini terbit di kompas.id, Jumat 23 Februari 2024

Baca juga Beragama Maslahat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *