Mencegah Perundungan di Sekolah: dari Kebijakan ke Gerakan
Oleh: Arie Hendrawan,
Kepala SMA Islam Al Azhar 14 Semarang
Data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa kasus bullying (perundungan) di sekolah masih menjadi teror bagi anak-anak. Dari data tersebut diketahui, terjadi 226 kasus perundungan pada 2022, meningkat signifikan jika dibandingkan pada 2021 yang hanya 53 kasus.
Situasi ini tentu menimbulkan keprihatinan yang sangat mendalam, apalagi sekolah semestinya dapat menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi murid. Oleh karena itu, dalam Merdeka Belajar Episode 25, Kemdikbudristek berpusat pada regulasi dengan meluncurkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Baca juga Membendung Perundungan dengan Sinergitas Tripusat Pendidikan
Di samping menghilangkan area “abu-abu” dengan memberikan definisi yang jelas untuk berbagai jenis kekerasan, Permendikbudristek PPKSP juga “mengamanatkan” pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di tingkat satuan pendidikan serta Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Satgas PPK) pada domain pemerintah daerah.
TPPK dan Satgas harus dibentuk dalam waktu 6 hingga 12 bulan setelah peraturan diundangkan untuk memastikan penanganan yang cepat terhadap kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Pada konteks satuan pendidikan, keanggotaan TPPK terdiri atas unsur pendidik, perwakilan wali murid, dan jika dibutuhkan juga bisa ditambah dari tenaga kependidikan.
Baca juga Merindukan Kebiasaan Membaca Buku di Mana Saja
Sebagai upaya mencegah dan menangani kasus perundungan di sekolah, policy di atas patut diapresiasi. Namun, juga penting diingat bahwa perundungan merupakan masalah kompleks yang mempunyai banyak “irisan”, sehingga tidak dapat diatasi hanya dengan satu pendekatan. Jika pendekatan TPPK lebih bersifat top-bottom, maka juga diperlukan pendekatan lain yang berorientasi bottom-up.
Pendekatan Alternatif
Salah satu pendekatan alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui Roots, yakni sebuah program yang dilaksanakan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah dengan “mengaktivasi” peran siswa sebagai agen perubahan. Program Roots sendiri dikembangkan UNICEF Indonesia bersama pemerintah, akademisi, praktisi pendidikan, dan perlindungan anak.
Inovasi dalam program Roots adalah keterlibatan anak yang sangat besar sebagai agen perubahan. Hal itu dilakukan menggunakan sistem pemetaan “jaringan sosial” untuk memilih anak-anak yang paling didengar dan berpengaruh. Pemilihan agen perubahan menjadi “otonomi” peserta didik. Sebelumnya, diadakan survei awal tentang kondisi perundungan di lingkungan sekolah.
Baca juga Selepas Ramadhan Berlalu
Setelah agen perubahan terpilih, tahap selanjutnya adalah memberikan pelatihan kepada mereka. Program pelatihan dilakukan oleh fasilitator yang berasal dari guru atau pembina ekstrakurikuler. Paling tidak, ada 15 kali pertemuan pelatihan yang dilaksanakan satu kali dalam seminggu, sehingga program diestimasikan akan berjalan selama satu semester.
Ketika sesi pelatihan telah selesai dilaksanakan, agen perubahan mulai melakukan kampanye anti perundungan. Puncak dari kegiatan kampanye adalah perayaan anti perundungan (Roots Day) yang diikuti seluruh warga sekolah. Berbagai ide kreatif secara berdiferensiasi bisa ditampilkan saat kampanye, seperti pertunjukan musik, drama, tari, pameran visual, hingga deklarasi anti perundungan.
Baca juga Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual
Program Roots ditutup dengan survei ulang untuk melihat ada-tidaknya perubahan pada tingkat kasus perundungan. Jika program berhasil, maka angka kasus bullying akan turun. Namun, jika semakin banyak yang melaporkan kasus juga dapat berarti warga sekolah semakin peduli dengan masalah perundungan. Selain itu, evaluasi tetap harus dilakukan untuk menundukung kesinambungan program.
Strategi mengatasi perundungan di sekolah dengan program Roots diharapkan akan menimbulkan dampak besar, sebab “merestorasi” paradigma anti perundungan dari sekadar kebijakan, menjadi sebuah “gerakan”. Kebijakan, mengacu pada langkah-langkah konkret dari atas, sedangkan gerakan lebih menitikberatkan pada upaya kolektif akar rumput untuk mencapai perubahan yang berdampak.
Kepemimpinan Murid
Selanjutnya, program Roots juga menumbuhkan kepemimpinan murid (stundent agency). Konsep student agency awalnya diterapkan pada konteks pembelajaran di kelas, tetapi sebenarnya bisa dikembangkan pada level sekolah. Dengan demikian, student agency akan menciptakan rasa memiliki murid (ownership) atas program sekolah, alih-alih hanya terhadap proses pembelajaran.
Student agency berangkat dari optimisme bahwa setiap peserta didik mempunyai kemampuan dan keinginan untuk berperan aktif, sehingga dapat ditempatkan pada posisi pemegang kemudi. Jadi, program Roots yang mendorong keterlibatan anak kompatibel dengan tiga aspek dalam student agency, yakni suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership).
Baca juga Memimpikan Kurikulum Inklusif
Suara (voice), digambarkan bahwa dalam upaya mengatasi masalah perundungan di sekolah, murid tidak hanya mendapatkan kesempatan untuk mengkomunikasikan ide dan aspirasinya, tetapi juga diberdayakan agar memiliki kekuatan untuk berdampak (membawa suatu perubahan). Pemberdayaan yang dilakukan dalam Roots adalah dengan memberikan mereka peran kunci sebagai agen perubahan.
Berikutnya, pilihan (choice), merupakan upaya untuk mendorong murid mengambil peran dan tanggung jawab dalam sebuah program. Pada konteks Roots, peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memilih agen perubahan dan bagaimana kampanye anti perundungan itu dirayakan. Murid bebas menampilkan berbagai karya sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Baca juga Meraih Kemenangan Hakiki Berbasis Ekologi
Terakhir, kepemilikan (ownership), mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan minat murid terhadap program yang mereka laksanakan. Ketika murid telah merasakan ownership, maka akan tercipta tanggung jawab, kemudian disusul dengan kesadaran. Hal tersebut yang melahirkan “motivasi intrinsik” dan setiap orang yang bertindak dengan motivasi intrinsik akan lebih persisten.
Pada muaranya, kesadaran yang tumbuh dalam diri setiap murid akan menghasilkan energi besar pada gerakan anti perundungan di sekolah untuk “membudaya”. Artinya, menjadi bagian yang melekat dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan sekolah dan mempengaruhi cara pandang, perilaku, serta nilai-nilai yang dianut. Meski proses tersebut membutuhkan waktu, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
*Artikel ini terbit di detik.com, Jumat, 12 Jan 2024
Baca juga ”Toxic Masculinity”: Epidemik Perundungan di Kalangan Remaja