29/04/2024

Merindukan Kebiasaan Membaca Buku di Mana Saja

Oleh: Romi Febriyanto Saputro,
Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Ketika duduk di stasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Paragraf di atas adalah bait pembuka puisi karya Taufik Ismail yang berjudul Kupu-Kupu di Dalam Buku. Puisi ini berada di halaman 167 dari sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul Malu Aku Jadi Orang Indonesia: Seratus Puisi Taufik Ismail. Buku ini diterbitkan oleh Cakrawala Budaya Indonesia pada 2008.

Puisi ini merupakan sebuah puisi yang paling berkesan bagi saya yang bekerja di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen. Pada 2013, saya bersama teman-teman pejuang literasi di Kabupaten Sragen pernah menyelenggarakan lomba membaca puisi Kupu-Kupu di Dalam Buku. Energi literasi dalam puisi sangat kental dan bergizi tinggi. Energi inilah yang saya harapkan mengalir ke anak-anak bangsa dan bapak-ibu bangsa yang tempo hari mengikuti gelaran pesta demokrasi 2024.

Baca juga Selepas Ramadhan Berlalu

Bait pertama ini merupakan sebuah harapan pencipta puisi agar budaya membaca buku menjadi sebuah kebiasaan baik di balai desa, ruang tunggu praktik dokter, terminal bis, dan gerbong kereta api. Memberikan kesempatan membaca buku kepada siapa saja merupakan tanggung jawab pemerintah bersama semua elemen bangsa. Membuka akses membaca buku dapat dilakukan dengan membuka perpustakaan desa di balai desa dan pojok baca di terminal bus, stasiun kereta , dan ruang tunggu praktik dokter.

Bait pertama ini menggugah kepedulian pemerintah level terbawah, kepala desa, dan perangkat desa agar memiliki political will membangun budaya literasi di desa dengan perpustakaan desa. Pemerintah desa memiliki kewajiban untuk membangun perpustakaan desa dan tidak ada lagi alasan untuk menghindar karena tidak punya dana. Dana Desa saat ini sudah diperbolehkan untuk membangun perpustakaan desa.

Baca juga Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual

Membangun literasi di desa harus dipahami secara utuh. Artinya diperlukan gedung perpustakaan, pengelola, buku, promosi, komputer, dan anggaran yang jelas. Jika anggaran saja tidak jelas bagaimana mungkin perpustakaan desa bisa berkembang. Pepatah Jawa mengatakan jer basuki mawa bea yang artinya segala sesuatu itu membutuhkan biaya termasuk dalam membangun budaya baca di desa.

Literasi adalah urusan negara bukan hanya urusan para pegiat literasi yang dengan sukarela menjajakan buku untuk dipinjamkan ke seluruh pelosok desa. Apresiasi kepada para pegiat literasi perlu didukung dengan menguatkan kedudukan perpustakaan desa. Inilah yang disebut dengan kolaborasi yang indah antara negara dan masyarakat. Negara juga harus berlari kencang seperti larinya para pegiat literasi dalam membangun budaya baca.

Perpustakaan

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Alenia di atas adalah bait kedua dari Kupu-Kupu di Dalam Buku. Ada kesamaan antara bait pertama dan bait kedua diakhiri dengan kalimat dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang. Kalimat yang hampir sama juga muncul di bait-bait selanjutnya yang akan diulas nanti. Ini menandakan bahwa harapan penulis puisi ketika menulis puisi belum terpenuhi bahkan hingga saat ini.

Baca juga Memimpikan Kurikulum Inklusif

Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca Perpustakaan Nasional, Adin Bondar sebagaimana dilansir oleh validnews.id, 11 September 2020 mengklaim tidak ada masalah dengan minat membaca masyarakat. Ketersediaan buku yang siap untuk dibaca masyarakat inilah yang menjadi kendala. Hal ini semakin terasa ketika jumlah perpustakaan yang dipersepsikan memenuhi standar nasional baru mencapai angka 19,48 persen dan yang terakreditasi secara resmi oleh Lembaga Akreditasi Perpustakaan Nasional RI baru mencapai 0,58 persen.

Selain itu, Jumlah tenaga perpustakaan di Tanah Air masih memprihatinkan karena setiap satu tenaga perpustakaan harus melayani 21.035 penduduk. Kesimpulannya, bukan masyarakat yang tidak mau membaca tetapi lebih karena perpustakaan belum serius dipersiapkan pemerintah untuk memberikan layanan yang terbaik.

Baca juga Meraih Kemenangan Hakiki Berbasis Ekologi

Perpustakaan sudah sejak lama menjadi urusan wajib pemerintah bukan pelayanan dasar. Narasi bukan pelayanan dasar inilah yang menjadikan beberapa pemerintah daerah di Tanah Air masih belum merasa wajib untuk mengurus perpustakaan dengan baik.

Toko Buku

Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang.

Bait ketiga merupakan dampak dari bait pertama dan kedua. Ketika budaya literasi dan budaya membangun perpustakaan berjalan dengan baik, maka industri perbukuan akan tumbuh dengan baik. Sebuah harapan Taufik Ismail yang pada zaman digital ini lebih sulit untuk terpenuhi. Ketika masyarakat dan penguasa lebih sibuk membaca media sosial, gairah membeli buku pun ikut terbanting.

Baca juga ”Toxic Masculinity”: Epidemik Perundungan di Kalangan Remaja

Tutupnya Toko Buku Gunung Agung merupakan indikasi bahwa kebijakan pemerintah tidak memihak industri perbukuan. Seperti diberitakan timisindonesia.co.id pada 22 Februari 2022, pasar buku di Indonesia mengalami penurunan signifikan pada masa pandemi. Berdasarkan survei internal Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), 60 persen penerbit mengalami penurunan penjualan mencapai 50 persen.

Sebanyak 30 persen penerbit penjualannya turun 30 persen. Sedangkan sisanya angka penjualannya turun 10 persen. Kondisi ekonomi pelaku usaha jasa penerbitan semakin terpuruk, menyusul turunnya pesanan percetakan dari pemerintah. Padahal sebelum pandemi nilai pesanan dari pemerintah mencapai Rp10 Triliun setiap tahun.

Keluarga

Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya,dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu puterinya, kemudian katanya, “Tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu,” dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang.

Bait keempat puisi Kupu-Kupu di Dalam Buku pada paragraf di atas merupakan visi puisi ini bahwa keluarga merupakan salah satu kunci utama untuk membangkitkan literasi. Menurut Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dikutip Neni Yohana (2017), lingkungan keluarga adalah suatu tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan dan sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya daripada pusat yang lainnya untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai bekal hidup bermasyarakat.

Baca juga Hijrah dalam Berkomunikasi Menuju Harmoni

Sinergi antara keluarga, sekolah dan masyarakat adalah sebuah keniscayaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluarga adalah pusat pendidikan pertama yang ditemui oleh setiap anak manusia. Sekolah adalah pusat pendidikan kedua bagi anak bangsa sebagai bekal untuk memakmurkan tanah kelahiran. Hidup bermasyarakat adalah pusat pendidikan ketiga untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah maupun keluarga.

Gelora Membaca

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.

Puisi Kupu-Kupu di Dalam Buku ditutup dengan bait kelima seperti termaktub dalam alenia di atas. Bait kelima menegaskan sekali lagi bahwa membaca buku adalah aktivitas penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bahkan pada zaman digital sekalipun. Nicholas Carr (2011) dalam buku The Shallows mengatakan bahwa internet memang memberikan kemudahan dan kesenangan, tetapi juga mengorbankan kemampuan berpikir secara mendalam.

Baca juga Ramadhan, Konstitusionalisasi Agama, dan Bernegara Otentik

Membaca buku cetak membuat kita dapat memfokuskan perhatian, mendorong aktivitas berpikir kritis dan kreatif. Sebaliknya, internet memaksa kita menelan informasi secara instan, cepat dan massal sehingga membuat pikiran kita mudah teralihkan. Kita terbiasa membaca serba cepat dan serba kilat menyaring informasi, tetapi kita juga kehilangan kapasitas untuk berkonsentrasi, merenung, dan berpikir kritis.

*Artikel ini terbit di detik.com, Jumat 23 Februari 2024

Baca juga Investasi pada Guru untuk Pendidikan Berkualitas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *