Meraih Kemenangan Hakiki Berbasis Ekologi
Oleh: Nanang Hasan Susanto,
Dosen dan Kepala Pusat Moderasi Beragama Universitas Islam Negeri KH Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah
Idul Fitri merupakan hari kemenangan umat Islam. Berbeda dengan kemenangan pada sebuah pertandingan yang belum tentu didapatkan, kemenangan Idul Fitri secara simbolis merupakan sebuah kepastian.
Semua Muslim, termasuk yang tidak puasa Ramadhan sekalipun, ikut merayakan Idul Fitri. Makna yang secara umum dikenal luas dalam memaknai Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah (jati diri). Kembali kepada fitrah idealnya didapatkan setelah sebulan penuh melatih kepekaan spiritualitas. Kembali kepada fitrah inilah yang diyakini layak untuk dirayakan sebagai kemenangan hakiki.
Baca juga ”Toxic Masculinity”: Epidemik Perundungan di Kalangan Remaja
Kepekaan spiritualitas yang mengantarkan seorang Muslim kepada fitrah (kemenangan hakiki) seharusnya meneguhkan kesadaran keberadaannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari alam. Saat ini, salah satu isu krusial adalah isu perubahan iklim. Pada pertengahan 2023, Sekjen PBB Antonio Gutteres menyampaikan bahwa era pemanasan global (global warming) telah berakhir, berganti era pendidihan global (global boiling).
Perubahan iklim terus bergerak cukup cepat. Padahal, setiap tahun diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim (COP). Banyak negara sudah berupaya menekan produksi emisi gas rumah kaca (GRK) mereka melalui Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (National Determined Contribution/NDC). Namun, hasilnya belum sesuai dengan harapan.
Baca juga Hijrah dalam Berkomunikasi Menuju Harmoni
Paris Agreement 2015 menargetkan, masing-masing negara maksimal menghasilkan 1,5 derajat celsius di atas level praindustri. Namun, faktanya, pada 2023 rata-rata temperatur global mencapai 1,8 derajat celsius dan diprediksi akan terus semakin panas.
Bumi semakin panas. Kehidupan semakin tidak nyaman. Berbagai bencana kita saksikan terjadi. Belum lama ini, terjadi angin puting beliung dengan kecepatan tinggi, 36 kilometer per jam, di daerah Sumedang-Bandung, Jawa Barat. Menurut ilmuwan, pemicunya adalah meningkatnya suhu di kawasan tersebut.
Baca juga Ramadhan, Konstitusionalisasi Agama, dan Bernegara Otentik
Tidak hanya itu, perubahan iklim membuat cuaca semakin tidak menentu. Para pelaut semakin susah mencari ikan. Tidak sedikit di antaranya yang menjadi korban keganasan ombak. Es kutub terus mencair, membuat air laut terus naik. Saat bersamaan, isi bumi, termasuk air, terus dieksplotasi, membuat permukaan bumi terus menurun.
Banjir di mana-mana. Sungai banyak yang mengering. Gagal panen di mana-mana, membuat harga beras dan sayuran semakin mahal. Ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan orang di bumi meninggalkan tempat tinggalnya yang menjadi langganan banjir. Mereka mencari tempat yang lebih tinggi dan nyaman.
Baca juga Investasi pada Guru untuk Pendidikan Berkualitas
Berbagai problem di atas sangat nyata dan menimpa semua umat manusia tanpa terkecuali. Seharusnya, jika seorang Muslim betul-betul kembali kepada fitrah, maka berbagai problem di atas menjadi perhatian mendalam. Kembali kepada fitrah membuat Muslim menyadari jaticdirinya sebagai bagian tidak terpisahkan dari alam secara kosmos. Kesadaran ini menuntut tumbuhnya kepekaan terhadap lingkungan (ekologi).
Kesadaran ekologi ini dapat mendorong seorang Muslim untuk melakukan tindakan perduli lingkungan. Misalnya hemat energi dengan mematikan peralatan elektronik yang tidak digunakan dan memilih kendaraan yang energinya lebih efisien. Mengurangi emisi gas rumah kaca dengan memilih transportasi umum, bersepeda, atau jalan kaki.
Baca juga Tragedi Gaza dan Masa Depan Geopolitik Global
Juga ikut berpartisipasi aktif mencegah pembakaran hutan. Mendukung penggunaan energi terbarukan seperti matahari, angin dan air, menggantikan bahan bakar fosil. Mengurangi limbah dengan mendaur ulang dan meminimalkan penggunaan sampah, khususnya plastik. Mengedukasi diri sendiri dan orang lain, terkait bahaya perubahan iklim. Melakukan penghijauan dan mendukung kebijakan pemerintah yang ramah lingkungan.
Menurut Liobikiene (2016), agama dan spiritual merupakan kekuatan yang cukup besar untuk mendorong gerakan perduli lingkungan. Tidak kurang dari 70 persen penduduk dunia terdiri atas kalangan agamawan. Saat bersamaan, agama melalui berbagai peranti sakralnya memiliki kekuatan besar yang dapat mendorong umatnya untuk melakukan tindakan sosial tertentu. Gerakan perduli lingkungan mau tidak mau, harus bekerja sama dengan para tokoh agama, agar memiliki dukungan dan kekuatan besar.
Baca juga Membumikan Perjanjian Al-Mizan
Melalui kerja sama dengan para tokoh agama, maka isu kepedulian lingkungan dapat diselipkan para tokoh agama kepada umat agamanya masing-masing. Para tokoh agama perlu diberikan informasi kondisi bumi yang kian parah dan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Tidak dapat dimungkiri, untuk negara religious seperti Indonesia, tokoh agama memiliki peran cukup vital dalam memengaruhi sikap dan tindakan masyarakat.
Jika berbagai pesan agama menyelipkan isu perduli lingkungan, maka kita bisa optimistis kondisi bumi ke depan akan lebih sehat. Berbagai pesan sakral, bahwa salah satu esensi ajaran agama itu menciptakan kemaslahatan, termasuk peduli lingkungan, perlu menjadi gerakan bersama semua komunitas beragama, apa pun agamanya.
Baca juga Mengurai Rantai Kekerasan di Pesantren
Sebaliknya, jika pesan-pesan agama hanya berkutat kepada hal-hal yang bersifat eskatologi, doktrin yang tidak terkait dengan problem riil kehidupan sehari-hari termasuk isu lingkungan, maka bisa jadi, kondisi bumi akan terus mengalami sakit, bahkan bisa jadi tambah parah.
Konsep kiamat yang menjadi doktrin agama-agama besar di dunia, idealnya tidak dipahami secara fatalis. Doktrin itu akan lebih menarik jika dipahami secara progressif, bahwa kiamat yang diakibatkan oleh kerusakan alam yang sangat parah, diakibatkan oleh berbagai dosa manusia terhadap lingkungan. Tentu, umat beragama bisa bertaubat dengan menyayangi lingkungan, untuk kenyamanan kehidupan anak dan cucu kelak.
Baca juga Puasa, Kedewasaan, dan Korupsi
Merayakan kembalinya fitrah manusia melalui momen Idul Fitri memiliki korelasi yang sangat erat dengan sikap peduli lingkungan. Inilah salah satu indikator kemenangan hakiki. Sebuah ironi, jika kita mengaku fitri (suci), tetapi berbagai tindakan kita terus-menerus menyakiti lingkungan. Terlebih, jika kita sudah mengetahui, berbagai dampak yang ditimbulkan dari tindakan tidak perduli lingkungan tersebut.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Rabu 10 April 2024