Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual
Oleh: Imam Fitri Rahmadi,
Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung; Pendiri Akademik Ekselen Indonesia (Akselensia); Peraih PhD dari Johannes Kepler Universität Linz, Austria
Publikasi ilmiah mahasiswa dan dosen di lingkungan perguruan tinggi Indonesia tampak dilakukan sebatas memenuhi administrasi akademik. Ketika orientasi publikasi melenceng dari tujuan dasar, kemunculan berbagai keculasan bukan hal mengejutkan. Sementara ada satu tujuan fundamental terabaikan di balik tuntutan publikasi yang digencarkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yaitu pematangan intelektual.
Berdasarkan data dari Science and Technology Index (Sinta) Kemendikbudristek, di antara negara ASEAN, termasuk menggembirakan progres publikasi internasional tahunan Indonesia 15 tahun terakhir (2008-2022). Delapan tahun pertama (2008-2015), jumlah publikasi hanya perlahan meningkat dan masih di bawah 10.000 artikel. Indonesia berada pada peringkat keempat setelah Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Baca juga Memimpikan Kurikulum Inklusif
Kenaikan secara eksponensial terjadi pada 2019-2021, menembus sekitar 50.000 artikel, membuat Indonesia menduduki peringkat pertama. Pada 2022, jumlah publikasi setara dengan Malaysia, sekitar 45.000 artikel.
Namun, peningkatan drastis kuantitas publikasi ilmiah terjadi karena semakin menjadikannya kewajiban administrasi. Narasi publikasi sebagai proses, cara, atau perbuatan mematangkan daya nalar mahasiswa dan dosen belum terbangun.
Pemenuhan administrasi
Awal mula penyempitan tujuan publikasi ilmiah mahasiswa terjadi bermula dari Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah. Surat edaran ini mewajibkan lulusan program sarjana, magister, dan doktor menerbitkan satu artikel di jurnal level tertentu sesuai program pendidikan yang ditempuh.
Alasan keharusan publikasi sangat pragmatis, semata mengatasi ketertinggalan kuantitas publikasi internasional yang terpaut jauh dengan Malaysia. Pimpinan perguruan tinggi bergegas merespons surat edaran dengan menerbitkan peraturan rektor berisi instruksi serupa bagi lulusan di lingkungan kampusnya.
Baca juga Meraih Kemenangan Hakiki Berbasis Ekologi
Publikasi ilmiah bagi mahasiswa memang mulai menjadi opsional melalui peraturan terbaru, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Peraturan menteri ini terbit sebagai serial Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi.
Pada satu sisi, kebijakan tersebut seolah meringankan beban administrasi. Pada sisi lain, keleluasaan yang diberikan, termasuk menjadikan skripsi, tesis, dan disertasi opsional malah menjauhkan mahasiswa dari proses latihan berpikir kritis, logis, dan sistematis berdasarkan temuan ilmiah. Penyusunan proyek sebagai alternatif pemenuhan kelulusan belum tentu sebanding dengan penulisan karya ilmiah, apalagi proyek dikerjakan bukan berbasis research and development (R&D).
Keculasan akademik
Penciutan tujuan publikasi ilmiah dosen semakin kentara setelah terbit Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Permen ini mensyaratkan dosen berjabatan akademik lektor kepala dan profesor menghasilkan publikasi internasional demi pembayaran tunjangan profesi dan kehormatan. Dosen dengan jabatan fungsional lebih rendah, lektor dan asisten ahli, juga terus dituntut produktif publikasi, baik di jurnal nasional maupun internasional, guna menaikkan jabatan fungsional ke jenjang lebih tinggi. Tuntutan publikasi untuk memenuhi administrasi memicu aneka keculasan akademik.
Pelanggaran etika ilmiah lumrah terjadi, bahkan secara sengaja dan terencana, demi memenuhi tuntutan publikasi terutama di jurnal terindeks Scopus atau Web of Science. Joki karya ilmiah (liputan investigasi Kompas, 11/2/2023) dan penjiplakan karya ilmiah hanyalah dua pelanggaran etik klasik yang terungkap ke permukaan. Masih tersimpan banyak konflik kepentingan dan masalah kepengarangan (authorship) di balik hajat publikasi di lingkungan pendidikan tertinggi.
Baca juga ”Toxic Masculinity”: Epidemik Perundungan di Kalangan Remaja
Konflik kepentingan sering terjadi antara mahasiswa dan dosen pembimbing skripsi, tesis, dan disertasi. Bagai sekali merengkuh dayung untuk melampaui dua pulau, para pembimbing tidak mau melewatkan kesempatan untuk selain membimbing, juga berkepentingan memetik hasil bimbingan dalam bentuk artikel ilmiah. Masih bisa dibilang wajar jika pembimbing menjadi penulis kedua atau ketiga dan seterusnya. Terdapat oknum pembimbing yang meminta secara terang-terangan dijadikan penulis pertama.
Lebih parah lagi, cukup sering ditemui pada program doktoral, ada jenis promotor yang suka nakal. Ia meminta lebih dari satu publikasi internasional bereputasi, ditambah buku dan pendaftaran hak kekayaan intelektual, baru mahasiswa diberi persetujuan menempuh ujian tertutup dan terbuka. Motif para promotor sudah pasti untuk memenuhi beban kerja dosen (BKD) dan memperlancar tunjangan, tanpa harus bersusah payah menulis artikel dan buku sendiri.
Baca juga Hijrah dalam Berkomunikasi Menuju Harmoni
Sebagai mahasiswa sungguh berada pada posisi sangat sulit dan dirugikan. Memalukan, para pembimbing dan promotor yang semestinya menjadi pengontrol (gatekeeper) kompetensi lulusan sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 6, 8, dan 9 justru mengeksploitasi mahasiswa demi kepentingan pribadi. Kemendikbudristek dan pimpinan perguruan tinggi tidak boleh abai terhadap perilaku koruptif akademik. Tim liputan investigasi Kompas berpotensi mengungkap keculasan akademik yang lebih sistemik ini kepada publik.
Pantas saja indeks integritas pendidikan perguruan tinggi, sebagai jenjang pendidikan tertinggi, justru terendah, hanya 67,69, sementara indeks pada sekolah menengah atas 69,34, sekolah menengah pertama 78,95, dan sekolah dasar 79,02 (Komisi Pemberantasan Korupsi, Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2022). Perilaku koruptif dalam proses publikasi ilmiah di lingkungan pendidikan tinggi bisa dianggap salah satu faktor yang menyebabkan indeks integritas jongkok.
Pematangan intelektual
Publikasi ilmiah layak dijadikan wahana pematangan intelektual. Serangkaian proses publikasi, terutama saat meneliti, menulis, dan merevisi artikel ilmiah, mengaktifkan keterampilan berpikir tingkat tinggi: menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Struktur penelitian dan penulisan yang dimulai dengan pendahuluan, kajian teoretis, tinjauan literatur relevan, metodologi, hasil, pembahasan, dan diakhiri dengan kesimpulan mengajarkan pola pikir kritis, logis, dan sistematis.
Orientasi publikasi ilmiah perlu dikembalikan ke tujuan paling dasar. Tradisi menulis dan publikasi dimulai sekitar abad ke-17. Kala itu para ilmuwan saling berkirim surat untuk bertukar gagasan, kemudian mengadakan konferensi dan membentuk organisasi keilmuan. Pada 1665 lahir Journal des Sçavans berbahasa Perancis dan jurnal Philosophical Transactions berbahasa Inggris, dua jurnal paling awal terbit di dunia dan masih eksis hingga kini. Sejarah menunjukkan bahwa dasar publikasi ilmiah dilakukan oleh ilmuwan terdahulu untuk memenuhi kebutuhan intelektual, selain mengembangkan ilmu pengetahuan.
Baca juga Ramadhan, Konstitusionalisasi Agama, dan Bernegara Otentik
Mendesak memaknai dan menjalani publikasi ilmiah sebagai suatu proses bukan semata tujuan akhir. Setiap tahap publikasi hendaknya dilalui dengan sungguh-sungguh karena di situlah pematangan daya dan pola pikir terjadi. Kebiasaan mengirim naskah ke jurnal yang menjanjikan proses penerbitan instan dengan membayar mahal perlu ditinggalkan. Bisa dipastikan jurnal seperti itu menjalankan tinjauan sejawat ala kadarnya. Krusial digarisbawahi bahwa tren publikasi internasional Indonesia ketika mengalami peningkatan eksponensial pada 2019-2021 didominasi jurnal terindeks Scopus Q4 dan jurnal internasional tidak bereputasi. Pada level indeks itu disinyalir banyak berisi jurnal-jurnal predator.
Gairah publikasi ilmiah sudah saatnya dibangun di atas narasi pematangan intelektual sivitas akademika perguruan tinggi. Hanya prestasi semu apabila publikasi melimpah, tetapi intelektualitas masih rendah. Penghapusan tuntutan publikasi indikasi suatu kemunduran, yang seharusnya dilakukan ialah meluruskan orientasi publikasi.
*Artikel ini terbit di kompas.id, Kamis 28 September 2023