Tokoh Agama Berperan Penting Tangkal Ideologi Kekerasan
Aliansi Indonesia Damai- Direktur Pascasarjana UIN Mataram, Prof. Dr. S. Suprapto, M.Ag. menekankan pentingnya peran ulama dalam menangkal ideologi kekerasan di Nusa Tenggara Barat. Menurut dia, di wilayahnya banyak tuan guru dan kiai yang telah berkontribusi menjaga harmoni sosial melalui pengajaran yang tidak provokatif.
“NTB memiliki tradisi dan budaya yang memungkinkan setiap etnis dan agama bisa saling membantu dan bergotong royong. Ketika mereka punya acara, kita datang membantu. Ketika kita punya acara, mereka juga datang membantu. Ini adalah kearifan lokal yang memupuk dan mengikat harmoni, sehingga tidak ada yang merasa terkucil dari lingkungannya,” tutur Suprapto dalam kegiatan Halaqah Alim Ulama “Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan ‘Ibroh” di Mataram, Nusa Tenggara Barat pada akhir Mei lalu.
Halaqah yang diselenggarakan AIDA bekerja sama dengan Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) tersebut diikuti sekitar seratus tokoh agama dari pelbagai organisasi keagamaan Islam di pulau Lombok. Ada sejumlah narasumber yang hadir menyampaikan paparannya yaitu mantan pelaku terorisme yang telah bertobat, korban terorisme, sosiolog, akademisi, dan direktur AIDA.
Suprapto menilai masih banyak persepsi masyarakat yang mengaitkan terorisme dengan Islam. Padahal, menurut dia, semua agama punya riwayat kekerasan berbasis agama. Karena itu, terorisme tidak milik agama manapun.
“Semua penganut agama punya potensi yang sama untuk terpapar. Kalau tidak hati-hati, ideologi dan agama bisa menjadi pemicu munculnya kekerasan ekstremisme dan terorisme,” tegas Suprapto.
Ia mengungkapkan sejumlah studi kasus kekerasan berbasis agama, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Di beberapa negara Eropa, kata dia, tengah gencar kebencian berbasis agama yang ditujukan kepada umat Islam, atau biasa disebut dengan Islamofobia. Lalu di Myanmar, umat Islam Rohingnya dipersekusi oleh ekstremis Buddha. “Di Indonesia bagian timur juga ditemukan gerakan Manokwari sebagai Kota Injil yang berpotensi memperuncing gesekan antar umat beragama,” ujarnya.
Di kalangan Islam, kata dia, paham dan gerakan ekstremisme untuk menolak konsep negara Indonesia. Menurut dia, seseorang yang berpaham ekstrem berkeyakinan jihad dibutuhkan untuk membela Islam, bukan membela Pancasila dan Republik Indonesia. “Narasi-narasi ini masih sering berseliweran di beranda media sosial. Media sosial berandil besar dalam menyebarkan propaganda ekstrimisme,” paparnya. [FAH]