Ketua MUI Pusat Ajak Muslim untuk Menjaga Kedamaian
Aliansi Indonesia Damai- AIDA menyelenggarakan Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama di Kota Mataram, akhir Juli lalu. Sebanyak puluhan alim ulama di Pulau Lombok mengikuti pelatihan tersebut. Pelatihan merupakan tindak lanjut dari kegiatan sebelumnya, Halaqah Alim Ulama “Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan ‘Ibroh” yang dilaksanakan akhir Mei lalu.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Muhammad Cholil Nafis, menjadi salah satu narasumber pelatihan. Dalam paparannya, Cholil menyatakan saat ini kegiatan-kegiatan bertema perdamaian sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan bangsa. Menurutnya, kegiatan perdamaian sejalan dengan visi Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin) dan hendaknya juga dipraktikkan umat Muslim dalam membina hubungan sesama manusia.
Baca juga Pentingnya Melestarikan Perdamaian di Lombok
“Memang persoalan umat saat ini menurut saya yang menonjol ada Hadis al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi, orang Islam itu orang yang bisa menjamin kedamaian orang lain dari ucapan dan tindakannya. Secara internal, bagaimana kita bisa mendidik dan menyelamatkan lisan dan tindakan kita sehingga orang yang dekat dengan kita menjadi damai,” ujar Cholil.
Cholil menyatakan aksi kekerasan mengatasnamakan jihad yang dilakukan sebagian Muslim telah mencoreng citra Islam. Menurutnya, umat Islam khususnya alim ulama sangat penting untuk meluruskannya dan menunjukan citra Islam yang ramah.
Baca juga Korban adalah Bukti Hidup Dampak Destruktif Terorisme
“Dahulu tidak ada yang mempersoalkan kata jihad. Umat sering memaknai jihad dengan berperang atau kekerasan. Padahal banyak makna jihad digunakan untuk merevitalisasi semangat juang, ada jihad melawan hawa nafsu (jihadun nafsi),” terangnya.
Cholil menilai jihad yang dimaknai sempit melahirkan orang-orang yang bergelimang dengan kekerasan. Jihad memang bisa dimaknai berperang atau mempertahankan diri saat diserang, kata dia, namun jihad bisa bermakna lebih luas dari sekadar kontak fisik. Menurut dia, jihad bisa mencakup perang pemikiran dan pemahaman, berupaya sekuat tenaga untuk menghadapi ilmu dengan ilmu, sehingga dampak yang timbul pun menjadi konstruktif, bukan destruktif.
Baca juga Merekatkan Ukhuwah Kebangsaan dan Kemanusiaan
“Jadi tahapan-tahapan untuk kita bagaimana melakukan jihad bin nafsi, bil ‘ilmi wa da’watil khairi, jangan langsung lompat ke jihad yang sifatnya fisik. Itu salah karena dia yang menyerang, dia yang membunuh dirinya sendiri, dan belum tentu menimbulkan kebaikan, bahkan mungkin menambah keburukan,” tutur Cholil.