Perjumpaan dengan Korban Mengubah Pemikiran Mantan Pelaku Terorisme
Perjumpaan dengan korban terorisme dan mengetahui derita yang dialaminya akibat terorisme telah menyadarkan sebagian orang yang dahulu pernah bergabung dalam jaringan kelompok teroris. Bahkan, interaksinya dengan korban terorisme semakin menguatkan semangat dan tekadnya untuk meninggalkan jalan kekerasan dan meniti jalan perdamaian.
“Waktu itu untuk pertama kalinya saya bertemu langsung dengan salah satu korban terorisme. Muka dan badannya rusak. Ketika saya pegang tangannya, saya saksikan sendiri tangannya itu membengkak dan mengelupas. Seketika itu saya menangis dan merangkulnya,” tutur Ali Fauzi, salah seorang mantan pelaku terorisme beberapa waktu lalu.
Ali mengaku hatinya semakin remuk ketika mendengar cerita penderitaan para korban terorisme. Derita yang begitu berat dan bertahun-tahun yang dialami para korban tak pernah ia bayangkan saat dulu masih bergelut dalam dunia ekstremisme. Ia pun menyesal dan telah meminta maaf kepada korban.
Baca juga Silaturahmi Perdamaian di Lombok
Pria asal Lamongan, Jawa Timur tersebut, merasa takjub dengan ketabahan dan ketangguhan para korban dalam menghadapi keterpurukan. Menurutnya, meski terzalimi namun para korban tetap memiliki kelembutan hati untuk bertemu dan memaafkan mantan pelaku terorisme, termasuk dirinya.
Pengakuan serupa juga disampaikan mantan pelaku terorisme lainnya, Mukhtar Khairi. Mukhtar mengaku tergugah ketika bertemu dan mendengarkan kisah korban terorisme. Menurutnya, pertemuan dengan korban semakin memantapkan dirinya untuk berjuang di jalan perdamaian.
Baca juga Menggencarkan Diplomasi Kemanusiaan
“Saya banyak belajar dari kisah korban. Ternyata begitu sangat memperihatinkan dan ini menjadi faktor yang membuat saya sangat ingin ikut berkontribusi mengkampanyekan perdamaian,” ungkap Mukhtar di salah satu kegiatan AIDA.
Perubahan pemikiran Ali Fauzi dan Mukhtar Khairi yang bertobat setelah bertemu korban terorisme menjadi fenomena menarik untuk diulik, terutama dalam aspek psikologi. Interaksi tersebut bisa menjadi momentum transformasional yang mengubah perspektif dan sikap mantan pelaku terorisme.
Pengaruh Pertemuan Korban
Pernyataan merasa takjub melihat ketabahan dan ketangguhan korban dari Ali Fauzi menjadi bukti sahih bahwa pertemuan antara mantan pelaku dan korban terorisme seringkali memicu refleksi mendalam dan empati yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan.
Menyaksikan dampak nyata dari tindakan mereka pada korban acap kali menimbulkan rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Psikolog menyebutnya dengan istilah cognitive reappraisal (penilaian kembali), sebuah perubahan kognitif untuk menafsirkan ulang/ memaknai ulang sebuah momen dalam ingatan yang membangkitkan sisi emosi supaya mengubah dampak emosionalnya. Misalnya, seseorang yang awalnya merasa bangga dengan perilakunya, berubah menjadi menyesali rasa bangga tersebut karena perilakunya melukai atau menyakiti banyak orang.
Baca juga Penyimpangan Pemahaman Agama Kelompok Ekstrem (Bagian pertama)
Pengaruh pertemuan tersebut bukan hanya aspek kognisi, tetapi pada aspek neurobiologis. Studi terbaru berjudul Neurobiological Changes Following Victim-Perpetrator Dialogues (2024), meneliti perubahan neurobiologis dan neuropsikologis pada mantan teroris yang telah bertemu dengan korban. Hasilnya menunjukkan adanya perubahan dalam aktivitas otak yang terkait dengan empati, penilaian moral dan perilaku psikologis.
Jones dan Morales dalam risetnya berjudul Reconciliation Programs and Ideological Transformation in Former Extremists (2023) mengungkapkan bahwa mantan pelaku teroris yang terlibat dalam program rekonsiliasi dengan korban menunjukkan penurunan signifikan dalam orientasi ideologis radikal dan peningkatan empati dan solidaritas sosial.
Baca juga Penyimpangan Pemahaman Agama Kelompok Ekstrem (Bagian 2- Selesai)
Pada akhirnya, pertemuan dengan korban akan memunculkan empati yang dalam pada mantan pelaku terorisme. Empati menjadi hal besar yang mampu melahirkan sikap humanis mantan pelaku terorisme yang sangat menghargai kehidupan manusia. Sikap humanis tersebut menuntun mereka pada rasa penyesalan dan bertanggung jawab atas tindak kekerasan yang telah dilakukan.
Kita bisa belajar bahwa pertemuan mantan pelaku dengan korban terorisme telah melahirkan refleksi bagi mantan pelaku yang mempertanyakan kembali nilai-nilai dan keyakinan yang pernah dipegang teguh dan dampak negatif ideologi kekerasan. Inilah proses perubahan kognitif dan emosional yang mendalam. Perubahan yang berasal dari pertemuan yang efektif membangun kembali rasa kemanusiaan yang terputus.
Baca juga Miskomunikasi dan Empati