Mikraj Kebangsaan
Oleh Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir. Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam.
Secara Bahasa (Arab), Isra Mikraj terdiri dari dua suku kata, yaitu isra yang berarti perjalanan malam dan mi’raj yang berarti naik. Isra mengacu pada perjalanan malam yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad Saw dari Mekkah ke Masjid Al-Aqsa. Sementara Mikraj mengacu pada perjalanan naik Nabi dari Masjid Al-Aqsa ke Sidratul Muntaha dan kemudian Nabi kembali lagi ke bumi, khususnya di Makkah, tempat tinggal Nabi Muhammad Saw kala itu.
Isra Mikraj penuh dengan peristiwa agung dan menyiratkan pesan-pesan luhur. Salah satu dari peristiwa tersebut ialah proses penyucian diri Nabi Muhammad Saw yang dilakukan oleh Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail sang karib dalam perjalanan ini. Dalam Kitab Kuning yang banyak dikaji di pelbagai macam pondok pesantren berjudul Ad-Dardir proses penyucian Nabi dilakukan dengan “membedah” dada beliau. Proses penyucian ini dilakukan sesaat sebelum Nabi Muhammad Saw memulai perjalanan sucinya dari Makkah ke Masjid Al-Aqsa dan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha.
Dalam konteks kebangsaan, proses penyucian diri yang dilakukan oleh Nabi bisa diartikan sebagaipentingnya memurnikan niat dalam kerja-kerja kenegaraan maupun kebangsaan. Siapa pun yang bercita-cita dan bermaksud menjadi abdi negara sejatinya dimulai dari memurnikan niat dan tujuannya. Hingga tidak tergoda dengan pelbagai macam godaan dan rintangan yang ditemukan di perjalanan.
Saat ini, ambisi diri kerap ditutupi oleh niat suci. Yaitu niat untuk mengabdi, niat bekerja untuk bangsa dan niat-niat suci lainnya. Namun setelah jabatan yang dituju telah tercapai tak jarang yang diwujudkan adalah ambisi diri; memperkaya diri sendiri hingga pada tahap nyaris tanpa batas, memastikan kemenangan dan kejayaan kelompoknya dan seterusnya.
Sebelum reformasi, persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dikenal dengan istilah KKN mungkin hanya terjadi di pusat-pusat utama kekuasaan seperti lingkaran presiden dan keluarganya. Tapi saat ini, justru virus KKN menyebar hampir merata ke saluran-saluran kekuasaan dan anggaran yang ada. Bahkan menjadi wabah yang kerap dianggap biasa dalam kehidupan masyarakat umum.
Di sinilah pentingnya kembali pada niat suci kebangsaan sebagai pembelajaran dari Isra Mikraj. Siapa pun yang akan, sedang dan bahkan telah menjadi abdi negara sejatinya kembali pada niat suci yang ada. Hingga pembangunan kebangsaan terus bisa dilakukan, walaupun pada saat purnatugas sekalipun.
Salah satu peristiwa lain dalam Isra Mikraj yang sangat penting ialah perjalanan naik Nabi menuju langit tertinggi hingga mencapai Sidratul Muntaha. Dalam perjalanan Mikraj ini, banyak hal yang dijumpai oleh Nabi Muhammad Saw. Mulai dari gambaran tentang kehidupan umat manusia, berjumpa dengan Nabi-nabi yang lain hingga mendapatkan perintah shalat dari Allah Swt.
Dalam konteks kebangsaan, peristiwa Mikraj ini bisa dipahami sebagai pentingnya visi kebangkitan dari Indonesia yang dikenal dengan istilah Indonesia Emas. Setelah pembangunan infrastruktur yang sangat masif pada era pemerintahan Jokowi dan pemerintahan-pemerintahan lain sebelumnya, saat ini Presiden Prabowo mencoba untuk fokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan pelestarian sumber daya alam (SDA). Pelbagai macam kebijakan pemerintah saat ini difokuskan untuk pembangunan SDM dan juga SDA. Dimulai dari memastikan mencukupi kebutuhan gizi para penerus bangsa (seperti dalam program Makan Bergizi Gratis) hingga swasembada pangan dan juga energi. Program-program seperti ini tentu penting mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Bahkan, pada bagian tertentu, Mikraj Kebangsaan Indonesia sebenarnya sudah terjadi, seperti dalam pengalaman demokrasi dan pemilu langsung, tidak hanya dalam konteks Pilpres (pemilu presiden) maupun Pileg (pemilu legislatif), melainkan juga dalam konteks Pilkada. Di kalangan negara-negara yang sudah memiliki tradisi demokrasi yang kuat sekalipun belum terlalu banyak yang berhasil menyelenggarakan pemilu secara serentak seperti di Indonesia. Terlebih lagi bila pengalaman demokrasi di Indonesia dibaca dalam konteks negara-negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas Muslim.
Dengan konteks pengalaman Pilpres, Pileg dan Pilkada secara langsung, di kalangan dunia Islam, hal ini hanya baru terjadi di Indonesia. Sementara sebagian besar negara berpenduduk mayoritas Islam lain, bahkan belum bisa mempraktikan demokrasi bahkan di lingkaran kekuasaan yang paling kecil sekali pun.
Sayangnya, Mikraj Kebangsaan di ranah demokrasi kurang dilirik oleh bangsa-bangsa lain mengingat keberhasilan demokrasi politik belum sejalan dengan demokrasi ekonomi. Sementara demokrasi ekonomi tidak terjadi di Indonesia, salah satunya, karena dahsyatnya virus ambisi diri yang memberangus niat suci membangun bangsa dan negara. Alih-alih, pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, demokrasi politik seakan hanya memperbanyak koruptor-koruptor baru di pelbagai macam tingkatan.
Peristiwa yang tak kalah penting terkait Isra Mikraj ialah proses Nabi Muhammad Saw turun kembali ke bumi, khususnya Kota Mekkah sebagai tempat lahir dan domisili Baginda Nabi pada waktu itu. Bagian perjalanan turun Nabi ini tidak terlalu banyak dikupas dalam kitab-kitab yang membahas tentang Isra Mikraj (minimal tidak sedetail waktu berangkat). Namun, demikian, peristiwa ini memiliki arti yang sangat penting, khususnya dalam semangat pendidikan dan konteks kebangsaan.
Peristiwa turun dan kembalinya Nabi ke bumi bisa dimaknai sebagai pentingnya membumikan nilai-nilai luhur yang telah dipelajari, dimiliki dan dikuasai oleh seseorang. Pada akhirnya sebuah ilmu pengetahuan apa pun tidak bisa hanya menjadi wacana yang melangit, tapi harus menjadi perilaku luhur dan agung yang membumi dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, sebuah kebaikan apa pun tak cukup hanya dikhotbahkan di atas mimbar-mimbar pengajian, melainkan harus dilakukan dalam bentuk keteladanan yang bergerak dalam kehidupan masyarakat.
Pun demikian halnya dengan komitmen-komitmen agung pemerintahan seperti keberpihakan kepada rakyat, pengentasan kemiskinan, keberpihakan terhadap para petani, nelayan dan kelompok-kelompok lemah lainnya. Komitmen ini harus dinyatakan dalam bentuk kebijakan konkret yang dirasakan langsung oleh masyarakat secara langsung.
Pada akhirnya, sebagai peristiwa, Isra Mikraj memang telah dialami oleh Nabi Muhammad Saw terdahulu. Namun makna-makna agung yang terdapat di dalam Isra Mikraj sesungguhnya bersifat terbuka, universal dan juga kontekstual. Bagi masyarakat Muslim Indonesia saat ini, peristiwa Isra Mikraj penting dipahami dalam konteks kebangkitan atau Mikraj Kebangsaan. Hingga Indonesia Emas bisa diwujudkan secara bersama-sama. Selamat memperingati Isra Mikraj 1446 H.