31/01/2025

9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 2)

Sembilan tahun silam, tepatnya 14 Januari 2016, teroris menyerang jantung kota Jakarta, tak jauh dari Istana Negara dan kantor-kantor pemerintahan. Tak begitu jelas targetnya, namun ledakan bom pertama terjadi di salah satu kafe Jalan MH Thamrin, disusul pos polisi yang berada di seberangnya, dan kemudian tembakan-tembakan yang menyasar warga sipil.    

Seluruh pelaku serangan tewas dalam kontak tembak dengan aparat kepolisian, aktor-aktor lain pun telah mendapatkan ganjaran hukuman sesuai peran keterlibatan masing-masing. Di sisi lain sebagian penyintas masih terus berjuang mengatasi trauma psikis. Ada yang masih enggan untuk sekadar singgah sejenak di kafe lokasi ledakan meski bangunan telah dipugar rapi, ada pula penyintas yang spontan terjangkiti kepanikan kala melihat sosok berjaket dan membawa ransel besar, dan beragam ekspresi trauma lain.

Artikel berseri berikut merupakan secuil kisah ikhtiar para penyintas Bom Jakarta (lebih dikenal dengan Bom Thamrin) untuk berdamai dengan trauma psikis mereka. Khalayak luas mungkin telah lupa dengan peristiwa tersebut, saat bersamaan sebagian pelaku juga telah menghirup udara bebas. Tetapi cedera fisik dan trauma psikis penyintas tak gampang dihilangkan.

2. Dwi Siti Romdhoni

Sejak kecil ia lebih akrab dengan sapaan Dwiki. Bersuku Jawa namun lahir dan besar di Sukabumi. Ditinggalkan ayahnya sejak masih kecil, ia bisa menamatkan jenjang sekolah menengah atas dengan beragam jenis beasiswa. Usai lulus SMA, ia merasa harus segera membantu  perekonomian keluarganya.

Sejak 2009 ia merantau ke Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pagi itu ia sedang menjalankan rapat dengan klien kantornya di kedai kopi kala seorang lelaki bertopi yang memanggul tas ransel besar memasuki tempat yang sama di Jalan MH Thamrin Jakarta. Tak berselang lama terjadi ledakan yang membuat tubuh Dwiki terpental dan kehilangan kesadaran.

Hasil pemeriksaan medis menunjukkan, ia menderita cedera pada tulang leher sebelah kiri dan tulang ekornya bergeser. Ia harus menjalani serangkaian terapi saraf, ortopedi, dan juga psikologi selama berbulan-bulan.

Dwiki merasa dirinya menjadi pribadi yang terlalu sensitif usai musibah yang menimpanya itu, secara fisik maupun psikis. Ia sering pingsan saat badannya lelah. Secara psikis, ia selalu ketakutan saat membawa pria yang membawa tas ransel besar dan segala bunyi keras, emosinya pun kerap tidak terkontrol.

Dengan segala upaya pemulihan psikis, Dwiki membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk sampai pada tahap berdamai dengan dirinya sendiri, serta memaafkan para pelaku serangan Bom Thamrin. Baginya, pintu maaf selalu terbuka bagi siapa pun yang betul-betul bertobat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *