Mengikis Kebencian Menuai Perkawanan
Aliansi Indonesia Damai- Senja kian larut, rombongan yang ditunggu sejak matahari masih terang bersinar tak kunjung muncul. Sebagai anggota Sabhara Polda Metro Jaya, Pandu Dwi Laksono tak bergeming dari lokasi tugasnya berjaga di kawasan Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur.
Rabu, 24 Mei 2017, ia dan rekan-rekannya mendapatkan instruksi pengamanan karnaval obor menyambut Ramadan 1438 Hijriah yang hendak dilakukan salah satu ormas Islam. Baginya, perintah komandan ibarat ”harga mati” yang mesti dijalankan penuh kepatuhan. Seraya terus menunggu, Pandu memutuskan menyantap jatah makan malam yang disediakan oleh kesatuannya, dilanjutkan dengan ”ngopi” bareng teman-temannya.
Baca juga Merajut Hubungan Menggenggam Harapan (Bag. 1)
Kopi di cangkir masih belum terteguk semua kala ledakan terdengar jelas di telinga Pandu. Disangkanya tabung gas milik penjual warung kopi meletus. Namun berbarengan asap putih pekat mengepul, tercium aroma belerang. Pandu mulai menyadari bahwa ledakan itu berasal dari bom. Naluri menuntunnya agar berlari ke arah sumber suara. Terlihat ada warga yang menggendong perempuan berjilbab berlumuran darah. Spontan ia mencegat mikrolet yang melintas dan meminta sang sopir mengantarkan korban tersebut ke rumah sakit terdekat.
Pandu bergegas melanjutkan ke tempat yang ditujunya, titik pusat ledakan. Sejumlah kolega sejawatnya tampak tergeletak. Darah segar dan serpihan-serpihan daging manusia berceceran di tanah. Kala mengecek urat leher seorang rekan seniornya, ledakan kedua muncul dari arah punggungnya diringi kepulan asap putih. Badannya terjatuh tapi kesadarannya masih penuh. Ia berlari sempoyongan dan menjumpai seorang pengendara motor yang lantas mengantarkannya ke rumah sakit. Ia mendapatkan sekitar 39 jahitan di sekujur tubuhnya.
Baca juga Merajut Hubungan Menggenggam Harapan (Bag. 2-Terakhir)
Pemulihan fisiknya relatif cepat. Ia kembali berdinas selang beberapa bulan setelah peristiwa itu. Namun tidak dengan mentalnya. Wajah-wajah temannya yang gugur dalam insiden itu nyaris terus menggelayuti benaknya. Kerap di malam hari ia menangis terisak sendiri. Hatinya dipenuhi amarah dan kebencian terhadap para pelaku serangan yang belakangan ia ketahui sebagai aksi terorisme.
Amarah tumbuh dan menggumpal menjadi dendam. Pemicunya peristiwa kerusuhan di Rutan Mako Brimob Depok, Mei 2018. Komandannya meninggal dunia dalam tragedi itu. Pelakunya adalah tahanan-tahanan kasus terorisme. Ketika melayat ke rumah duka, ia mencari kesempatan berbincang empat mata dengan istri mendiang komandannya yang sedang hamil tua.
Baca juga Meresapi Hikmah di Balik Musibah
“Jadi apa Ibu sudah ikhlas Bapak pergi seperti ini? kalau Ibu tidak ikhlas, saya akan balaskan dendam,” Pandu masih mengingat detail pertanyaan yang ia lontarkan. Kala itu amarahnya betul-betul memuncak. Ia sempat mencari cara agar dipindahkan ke Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri agar ada kesempatan melampiaskan dendam kepada para pelaku terorisme. Pemecatan atau konsekuensi lebih buruk yang lain tak akan dihiraukannya.
Namun jawaban dari perempuan itu membuat Pandu terperangah, “Sudah Mas, kita ikhlas saja, toh itu sudah takdirnya.” Kalimat singkat itu bak mantra yang menginspirasi Pandu. Ia memotivasi diri agar mengikhlaskan musibah yang menimpa dirinya dan rekan-rekan sejawatnya. Sebagai muslim, ia mengimani bahwa segala hal yang terjadi dalam kehidupannya telah digariskan sebagai bagian dari takdir Allah.
Baca juga Trauma dan Rasa Sakitnya
Pandu kemudian bergabung dengan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), wadah korban bom terorisme di Indonesia. Melalui komunitas tersebut, ia bertemu dengan korban-korban dari tragedi teror bom lain yang pernah terjadi di Indonesia. Mereka bercerita untuk saling mendukung dan menguatkan.
Pada Akhir 2022 ia memberanikan diri mengikuti kegiatan AIDA. Pandu merasa perlu untuk berdialog dengan mantan narapidana teroris (napiter) yang difasilitasi oleh AIDA, meskipun diselimuti keraguan apakah bisa mengendalikan diri kala perjumpaan itu sungguh terjadi. Tetapi ia seperti terus didorong agar berbagi kisah dan pengalaman ke lebih banyak orang demi mengurangi beban mentalnya.
Baca juga Melawan Ketakutan demi Masa Depan
AIDA memberikan kesempatan kepada Pandu dan beberapa korban terorisme lain berkisah di hadapan langsung dua orang mantan napiter. Sebaliknya ia juga menyimak serius penuturan kedua napiter itu. Ternyata banyak hal keliru terkait pelaku terorisme yang selama ini mengendap dalam pikirannya.
”Yang sering tersebar di media ini hanya masalah agama, radikalisme, tapi kalau kita gali lebih dalam, banyak faktor lain, seperti faktor keluarga, mungkin faktor ekonomi, atau mungkin faktor tidak puas dengan sistem pemerintahan Indonesia,” katanya.
Baca juga Kesabaran Tak Bertepi Penyintas Bom
Empatinya kepada dua orang mantan napiter tersebut justru timbul. Pasalnya pertobatan mereka ternyata penuh tantangan. Ada ancaman dan intimidasi dari komunitasnya yang dulu. Pandu memang sempat sangat marah atas aksi yang dilakukan teman-teman kedua orang itu. Tapi pertobatan mereka kembali ke jalan perdamaian harus didukung. Walhasil, usai kegiatan, ia masih terus menjalin komunikasi dengan keduanya untuk sekadar bertukar kabar dan mengeratkan jalinan silaturahmi.
Akibat ledakan bom malam itu, pawai obor urung melintasi kawasan Terminal Kampung Melayu. Pun memicu trauma dalam diri para korbannya. Kondisi fisik Pandu juga tak lagi seprima dulu. Tetapi tragedi kemanusiaan itu menyadarkan Pandu bahwa dendam dan kebencian tak ada guna. Ia berhasil mengikisnya. Teman baru didapatkannya.
*Ditulis berdasarkan penuturan Pandu Dwi Laksono, penyintas Bom Kampung Melayu 2017, dalam “Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan” yang digelar AIDA di Cirebon, akhir Januari 2024.
Baca juga Keikhlasan Meredakan Derita (Bag. 1)