9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 4-Terakhir)
Sembilan tahun silam, tepatnya 14 Januari 2016, teroris menyerang jantung kota Jakarta, tak jauh dari Istana Negara dan kantor-kantor pemerintahan. Tak begitu jelas targetnya, namun ledakan bom pertama terjadi di salah satu kafe Jalan MH Thamrin, disusul pos polisi yang berada di seberangnya, dan kemudian tembakan-tembakan yang menyasar warga sipil.
Seluruh pelaku serangan tewas dalam kontak tembak dengan aparat kepolisian, aktor-aktor lain pun telah mendapatkan ganjaran hukuman sesuai peran keterlibatan masing-masing. Di sisi lain sebagian penyintas masih terus berjuang mengatasi trauma psikis. Ada yang masih enggan untuk sekadar singgah sejenak di kafe lokasi ledakan meski bangunan telah dipugar rapi, ada pula penyintas yang spontan terjangkiti kepanikan kala melihat sosok berjaket dan membawa ransel besar, dan beragam ekspresi trauma lain.
Baca juga 9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 3)
Artikel berseri berikut merupakan secuil kisah ikhtiar para penyintas Bom Jakarta (lebih dikenal dengan Bom Thamrin) untuk berdamai dengan trauma psikis mereka. Khalayak luas mungkin telah lupa dengan peristiwa tersebut, saat bersamaan sebagian pelaku juga telah menghirup udara bebas. Tetapi cedera fisik dan trauma psikis penyintas tak gampang dihilangkan.
4. Nurman Permana
Nurman Permana bersama kakak angkatnya, Agus Kurnia, sedang menyeberangi jalan raya MH Thamrin Jakarta kala ledakan keras terjadi di kedai kafe yang sebelumnya mereka lintasi. Keduanya sedang sibuk berdebat tentang sumber ledakan; tabung gas ataukah bom, ledakan kedua terjadi hanya beberapa meter dari posisi mereka berada.
Permana dan Agus sempat terpisah karena berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Permana mencoba mencari kakaknya. Ia merasa bersalah lantaran ia yang mengajak kakaknya untuk keluar kos pada pagi menjelang siang itu. Ia berusaha menghubungi kakaknya namun telepon genggamnya telah berlumuran darah dan serpihan daging yang menempel.
Baca juga 9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 2)
Saat keduanya berjumpa, seseorang menolong mereka menggunakan bajaj menuju Puskesmas. Oleh Puskesmas, keduanya dirujuk ke Rumah Sakit Angkatan Darat untuk mendapatkan perawatan intensif kurang lebih 30 hari. Dari pemeriksaan medis, diketahui banyak serpihan bom, seperti mur dan baut menancap di tangan dan ketiak Permana, sementara telinganya menderita trauma.
Selain cedera fisik, Permana terus-menerus merasa bersalah kepada kakaknya. Hingga dua tahun setelah kejadian, ia juga masih takut dengan suara ledakan dan mendekati lokasi kejadian. “Saya juga takut dengan orang berjenggot, berjubah, dan membawa tas besar,” ujar Permana mengingat pelaku pengeboman yang memanggul tas ransel besar saat mereka berpapasan di penyeberangan.
Permana harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah Permana yang bugar seperti dulu. Pendengarannya tidak bisa pulih total dan sering berdengung tanpa sebab. Namun di tengah keterbatasan itu, ia mengaku ikhlas karena menaruh dendam tidak akan mengubah apa-apa. Baginya musibah itu adalah kehendak Allah.
Baca juga 9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 1)