sumber: antarafoto.com
Home Inspirasi Aspirasi Damai 9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 1)

9 Tahun Bom Jakarta; Ikhtiar Penyintas Berdamai dengan Trauma (Bag. 1)

Sembilan tahun silam, tepatnya 14 Januari 2016, teroris menyerang jantung kota Jakarta, tak jauh dari Istana Negara dan kantor-kantor pemerintahan. Tak begitu jelas targetnya, namun ledakan bom pertama terjadi di salah satu kafe Jalan MH Thamrin, disusul pos polisi yang berada di seberangnya, dan kemudian tembakan-tembakan yang menyasar warga sipil.    

Seluruh pelaku serangan tewas dalam kontak tembak dengan aparat kepolisian, aktor-aktor lain pun telah mendapatkan ganjaran hukuman sesuai peran keterlibatan masing-masing. Di sisi lain sebagian penyintas masih terus berjuang mengatasi trauma psikis. Ada yang masih enggan untuk sekadar singgah sejenak di kafe lokasi ledakan meski bangunan telah dipugar rapi, ada pula penyintas yang spontan terjangkiti kepanikan kala melihat sosok berjaket dan membawa ransel besar, dan beragam ekspresi trauma lain.

Artikel berseri berikut merupakan secuil kisah ikhtiar para penyintas Bom Jakarta (lebih dikenal dengan Bom Thamrin) untuk berdamai dengan trauma psikis mereka. Khalayak luas mungkin telah lupa dengan peristiwa tersebut, saat bersamaan sebagian pelaku juga telah menghirup udara bebas. Tetapi cedera fisik dan trauma psikis penyintas tak gampang dihilangkan.

1. Andi Dina Noviana Rivani

    Andin, demikian sapaan akrab Andi Dina, sedang menikmati kopi dan sarapan di kedai Starbuck kawasan MH. Thamrin sembari menyelesaikan perkerjaannya. Sebagai karyawan digital marketing, ia diberikan keleluasaan bekerja di mana pun. Saat asyik dengan laptopnya, terdengar suara ledakan yang disusul kepulan asap pekat dan hawa panas menjalari tubuh Andin.

    Kesadarannya masih belum sepenuhnya pulih saat ia memutuskan untuk keluar dari kedai dengan cara melompati jendela setinggi 1,5 meter. Saat terjerembab di luar kedai, Andin mendengar ledakan kedua. Seorang warga lantas mengevakuasinya ke rumah sakit terdekat. Secara medis, ia diwajibkan menjalani rawat inap usai menjalani serangkaian operasi, tapi Andin keukeuh menolak. Baginya tempat teraman adalah rumah sendiri dan memilih rawat jalan.

    Ia sempat tak bisa berjalan selama 3 bulan pascakejadian. Namun baginya, segala luka fisik tak sebanding dengan trauma psikis yang dideritanya. Ia sempat mengalami halusinasi, depresi, trauma, hingga paranoid. Ia selalu didekap perasaan takut, bahkan tak bisa tidur kecuali dalam suasana yang ramai.

    Titik terendah dalam hidupnya adalah kala mencoba bunuh diri lantaran merasa hidupnya tidak berguna dan menyusahkan orang lain. Untuk mengatasi problem-problem psikis, selama 8 bulan ia mengonsumsi obat penenang.

    Hingga pada suatu waktu, Andin memutuskan harus lepas dari segala emosi negatif yang membelenggunya. Ia berupaya berdamai dengan dirinya dan segala hal yang menimpanya melalui proses pemulihan psikis yang teramat berat. Ia memberanikan diri untuk berhenti total mengonsumsi obat penenang. Akibatnya ia jatuh sakit lantaran metabolisme tubuh yang shock. Baginya sakit fisik lebih mudah dipulihkan ketimbang problem psikisnya.

    Usai kondisinya membaik, Andin kembali bekerja. Namun ternyata ia masih trauma terhadap suara-suara keras. Ekspresinya bisa dengan teriakan atau menangis ketakutan. Hal itu tentu mengganggu kinerja dan suasana kantor. Karenanya ia memilih untuk resign dan menguatkan kondisi mentalnya kembali. Secara perlahan, Andin sampai pada kesimpulan bahwa ikhlas dan pemaafan adalah obat paling mujarab baginya. Terapi medis dan psikologis merupakan pendukung. Intinya adalah hati dan pikiran sendiri.

    Kini Andin kembali menekuni spesialisasinya sebagai tenaga digital marketing. Tentu kondisi fisiknya tak lagi seperti sedia kala, bahkan kemampuan pendengaran telinga kirinya menurun drastis. Namun ia berani melintasi kawasan MH Thamrin Jakarta kendati masih enggan sekadar mampir di kedai di mana ia terkena ledakan bom. (bersambung)

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *