Definisi di Sekitar Agama
Oleh Nasaruddin Umar, Menteri Agama RI dan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Artikel ini dimuat di Kompas.id, 08 Desember 2025
Di antara isu keagamaan kontemporer, pertanyaan yang sering muncul ialah: Apa sesungguhnya definisi agama? Siapa yang berhak mendefinisikan agama? Otoritas apa dan siapa yang menentukan sebuah ajaran disebut agama atau bukan agama? Apa sesungguhnya kriteria agama? Siapa yang berhak menetapkan kriteria agama?
Masalah selanjutnya: Apa itu aliran sesat? Siapa yang berhak menentukan aliran itu sesat atau tidak? Apa yang dijadikan dasar untuk menyesatkan sebuah aliran? Kalau aliran itu dinyatakan sesat, apa mesti dibubarkan? Siapa yang harus membubarkan? Bagaimana dan atas dasar apa membubarkannya?
Apa definisi agama menurut negara? Apa definisi negara menurut agama? Apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan negara terhadap agama? Apa yang boleh dan tidak boleh dicampuri agama terhadap negara?
Agama dan negara sama-sama menuntut loyalitas penuh terhadap masyarakat. Jika terjadi konflik antara agama dan negara, siapa yang menyelesaikan? Bagaimana dan atas dasar apa menyelesaikannya? Mungkinkah keduanya akur secara sejati di dalam mendapatkan loyalitas masyarakat? Di mana letak perbedaan peran pemimpin agama (ulama) dan pemimpin negara (umara)?
Bagaimana hukum tata negara menjembatani otoritas dan otonomi hukum agama (syari’ah) dan hukum nasional (wadh’iyah)? Jika terjadi sengketa hukum antara keduanya, instansi mana dan bagaimana menyelesaikannya? Apakah mungkin Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan sengketa hukum antara keduanya?
Selain persoalan konseptual di atas, masih ada pertanyaan lain yang perlu dijawab lebih konkret: Apa definisi negara tentang agama? Sebaliknya juga, apa definisi agama tentang negara? Apa itu negara agama? Apa itu agama negara?
Pertanyaan lebih lanjut, apa dan sampai di mana peran negara terhadap agama? Sebaliknya, apa dan sampai di mana peran agama terhadap negara? Apa jadinya agama jika negara terlalu rigid mengatur urusan agama? Dan, apa jadinya negara jika agama terlalu detail memengaruhi negara?
Pada sisi lain, masih ada persoalan yang secara konseptual perlu diselesaikan di level masyarakat. Negara dan agama masing-masing menuntut loyalitas tunggal kepada masyarakat yang sama. Mungkinkah satu masyarakat bisa memberikan loyalitas tunggal kepada dua entitas nilai yang berbeda?
Loyalitas
Negara berhak menuntut loyalitas sejati kepada masyarakatnya sebagai konsekuensi sebuah negara berdaulat. Sementara agama juga menuntut loyalitas sejati kepada masyarakat sebagai basis umatnya, sebagai konsekuensi penghambaan diri secara mutlak kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sampai saat ini belum muncul ketegangan konseptual antara institusi dan hukum agama di satu pihak dengan institusi dan hukum negara di pihak lain. Kalaupun muncul, masih dapat diselesaikan ”secara adat” karena sumber hukum antara keduanya sama. Ditambah lagi pengalaman sejarah panjang segenap warga bangsa tanpa membedakan agama dan etnik serta-merta bergotong royong menyelesaikan persoalan bangsa, termasuk mengusir para penjajah.
Para pelaku sejarah masih hidup dan budaya dan peradaban keindonesiaan juga masih kokoh. Dari Sabang sampai Marauke masih terhimpun di dalam wadah kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diikat oleh bahasa yang sama: bahasa Indonesia, dengan falsafah bangsa ”Bhinneka Tunggal Ika”.
Akan tetapi, jika para pelaku sejarah sudah tiada, sementara perubahan nilai-nilai sosial-budaya semakin drastis, di tambah lagi pengaruh globalisasi dan informasi yang semakin gencar, maka tidak mustahil apa yang tabu untuk dipersoalkan di masa lampau akan lebih mudah terjadi di masa mendatang. Ditambah lagi dengan munculnya fenomena post truth, otoritas subyektif yang memiliki kekuasaan luar biasa, bisa merelatifkan definisi kebenaran yang sudah mapan.
Kendali otoritas
Banyak contoh kekuatan otoritatif sebetulnya yang valid secara intelektual, tetapi kenyataannya kalah dari otoritas yang kurang valid secara intelektual. Tentu pertanyaan selanjutnya, apa jadinya sebuah masyarakat yang dikendalikan oleh otoritas yang kurang atau tidak valid?
Sangat tidak mudah menyelesaikan problem di sekitar definisi agama. Kenyataan sosial sebagaimana digambarkan di atas berdampak pada otoritas elite bangsa; baik elite agama, elite politik, elite adat, maupun elite budaya. Kekuatan politik (the power of political parties), kekuatan uang (the power of money), kekuatan media sosial (the power of social medias), dan tekanan politik internasional (international political pressures).
Saat ini banyak elite baru yang muncul tiba-tiba di dalam masyarakat karena kemampuan mereka memainkan political games, permainan politik yang dimainkan oleh yang bersangkutan secara langsung dan atau melalui konsultan tertentu, yang tentunya dibayar dengan tidak murah.
Akan tetapi, hingga saat ini, mungkin hingga dekade mendatang, agama masih tetap menjadi isu yang bukan hanya penting, tetapi juga amat sensitif. Bahkan, isu agama bisa lebih sensitif daripada isu primordialisme kesukuan dan kedaerahan. Jika isu agama yang berbicara, dampaknya akan sulit dibendung. Ini disebabkan adanya moto: Isy kariman au muts syahidan (hidup mulia atau mati syahid).
Pisau bermata dua
Ibarat pisau bermata dua, agama memiliki potensi sebagai faktor pemersatu bangsa seperti yang pernah terjadi di masa lampau. Dengan komando Allahu akbar, atau simbol-simbol agama lainnya, penjajah bisa kalang kabut, sungguh pun anak-anak bangsa hanya menggunakan bambu runcing.
Pengalaman lain membuktikan, agama juga bisa tampil sebagai faktor disintegrasi yang amat dahsyat, seperti yang pernah terjadi di Ambon, Poso, dan Sampit. Karena itu, kita semua harus hati-hati melibatkan atau menggunakan bahasa agama di dalam politik praktis.
Saat ini yang amat diperlukan ialah bagaimana agama tampil sebagai faktor sentripetal, sebagai pemersatu bangsa dan pemberi semangat di dalam mencapai tujuan pembangunan bangsa. Sebaliknya, kita berkewajiban untuk menghindari faktor sentrifugal agama, yang menekankan distingsi ajaran antara satu agama dan agama lainnya.
Atas dasar ini, Kementerian Agama menggagas ide Kurikulum Cinta yang tujuan utamanya menekankan betapa pentingnya menginternalisasikan cinta kasih antara sesama di dalam menganut keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu. Penekanan pokoknya materi ajar dan metode pembelajaran agama tidak menekankan perbedaan, apalagi mempertentangkan antara satu agama dan agama lain.
Amat berbahaya bagi sebuah bangsa majemuk seperti Indonesia jika mendoktrinkan perbedaan, apalagi kebencian kepada penganut agama yang berbeda. Sadar atau tidak sadar, masih sering ditemukan di dalam materi ajar yang mendoktrinkan satu-satunya agama yang benar adalah agama yang dianutnya, selebihnya adalah agama sesat. Apalagi, ditambah dengan guru yang mengajarkan agama mendramatisasi kesesatan agama orang lain.
Pada saatnya, ”Kurikulum Cinta” dikembangkan bukan hanya mendoktrinkan relasi cinta antara sesama umat manusia, tanpa membedakan agama, kepercayaan, etnis, dan kewarganegaraan. Akan tetapi, relasi cinta antara sesama makhluk hidup seperti dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan alam.
Indoktrinasi seperti inilah yang dikemas di dalam gagasan ”Eko-Teologi”, salah satu yang menjadi ”Asta Protas” Kementerian Agama saat ini. Doktrin ”Eko-Teologi” dan ”Kurikulum Cinta” diharapkan melahirkan kebudayaan Bhinneka Tunggal Ika yang sejati.
Ke depan, sebaiknya doktrin ”Eko-Teologi” dan ”Kurikulum Cinta” bukan hanya domain Kementerian Agama, tetapi juga sudah selayaknya didukung menjadi salah satu spirit dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang dapat diimplementasikan secara holistik di semua kementerian dan lembaga negara.
Di samping itu, bangsa ini sudah saatnya memikirkan undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang kerukunan hidup antara umat beragama secara lebih komperhensif. Selama ini kita hanya memiliki Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PNPS) tahun 1965, yang pasalnya hanya empat butir, sehingga tidak cukup untuk mewadahi masyarakat Indonesia yang semakin plural.







