26/02/2024

Zaman Ruwaibidhah

Oleh: Nasaruddin Umar,
Imam Besar Masjid Istiqlal, Guru Besar Tafsir UIN Jakarta

KETIKA Nabi Muhammad SAW berkumpul dengan sejumlah sahabatnya ia tiba-tiba menyampaikan warning, bahwa akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Para pendusta dibenarkan dan orang benar didustakan. Para pengkhianat diberi amanah, sementara orang jujur dikhianati.

Saat itu Ruwaibidhah berbicara. Ditanya oleh sahabat, siapakah Ruwaibidhah itu? Nabi menjawab Ruwaibidhah ialah seseorang yang dungu, tapi dipercaya dan sibuk mengurusi urusan publik (HR Ibn Majah dari Abi Hurairah).

Warning Nabi sudah sering terbukti dan mungkin masih akan terus terbukti. Manakala peringatan Nabi ini tidak diperhatikan maka akan menjadi pertanda rusaknya sebuah umat atau generasi.

Baca juga Menjadi Guru yang Humanis

Alquran juga sudah memperingatkan kita tentang ajal sebuah umat atau sebuah rezim, sebagaimana disebutkan di dalam ayat: Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Maka apabila datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya (QS Al-A’raf/734).

Alquran mengingatkan kita bahwa yang memunyai ajal bukan hanya individu atau perorangan tetapi sebuah rezim, orde, perkumpulan, bangsa, negara, dan umat juga memunyai ajal. Jika suatu komunitas hendak memperpanjang usia eksistensinya, harus memelihara hukum-hukum sosial, seperti halnya orang yang ingin memiliki hidup panjang dan sehat, maka harus merawat kesehatannya.

Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim, juga pernah mengingatkan kita bahwa setiap generasi itu akan melewati empat tahapan. Ada generasi perintis, generasi pembangun, generasi penikmat, dan generasi penghancur.

Generasi yang sehat ialah generasi perintis dan pembangun. Yang cepat dan yang lama ialah generasi penikmatnya. Lalu, generasi penghancur akan mulai muncul manakala warning Nabi tentang Ruwaibidhah tidak lagi diindahkan.

Di era generasi penghancur, para pendusta dan kaum munafik menjadi orang paling benar, sedangkan orang yang jujur dan benar malah kemudian dirundung dan dikriminalisasi.

Lebih parah lagi jika sudah muncul generasi yang menampilkan Ruwaibidhah, orang yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian apa-apa, tetapi tiba-tiba tampil sebagai orang yang diberi kepercayaan mengurus nasib orang banyak.

Baca juga Terang Peradaban melalui Buku

Ciri-ciri orang Ruwaibidhah, yang oleh Ibnu Khaldun diadopsi oleh generasi penghancur, yaitu merasa sok pintar padahal sesungguhnya dungu, tidak mau mendengarkan nasihat dan saran dari orang lain karena merasa paling tahu dan paling pintar.

Mereka juga begitu gampang memencilkan para pengkritiknya, tidak mau mendengarkan bahasa agama dan para ulama, dan menganggap kebohongan publik sebagai sesuatu yang wajar.

Mereka jika dinasihati menganggap direcoki, jika diberikan alternatif solusi masalah malah ditolak, dan mereka jalan sendiri dengan keinginannya, tidak peduli apakah orang lain puas atau tidak.

Jika tanda-tanda Ruwaibidhah muncul, bukan hanya akan merusak tatanan kehidupan masyarakat, melainkan juga menjadi pintu masuk datangnya musibah yang beruntun.

Alam sudah tidak lagi akan menunjukkan persahabatannya dengan manusia. Anomali cuaca dan musim dengan segala akibatnya semakin terasa di dalam kehidupan masyarakat.

Penyakit yang tanpa ketahuan obatnya lalu akan datang merajalela, kriminalitas bermunculan di mana-mana, dosa dan maksiat semakin terbuka, dan pada akhirnya doa berjemaah semakin tumpul.

Baca juga Beragama Maslahat

Cara mengembalikan kepada situasi normal tidak pernah tertutup. Allah SWT selalu membuktikan diri-Nya sebagai Tuhan Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang.

Syaratnya, asalkan manusia, secara individu maupun kolektif, mau kembali mengevaluasi diri dan meninggalkan semua kebiasaan buruk yang selama ini melekat pada dirinya.

Jadi, cara menyelesaikan berbagai problem sosial kemasyarakatan bukan hanya melalui teori-teori sosial, seperti pendekatan ekonomi, politik, dan keamanan.

Faktor yang tak kalah pentingnya ialah taubat secara masif dan perlu berdoa secara berjemaah, yang dalam tradisi NU bisa disebut istigasah. Kita harus berani mengakui kekhilafan diri di hadapan Allah SWT, Tuhan Yang Mahakuasa.

*Artikel ini terbit di mediaindonesia.com, 18 April 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *