Home Berita Menyemai Perdamaian Bersama Penyintas
Berita - 05/05/2017

Menyemai Perdamaian Bersama Penyintas

“Setiap kali akan ada acara kampanye damai seperti ini, saya selalu tidak bisa tidur pada malam harinya.”

Demikian diungkapkan Iwan Setiawan, penyintas aksi teror Bom Kuningan 2004, dalam perjalanan bersama Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menuju Pandeglang, Banten pada April lalu. Di kota tersebut AIDA menyelenggarakan safari kampanye perdamaian ke lima sekolah dengan menyuguhkan kisah-kisah inspiratif dari penyintas terorisme. Bagi Iwan, menceritakan kembali peristiwa yang telah ia alami tiga belas tahun lalu cukup membebani pikiran dan sedikit banyak memunculkan kepedihan yang dalam.

Walaupun berat untuk mengisahkan kembali namun tekad Iwan kuat untuk berkontribusi menyarakan perdamaian di masyarakat bersama AIDA. Baginya, mengisahkan kembali pengalamanya menjadi korban aksi teror adalah salah satu upaya untuk menebarkan benih-benih perdamaian. Dari kisahnya masyarakat dapat memahami dampak terorisme yang begitu destruktif, sekaligus menyadari pentingnya melestarikan perdamaian dan menghindari aksi kekerasan.

“Tapi bismillah saja, ini kan untuk perdamaian. Kita harus kuat,” ujarnya. Dia menambahkan, semangatnya mengikuti kegiatan AIDA bertujuan agar tidak ada lagi yang melakukan kekerasan. Aksi kekerasan dan terorisme, lanjutnya, mengakibatkan banyak korban berjatuhan, seperti dirinya dan korban-korban lainnya.

Pada kesempatan safari kampanye perdamaian di Pandeglang, AIDA mengunjungi SMAN 4, SMKN 4, SMK Budi Utama, SMAN 17, dan SMAN 3. Di setiap sekolah, AIDA mengajak 50 siswa mendalami nilai penting perdamaian melalui kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”.

Air matanya tak terbendung, suaranya gemetar menahan tangis saat Iwan menyampaikan kisahnya di hadapan para peserta Dialog Interaktif di SMAN 4 Pandeglang, Senin (17/4) siang. Saat aksi teror bom terjadi, dia sedang memboncengkan istrinya menuju ke sebuah klinik di Jakarta untuk periksa kandungan. Saat melintas di Jl. HR. Rasuna Said kawasan Kuningan, tiba-tiba terjadi ledakan besar yang menggemparkan semua orang. Akibat ledakan bom, Iwan mengalami cacat permanen di bagian mata.

Istrinya juga tak luput dari cedera. Pada malam hari setelah kejadian dia melahirkan buah hati yang dikandungnya. Akan tetapi, dua tahun pascakejadian dia menemui ajal lantaran sakit di bagian tulang belakang akibat ledakan bom.

Beberapa siswa peserta Dialog Interaktif tak kuasa menahan air mata mendengarkan kisah Iwan. Pada sesi tanya jawab, seorang siswa bertanya, “Apakah Mas Iwan pernah dendam kepada orang-orang yang ngebom?”

Mendengar pertanyaan tersebut Iwan sempat menghela napas dan bepikir sejenak. Mengumpulkan segenap keberanian dan mencoba untuk percaya diri, dia menjawab, “Saya tidak dendam terhadap para pengebom. Bagi saya apa yang terjadi pada diri saya adalah qadha dan qadar dari Allah, maka saya menerimanya dengan ikhlas.”

Tak hanya menyampaikan pengalamannya menjadi korban Bom Kuningan 2004, Iwan juga menyampaikan rahasianya untuk tetap tangguh dan tegar menjalani kehidupan. Dia menggambarkan kehidupan di dunia ini seperti hidupnya tukang parkir. Semua yang ada pada dirinya dan yang ia miliki dalam hidupnya adalah titipan Sang Pencipta. Ketika sesuatu yang dimiliki diambil sewaktu-waktu oleh Sang Pencipta maka dia harus ikhlas dan menyadari bahwa itu hanyalah titipan dari Sang Pencipta.

“Sesungguhnya salatku ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam,” ujarnya memungkasi kisahnya.

Dalam penyelenggaraan kegiatan Dialog Interaktif di Pandeglang, AIDA juga menghadirkan seorang mantan pelaku aksi terorisme, Iswanto. Seperti halnya Iwan, Iswanto juga membagikan kisah perjalanan hidupnya kepada para pelajar peserta Dialog Interaktif. Pria asal Lamongan Jawa Timur itu pernah terjerumus ke dalam jaringan organisasi kekerasan namun akhirnya menyadari kekeliruannya, melepaskan diri dari jaringan tersebut, dan kini merintis jalan perdamaian bersama AIDA.

Pada akhir presentasinya Iswanto meminta maaf kepada Iwan dan para korban terorisme lainnya atas ideologi keliru yang pernah ia anut dahulu, serta perbuatan keji dari beberapa orang yang dulu pernah sepaham dengannya.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, berpesan kepada para siswa peserta Dialog Interaktif di Pandeglang untuk cerdas mengambil pelajaran berharga dari penuturan kisah penyintas dan mantan pelaku terorisme. Dari kisah Iwan dan Iswanto, Hasibullah menegaskan kepada para siswa agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, dan tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. Kekerasan bila dibalas dengan kekerasan akan menimbulkan kerusakan baru. Demikian halnya jika ketidakadilan dibalas dengan ketidakadilan maka hanya akan memunculkan ketidakadilan selanjutnya.

Usai kegiatan sejumlah peserta menyampaikan kesan dan pesan mengikuti Dialog Interaktif. Beberapa di antaranya mengaku mendapatkan banyak wawasan yang jarang didapatkan dari mata pelajaran di sekolah. Sebagian yang lain mengaku akan berkomitmen menyemai perdamaian di lingkungan dia berada. [SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *