Home Berita Menggali Nilai Ketakwaan dari Kisah Korban
Berita - 01/08/2018

Menggali Nilai Ketakwaan dari Kisah Korban

Dok. AIDA – Para peserta dan Tim Perdamaian berfoto bersama dalam Pelatihan Penguatan
Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Bandung (13/8/2017).

 

“Korban bisa sampai memaafkan pelaku teorisme, menurut saya inilah orang-orang yang bertakwa. Salah satu ciri orang bertakwa adalah wal kadzimin al-gaidha wal afina anin nas, mampu menahan amarah dan sanggup memaafkan kesalahan orang lain.”

Demikian kesan yang disampaikan seorang peserta Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Bandung, 12-13 Agustus 2017. Setelah mendengarkan penuturan kisah korban dia mengaku mendapatkan pencerahan baru tentang ketakwaan.

Dalam kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dihadirkan Tim Perdamaian -yang terdiri atas penyintas dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi- untuk mengajak peserta melestarikan kedamaian sekaligus mewaspadai ancaman paham-paham prokekerasan.

Anggota Tim Perdamaian dari unsur mantan pelaku, Kurnia Widodo, mengaku telah terpapar ideologi ekstrem sejak bersekolah di bangku SMA. Dia didoktrin untuk melakukan kekerasan dengan dalih membela agama. Setelah menjalani hukuman atas kasus kepemilikan bahan peledak dan perencanaan teror dia mulai menyadari kesalahan dan berkomitmen untuk meninggalkan dunia kekerasan.

Salah satu faktor yang meyakinkannya untuk tidak kembali ke kelompok teroris adalah pertemuannya dengan korban terorisme. Dia mengaku selalu merasa bersalah ketika mendengarkan kesaksian korban saat mengalami sakit luar biasa akibat ledakan bom. “Saya jadi mikir apa yang kita pahami dulu itu salah. Dulu kita nggak peduli karena kita menganggap mayoritas umat Islam di Indonesia ini bukan Islam. Tapi, setelah mendengarkan kisah-kisah korban itu, jadinya kita zalim,” ujarnya.

Sementara itu anggota Tim Perdamaian dari pihak korban, Endang Isnanik, berbagi kisah hidupnya sepeninggal suami, alm. Aris Munandar, yang menjadi salah satu korban tewas Bom Bali 2002. Penderitaan dan kepedihan mendalam dia rasakan setelah sang tulang punggung keluarga tiada. Meskipun demikian, dia mengaku bersyukur dapat mengambil hikmah dari cobaan yang menimpanya.

Hari-hari pertama pascakejadian Endang sering terbangun dini hari kemudian membuka pintu seakan-akan menyambut suaminya datang. Seketika dia pun sadar bahwa suaminya telah meninggal. “Itu terjadi setiap hari sehingga akhirnya saya ambil air wudu dan mencoba mendekatkan diri kepada Allah,” ucapnya. Dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dia mengaku semakin bersemangat untuk bangkit dari musibah.

Kurnia secara pribadi telah meminta maaf kepada Endang lantaran pernah terlibat kelompok teroris yang menyebabkan para korban menderita. Endang pun berbesar hati telah memaafkannya. Setelah rekonsiliasi terbentuk mereka berkomitmen untuk mengampanyekan perdamaian bersama AIDA.

Dalam Pelatihan juga diadakan sesi ‘Silaturahmi dengan Korban’. Mulyono, korban Bom Kuningan 2004, dan Tamin, korban Bom JW Marriott 2003, berbagi kisah hidup mereka saat mengalami peristiwa teror. Mulyono menderita luka parah di rahangnya. Rasa sakit akibat ledakan bom dia rasakan menjalar ke saraf-saraf di kepala dan hingga kini masih sering muncul. Sementara itu, Tamin meskipun badannya tidak mengalami luka namun secara mental dia sangat terpukul menyaksikan ledakan disertai sambaran api yang sangat besar menghampiri mobil yang dikendarainya.

Saat kejadian, Tamin mengantarkan atasannya untuk makan siang di Restoran Syailendra di Hotel JW Marriott Jakarta. Karena lalu lintas padat lajunya terhalang beberapa mobil di depannya. Posisinya waktu itu hanya sekitar 15 meter dari mobil pembawa bom. “Tadinya saya mau marah sama mobil yang menghalangi saya itu. Ternyata setelah kejadian saya baru … astaghfirullah al-adzim, kalau nggak ada mobil itu saya nggak bisa ngebayang (pasti terkena ledakan-red),” ucapnya.

Usai penuturan kisah korban para peserta mengutarakan kesan. Sebagian menyampaikan simpati dan mendoakan agar musibah yang dialami para korban dapat menggugurkan dosa-dosa mereka. Seorang peserta menanyakan bagaimana perasaan korban setelah mengetahui bahwa pelaku teroris beragama Islam. “Apakah tidak yunqisul iman, mengurangi keimanan, begitu?” ujarnya.

Menanggapi hal itu Mulyono menerangkan bahwa sejak kecil dia dibesarkan dalam keluarga yang mengajarkan bahwa Islam agama yang damai, indah, dan baik. Dia juga diajarkan untuk tidak membenci agama lain. Dia menganggap aksi teror yang menimpanya sebagai ujian Tuhan bagi hamba-Nya yang ingin berkembang menjadi lebih baik. “Kalau kita mau naik tingkat, mau naik kelas, pasti diuji akan dapat cobaan. Itu yang saya yakini bahwa kalau kita dapat cobaan terus kita masih marah-marah sama Allah, kita nggak terima, ya kita belum naik kelas,” kata dia.

Selain materi inti penguatan sudut pandang korban, para peserta Pelatihan juga mendapatkan materi pengayaan dari narasumber pakar, di antaranya Marzuki Wahid, dosen dan peneliti IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Sofyan Tsauri, pengamat jaringan terorisme, dan Imam B. Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia.

Pelatihan diikuti oleh 26 aktivis dakwah dari berbagai ormas Islam dan pondok pesantren di wilayah Bandung Raya, di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Majelis Ulama Indonesia, dan Pusdai Jawa Barat. [MLM]

 

 

 

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XIV Oktober 2017.