Suasana Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama
Home Berita Mendorong Dakwah Damai di Serambi Mekah
Berita - 08/10/2018

Mendorong Dakwah Damai di Serambi Mekah

Suasana Pelatihan Penguatan Pespektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Banda Aceh, Selasa. (13/02/2018)
Dok. AIDA

 

Lantunan Alquran menggema di ruangan Hotel Grand Nanggroe pagi itu. Puluhan hadirin tampak khusyuk menyimak. Sesaat berikutnya shalawat Nabi diperdengarkan. Pembacaan ayat suci dan shalawat tersebut mengawali Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Banda Aceh pertengahan Februari lalu.

Dalam kegiatan yang diinisiasi AIDA, bekerja sama dengan Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT), tak kurang 30 dai dari berbagai penjuru Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengikuti acara dengan antusias. Mereka adalah perwakilan dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, serta ormas-ormas Islam lainnya yang berbasis di bumi Serambi Mekah.

Sebagian peserta mengaku tertarik mengikuti kegiatan karena ingin mengetahui dampak aksi terorisme pada diri korban. Sebagian yang lain menyatakan bahwa kegiatan tersebut menyuguhkan pengalaman langka bagi para peserta, yaitu berinteraksi dengan korban dan mantan pelaku terorisme secara langsung.

Tiga korban dan seorang mantan pelaku terorisme dihadirkan dalam kegiatan yang berlangsung selama dua hari itu. Endang Isnanik (korban Bom Bali 2002), Mahanani Prihrahayu (korban Bom JW Marriott 2003), Hairil Islami (korban Bom Thamrin 2016), dan Iswanto (mantan anggota kelompok teroris) berbagi kisah kepada para peserta.

Pada sesi Silaturahmi dengan Korban Terorisme, Mahanani dan Hairil menceritakan pengalaman mereka saat terdampak aksi teror. Hairil mengisahkan saat serangan bom di Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat terjadi, dia sedang hendak beranjak ke kampusnya usai menggarap tugas kuliah di sebuah kedai kopi. Belum sempat pergi tiba-tiba ledakan besar terjadi mengenai Hairil dan para pengunjung kedai.

“Saya ngerasa itu kaya 5 meter dari belakang saya. Ini masih berasa anginnya kalau saya menceritakan, selalu berasa anginnya dari bom itu,” ujarnya mengenang peristiwa. Serangan teror itu menyisakan luka di tangan dan punggungnya.

Sementara itu, Mahanani menceritakan berbagai kesulitan hidup yang dia alami setelah suaminya, Slamet Heriyanto, meninggal dunia menjadi korban serangan bom mobil di Hotel JW Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003. Saat kejadian almarhum Slamet sedang bekerja sebagai petugas keamanan di hotel tersebut. Mahanani terpaksa menjadi orang tua tunggal bagi kedua putranya sepeninggal suami.

Seorang peserta melontarkan pertanyaan kepada Hairil dan Mahanani tentang perasaan mereka bila bertemu dengan orang yang pernah terlibat aksi terorisme. Hairil mengaku telah mengikhlaskan segala kejadian yang menimpanya dan tidak menyimpan dendam kepada mantan pelaku. Sementara itu, Mahanani tampak langsung menitikkan air mata dan tak kuasa menahan isak tangis bila mengingat kekejaman pelaku teror yang telah menghilangkan nyawa suaminya.

Dalam kesempatan terpisah, Endang dan Iswanto berbagi kisah kepada para mubalig peserta pelatihan tentang proses rekonsiliasi yang terbentuk di antara mereka. Keduanya bertemu pertama kali dalam sebuah kegiatan AIDA di Malang, Jawa Timur. Setelah berproses cukup lama, Iswanto meminta maaf kepada korban karena dahulu pernah tergabung dengan jaringan teroris. Endang sendiri yang telah kehilangan suami tercinta, alm. Aris Munandar, akibat Bom Bali 2002 mengaku secara perlahan telah dapat menerima masa lalu itu sebagai ketetapan Tuhan, serta memaafkan mantan pelaku.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra CBE, menyampaikan keynote speech dalam kegiatan. Dia mengapresiasi kerja AIDA yang mengupayakan terjalinnya islah atau rekonsiliasi antara korban dan mantan pelaku terorisme. Rekonsiliasi penting menurutnya untuk menyadarkan masyarakat, khususnya yang berpemikiran ekstrem serta mendukung kekerasan, bahwa aksi-aksi terorisme tidak saja bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di suatu negara tetapi juga bertentangan dengan pemahaman Islam yang sebenarnya.

Islam yang benar, menurutnya, sesuai namanya –islam, bermakna damai- mengajarkan dan menganjurkan pemeluknya untuk membumikan perdamaian. Bahkan, Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. “Bukan hanya umat manusia tapi juga binatang dan tumbuhan, bukan juga hanya manusia muslim tetapi juga terhadap nonmuslim,” kata dia.

Para peserta juga mendapatkan materi pengayaan Memahami Jaringan dan Ideologi Kelompok Teroris yang disampaikan oleh pengamat terorisme, Sofyan Tsauri. Dia mengatakan para dai di Aceh perlu memahami doktrin-doktrin yang disebarkan kelompok teroris mengingat wilayah tersebut pernah direncanakan menjadi qaidah aminah atau basis gerakan sebelum akhirnya digagalkan aparat keamanan.

Salah satu doktrin yang paling berbahaya dari kelompok teroris, terutama yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syam, menurut Sofyan adalah takfiri, yaitu menganggap kafir sebagian besar umat Islam di Indonesia karena menerima demokrasi sebagai sistem bernegara.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengharapkan para peserta dapat menyebarkan dakwah yang menumbuhkan perdamaian setelah mengikuti kegiatan. Penuturan kisah korban dan mantan pelaku, kata dia, mengandung banyak pelajaran berharga yang perlu digemakan kepada masyarakat luas. [MLM]

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” Edisi XVI, April 2018.