“Karena Saya Masih Ingin Melihat Mereka”

Bagi Ramdani, menceritakan peristiwa yang menimpanya 13 tahun lalu adalah bentuk perjuangan tersendiri. Pasalnya, dia perlu mengumpulkan segenap ketegaran untuk menahan kesedihan akibat kejadian di Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan waktu itu. Dia masih ingat betul bagaimana rasanya terguncang ledakan bom yang menyisakan luka di kepala.
Ramdani ialah satu di antara puluhan orang yang selamat dari serangan teror bom di depan Kedutaan Besar Australia atau sering disebut Bom Kuningan 9 September 2004. Saat kejadian dia sedang bertugas membersihkan kaca gedung tempatnya bekerja yang terpaut hanya sekitar 20 meter dari Kedutaan Besar Australia. Tiba-tiba ledakan sangat keras terjadi. Tubuhnya terpental, kepalanya terbentur pintu besi.
Pria paruh baya itu dilarikan ke rumah sakit dan didiagnosa mengalami gegar otak ringan. Meskipun telah menjalani perawatan, dia mengaku sampai saat ini terkadang rasa sakit di kepalanya masih terasa. “Oleh dokter saya nggak boleh mikir sesuatu yang berat, dan kalau beraktivitas di luar ruangan, cuacanya panas, itu kadang kepala saya sakit,” ujarnya.
Ramdani menceritakan kisahnya itu dalam acara Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media di Jakarta pada akhir Januari lalu.Kegiatan tersebut diselenggarakan AIDA untuk meningkatkan kesadaran bersama tentang pentingnya mengarusutamakan sudut pandang korban dalam pemberitaan isu terorisme. Sebanyak 21 jurnalis dari 20 media massa mengikuti kegiatan secara aktif.
Ni Putu Ayu Sila Prihana Dewi, korban Bom Bali 12 Oktober 2002, juga menceritakan pengalamannya. Ledakan keras disertai semburan api amat besar melanda ketika dia sedang bekerja sebagai petugas kasir di Sari Club di Jl. Legian, Kuta. Keramaian di tempat kerjanya seketika berubah menjadi kengerian luar biasa.Dengan sisa tenaga yang dimiliki dia melarikan diri bersama temannya.“Waktu jalan saya nggak sadar tangan saya terluka sampai kelihatan tulang, darahnya udah menetes,” kata dia.
Seorang peserta Short Course menanyakan kepada Ayu Sila dan Ramdani tentang apa yang membuat mereka bertahan bahkan bangkit dari penderitaan akibat aksi teror. Keduanya kompak menjawab se-nada bahwa dorongan semangat dari keluarga dan orang-orang terkasih membuat mereka tak menyerah dari musibah.“Karena saya masih ingin melihat mereka (orang-orang terkasih-red),” ucap Ayu Sila lirih.
Dalam kegiatan tersebut AIDA juga menghadirkan Tim Perdamaian yang terdiri atas penyintas dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi.Mereka adalah Tita Apriyantini (penyintas Bom JW Marriott 2003) dan Ali Fauzi (mantan anggota kelompok teroris).Secara bergantian Tita dan Ali berbagi pengalaman hidup kepada para jurnalis peserta Short Course.
Ali menceritakan bagaimana perubahan pola pikirnya dari dunia kekerasan menuju jalan perdamaian terjadi setelah pertemuannya dengan korban terorisme.Saat pertama kali bertemu korban dia mengaku larut dalam kesedihan, tak mampu membayangkan betapa sakitnya penderitaan akibat ledakan bom.
Dia mengaku pengetahuan dan keahliannya merakit bom yang dulu dibanggakan seketika lebur ketika melihat dampak ledakan yang dialami korban.“Mereka adalah pahlawan-pahlawan saya,” kata Ali.
Selain dari korban dan mantan pelaku, para peserta Short Course mendapatkan pengayaan materi dari sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, anggota Dewan Pers, Nezar Patria, pakar jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara, Hanif Suranto, dan peneliti terorisme Universitas Indonesia, Solahudin. Dalam pemaparannya, Nezar menekankan kepadapara jurnalis agar menghindaripemberitaan yang berpotensimempromosikan, memberikan legitimasi atau glorifikasi terhadap tindakan terorisme. Hanif mengingatkan para wartawan untuk selalu menyadari fungsi jurnalisme, yaitu tidak sekadar memberitakan fakta tetapi lebih dari itu setiap insan media wajib memahami untuk tujuan apa fakta dilaporkan.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengharapkan dari kegiatan tersebut pemberitaan di media massa yang berperspektif korban dalam isu terorisme meningkat. Dia mengamati liputan berita tentang isu terorisme selama ini lebih banyak menyorot sisi peristiwa, pelaku dan jaringannya.Sudut pandang korban acap kali luput dari perhatian media. Padahal, berdasarkan pengalaman AIDA, korban memiliki potensi besar untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya terorisme.
Selain itu, dia menambahkan, pemberitaan berperspektif korban dapat mendorong pemenuhan hak-hak korban oleh negara. “Dari Bom Bali tahun 2002 sampai aksi bom terakhir seperti di Thamrin atau di Kampung Melayu, bisa dikonfirmasi belum ada satu pun korban yang mendapatkan hak kompensasi,” kata dia. [MLM]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XVI April 2018.