Dakwah dan Kisah Penyintas
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Dalam perspektif Islam, dakwah dimaknai sebagai ajakan berbuat baik atau menyampaikan nasihat kepada orang lain agar berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam. Dakwah bukanlah pemaksaan kehendak, melainkan ajakan kepada kebaikan dengan cara yang santun. Terkait hal itu, penulis melihat bahwa yang dilakukan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dalam mengampanyekan perdamaian dengan mengangkat kisah korban terorisme, merupakan bagian dari dakwah.
Dalam berbagai kesempatan acara yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya perdamaian, AIDA menghadirkan korban aksi teror untuk berbagi kisah. Pengalaman korban menghadapi cobaan hidup setelah terdampak aksi teror mengandung ‘ibrah atau pelajaran berharga yang patut diserap. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran bahwa “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Rasul dan umat terdahulu) terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal” (Surat Yusuf ayat 111), inisiatif AIDA mengungkap kisah korban terorisme bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik betapa perdamaian sangat penting untuk terus dipelihara, dan betapa penyebaran paham keagamaan yang ekstrem patut diwaspadai.
Bagi para korban yang selamat dari serangan teror, kekejian pelaku telah merusak kondisi fisik dan psikis mereka hingga menyebabkan cacat seumur hidup. Sementara itu, bagi ahli waris atau kerabat korban, aksi teror telah menghilangkan nyawa orang-orang terkasih, di mana tak sedikit dari mereka merupakan tulang punggung keluarga.

Meskipun berbagai penderitaan akibat terorisme membuat kehidupan terpuruk, para korban tidak lantas berputus asa. Mereka sabar dan ikhlas menjalani hidup tidak sekadar sebagai korban, tetapi lebih dari itu, mereka meningkat menjadi penyintas (survivor) terorisme. Bahkan, ketika dipertemukan dengan orang-orang yang pernah terlibat dengan kelompok penebar paham teror, mereka enggan membalas dendam. Para penyintas memilih untuk memaafkan.
Keunggulan sifat para penyintas yang tegar, pantang menyerah, dan luas hati hingga mampu memaafkan mantan pelaku terorisme itulah ‘ibrah dari kisah mereka yang pantas diteladani.
Dalam sejarahnya, Rasulullah Saw. berdakwah di tengah masyarakat Arab di mana praktik-praktik pelanggaran norma kemanusiaan lazim terjadi. Setelah Islam dirisalahkan, Nabi tidak lantas memaksakan ajaran. Rasulullah mengupayakan perubahan di masyarakat Arab secara perlahan dengan mengedepankan akhlak yang mulia serta moralitas yang luhur. Seperti halnya aktivitas mengajak, titik tekan dalam berdakwah seperti yang dicontohkan Nabi adalah sikap lemah lembut, bukan paksaan, dengan tujuan agar orang yang diajak bersedia mengikuti ajakan, yaitu beriman kepada Allah Swt.
Dalam sebuah riwayat hadis dikisahkan perjalanan dakwah Rasulullah Saw. pada masa awal kenabian penuh tantangan berat. Gangguan dari suku Quraisy di Mekah memaksa beliau untuk berpindah meninggalkan kampung halaman. Ketika beliau meminta pertolongan kepada penguasa Thaif, sekitar 100 km di tenggara Mekah, bukan sambutan baik yang diterima. Justru sebaliknya, perlakuan warga Thaif kepada beliau sangat menyakitkan hati.
Di tengah kesedihan tersebut malaikat menawarkan kepada Nabi untuk mendoakan keburukan kepada warga Thaif niscaya dua gunung akan ditimpakan ke mereka atas izin Allah Swt. Akan tetapi, beliau Saw. menolak tawaran tersebut. Rasulullah Saw. justru berdoa agar kelak lahir keturunan penduduk Thaif yang menyembah Allah Swt. semata, dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun.
Kisah dalam hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim tersebut menunjukkan kebesaran hati Rasulullah Saw. dalam berdakwah. Terhadap orang-orang yang membenci dan menolak ajakannya, beliau tidak membalas dengan keburukan, tetapi justru mendoakan kebaikan.
Inspirasi yang kurang lebih sama ditunjukkan oleh para penyintas terorisme saat berbagi kisah dalam berbagai kegiatan AIDA. Mereka telah dibuat menderita oleh para pelaku aksi terorisme. Meskipun demikian, mereka enggan untuk mendendam. Mereka menolak untuk membalas kekerasan yang telah terjadi dengan kekerasan baru. Sederhana yang mereka pikirkan, bila kekerasan direspons dengan kekerasan lain maka yang terjadi adalah siklus kekerasan yang tak pernah putus. Bila itu terjadi maka sampai kapan pun perdamaian tidak akan pernah terwujud.
Spirit dakwah profetik dan inspirasi dari penyintas terorisme dibutuhkan bangsa Indonesia, terlebih pada masa-masa di mana kontestasi politik sedang berlangsung seperti saat ini. Dakwah yang disebarluaskan ke masyarakat semestinya yang mengajak untuk meningkatkan kualitas diri dan memperkuat ikatan solidaritas sesama anak bangsa. Ibnu Khaldun, ulama, sosiolog dan sejarawan Muslim terkemuka, mengatakan bahwa ikatan dan solidaritas sosial akan memperkuat suatu bangsa dan agama.
Sungguh disayangkan bila ceramah keagamaan yang berkembang di masyarakat tidak menyeru pada penguatan solidaritas sesama bangsa, bahkan justru mempropagandakan perpecahan. Dakwah semacam itu selain tidak selaras dengan teladan Nabi, juga berpotensi melemahkan ukhuwah sesama bangsa Indonesia. Menurut hemat penulis, kisah-kisah penyintas terorisme penting untuk disebarluaskan kepada masyarakat agar menjadi inspirasi untuk memelihara perdamaian.
Oleh: Fahmi Suhudi