Menggali Kekuatan Kisah Korban Aksi Terorisme
Oleh: Wiwit Tri Rahayu, alumnus Universitas Airlangga
Dalam kaitannya dengan isu terorisme, tidak banyak liputan berita yang mengarusutamakan perspektif korban. Kebanyakan media menyediakan porsi yang lebih besar untuk menyuguhkan informasi dari sudut pandang peristiwa –seputar siapa pelakunya, dari jaringan/kelompok mana, bagaimana kejadiannya, dst– atau dari aspek penegakan hukum terkait langkah-langkah aparat dalam menangani kasus. Korban seolah hanya menjadi angin lalu yang diberitakan secara masif sesaat setelah kejadian, namun dilupakan dengan cepat setelah isu meredup. Kondisi seperti ini berimbas pada absennya perhatian publik, terutama Negara, terhadap nasib korban.
Padahal, pengarusutamaan perspektif korban ini sangat penting. Selain untuk menjamin pemenuhan hak-hak korban oleh Negara, penyampaian tentang perspektif korban juga bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat agar selalu mewaspadai paham kekerasan. Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA), kisah korban bahkan efektif untuk menyadarkan orang-orang yang pernah terpapar paham terorisme. Dalam momentum 2 tahun kejadian serangan Bom Kampung Melayu (24 Mei 2017), tulisan ini mencoba untuk menggali kekuatan kisah korban dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mewaspadai gerakan kekerasan.
Penguat bagi korban
Mengisahkan pengalaman saat terdampak aksi terorisme, bagi sebagian korban merupakan langkah berat karena bisa membangkitkan kesedihan dan trauma mendalam. Namun, bagi sebagian yang lain, setidaknya menurut pengakuan sejumlah korban yang pernah terlibat dalam kegiatan AIDA, berbagi kisah kepada orang lain merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan kesedihan yang selama ini membebani pikiran. Berkisah tentang pengalaman menjadi korban terorisme menurut mereka juga bisa mendorong untuk berdamai dengan masa lalu. Dengan itu, para korban bisa semakin kuat untuk menjalani kehidupan ke depan.
Susi Afitriyani, atau yang biasa dipanggil Pipit, ialah salah seorang penyintas yang sukses berdamai dengan masa lalu, dan bahkan aktif menularkan semangatnya kepada orang lain. Dalam beberapa kali kesempatan bersama AIDA, Pipit mengatakan bahwa musibah yang menimpanya, yaitu serangan teror bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur pada 24 Mei 2017, tidak akan menyurutkan semangatnya untuk menggapai cita-cita. Lengan tangan kanan serta bahu bagian belakangnya mengalami luka serius akibat ledakan bom. Ia selalu kesusahan menggerakkan tangan kanannya ketika diajak bersalaman oleh orang lain. Bom Kampung Melayu telah berlalu cukup lama namun kesakitan akibat kejadian itu masih harus ia terima.
Akan tetapi, ia menyadari bahwa kondisi hidupnya tidak akan menjadi lebih baik bila hanya terus-terusan mengeluh. Alih-alih menyerah dengan keadaan, ia justru bersemangat untuk melanjutkan studinya demi masa depan. Ia mengharapkan, orang-orang yang senasib dengannya, yang menderita cedera atau kehilangan orang terkasih akibat aksi teror, memiliki semangat yang sama demi masa depan yang lebih baik.
Upaya penyadaran terhadap pelaku
Testimoni korban juga berpengaruh terhadap perubahan sikap pelaku dalam menyadari kesalahan masa lalunya. Dari pengalaman AIDA berdasarkan pengakuan sejumlah mantan pelaku terorisme yang telah bertobat, bertemu dengan korban serta menyimak kisah mereka, merupakan faktor yang signifikan dalam perjalanan meninggalkan dunia terorisme.
Menurut Hasibullah Sastrawi dalam bukunya La Tay`as (Jangan Putus Asa): Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, beberapa mantan pelaku mengevaluasi pemikiran setelah mengetahui bahwa alih-alih membela agama, aksi terorisme justru menyebabkan ajaran luhur agama terpandang buruk di mata publik.
Memahami berbagai penderitaan yang dialami korban, masih menurut Hasibullah, juga mendorong mantan pelaku untuk mengakui kesalahan serta meminta maaf kepada para korban. Iswanto, seorang mantan anggota kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI), bahkan mengaku pertemuan dengan korban menjadi faktor yang paling kuat menyadarkannya untuk meninggalkan dunia kekerasan. Choirul Ihwan, mantan narapidana kasus terorisme, juga demikian. Ia mengaku shock ketika dipertemukan dengan seorang korban bom yang bisa memaafkan orang-orang yang pernah terlibat aksi terorisme seperti dirinya. Bagi Choirul, bila dirinya yang menjadi korban, belum tentu ia bisa memaafkan pelaku.
Sebagian mantan pelaku juga mengaku bahwa setelah menyimak kisah korban dan menyaksikan langsung kondisi korban, memunculkan empati serta membuat para mantan pelaku merasa bersalah. Mereka merasa bersalah kepada korban secara khusus, serta kepada masyarakat secara umum, karena belum berhasil mengentaskan rekan-rekannya dari jerat terorisme.
Pembelajaran untuk masyarakat
Penyintas aksi terorisme, dengan segala luka yang diderita, menjadi gambaran yang sangat gamblang bagi masyarakat tentang dampak dan bahaya pemahaman kekerasan. Begitu pula, testimoni dari keluarga yang ditinggalkan (korban tak langsung), menjadi bukti nyata bahwa kekerasan terorisme selalu memunculkan kerugian dan penderitaan. Terorisme yang menelan korban jiwa membuat keluarga yang sebelumnya utuh, menjadi berjalan pincang karena seorang anggota keluarganya meninggal dunia akibat aksi teror. Terorisme menciptakan janda-janda serta anak-anak yatim atau piatu yang terpaksa menghadapi tantangan kehidupan tanpa dampingan bapak atau ibu yang pergi akibat aksi kekerasan.
Dari pengalaman AIDA, pendekatan dengan menggunakan kisah korban efektif menguatkan kesadaran masyarakat tentang dampak dan bahaya paham terorisme. Tak terkecuali bagi kalangan remaja yang rentan menjadi target perekrutan kelompok teroris. Temuan AIDA di lapangan menunjukkan adanya perubahan pandangan yang signifikan dari generasi muda tentang aksi terorisme, setelah menyimak testimoni korban. Sebelumnya, seorang siswa di Klaten, Jawa Tengah berpikiran bahwa aksi terorisme di Indonesia dapat dibenarkan dengan alasan untuk membalas ketidakadilan yang ditimpakan Barat terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia. Namun, setelah memahami dampak yang dialami para korban, ia menyadari bahwa aksi terorisme tidak dapat dibenarkan, apa pun motivasinya.
Siswa tersebut bisa jadi adalah satu di antara banyak masyarakat yang pernah memiliki pemikiran mendukung paham terorisme. Sejumlah kasus aksi teror atau penangkapan terduga teroris di berbagai wilayah, menunjukkan bahwa tidak sedikit pemuda yang menganut pemahaman keagamaan yang ekstrem kemudian memutuskan untuk bergabung dengan gerakan terorisme. Penuturan kisah korban dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa dampak aksi terorisme luar biasa merusak dan menghancurkan kehidupan, sehingga masyarakat bisa lebih waspada terhadap propaganda kelompok-kelompok pendukung terorisme, serta berpikir ulang untuk terlibat dengan gerakan kekerasan itu.