16/07/2024

Tentang Pembubaran JI

Oleh: Hasibullah Satrawi,
Pengamat Terorisme dan Politik Timur Tengah. Ketua Pengurus Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta

Ada istilah yang sangat khas di kalangan Jamaah Islamiyah (JI): bersembunyi di ruang terang. Ini adalah salah satu strategi JI dalam menyembunyikan aset-aset utama, khususnya para senior atau kader potensial yang masuk dalam daftar Mathlubin (bahasa Arab, berarti Daftar Pencarian Orang/DPO).

Bersembunyi di ruang terang artinya bersembunyi di tempat-tempat umum dan membaur dengan masyarakat. Bersembunyi di ruang terang berbeda dengan bersembunyi di ruang gelap atau di tempat-tempat terpencil yang tidak diketahui oleh banyak orang.

Untuk kepentingan-kepentingan organisasi yang bersifat strategis—khususnya para senior atau kader dengan keahlian khusus yang masuk DPO aparat berwajib—JI memberi perlindungan maksimal dengan mengombinasikan antara bersembunyi di ruang terang dan bersembunyi di ruang tertutup.

Baca juga Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat

Strategi ini bisa dibilang cukup berhasil, hingga ada sebagian tokoh atau kader JI yang masuk DPO selama puluhan tahun. Bahkan, ada tokoh JI yang menjadi DPO hampir 20 tahun seperti dialami Zulkarnaen yang pernah menjadi Panglima Askari (militer) JI. Zulkarnaen menjadi DPO dalam kasus Bom Bali I pada 2002 dan baru berhasil ditangkap pada 2020 lalu.

Kisah penggunaan strategi bersembunyi di ruang terang atau di ruang gelap bisa menjadi gambaran untuk melihat kematangan JI sebagai organisasi yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ini. Masih banyak hal-hal lain dari JI yang bisa dijadikan sebagai petunjuk dari kematangan organisasi yang pernah dan masih mengkhawatirkan banyak pihak, baik di tingkat nasional ataupun internasional.

Dampak pembubaran JI

Bila organisasi ini akhirnya mengumumkan pembubaran diri dan kembali ke NKRI—seperti disampaikan oleh tokoh-tokoh senior yang sangat diperhitungkan pada 30 Juni lalu—sudah dipastikan hal ini sudah melalui kajian yang mendalam. Tak hanya secara pemahaman keagamaan, melainkan juga secara keamanan.

Hampir pasti pula, perubahan seperti ini disebabkan oleh banyak faktor dan aktor. Multi faktor dan aktor.

Baca juga Melampaui Program Moderasi Beragama

Sebagai orang yang aktif dalam kampanye perdamaian melalui peran korban dan mantan pelaku terorisme dalam 10 tahun terakhir, kita perlu mengapresiasi maklumat pembubaran JI sekaligus komitmen JI untuk kembali ke NKRI.

Para pihak dan masyarakat luas juga perlu memberikan kesempatan kepada mereka yang menghendaki dan berkomitmen terhadap kesempatan kedua ini, sembari tetap menjaga perdamaian dan kewaspadaan yang ada. Hampir bisa dipastikan, maklumat pembubaran JI ini akan menimbulkan dampak besar, baik di internal jaringan terorisme maupun di masyarakat.

Untuk internal jaringan terorisme, sebagian akan mendukung perubahan JI ini, tetapi penolakan atau resistensi juga akan muncul dari mereka yang tidak terima atau tidak rela JI berubah. Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyebut kelompok yang menolak ini splinter group (2024).

Baca juga Revolusi Jiwa Berkorban

Sementara, di kalangan masyarakat luas, minimal akan ada dua dampak dari perubahan JI ini. Pertama, semakin banyak tokoh gerakan yang berubah haluan; dari anti-NKRI menjadi menerima NKRI. Tentu ini kabar baik. Kedua, timbulnya potensi ancaman keamanan, khususnya dari mereka yang tak puas dengan perubahan JI. Ini yang harus diantisipasi aparat keamanan.

Keseriusan berubah

Bagaimana JI yang sedemikian matang, bisa mengalami perubahan ekstrem seperti ini? Sejauh mana kesejatian dari perubahan ini?

JI (dan kelompok jihadis lain pada umumnya) merupakan kelompok ideologis yang mendasarkan semua kiprahnya pada dasar-dasar ajaran tertentu, khususnya ajaran yang ada dalam Islam. Hampir dipastikan, tak ada tindakan apa pun yang dilakukan tanpa menjadikan ajaran tertentu, yakni Al Quran dan sunah, sebagai dalil pembenarannya.

Baca juga Soal Pengalaman Bernegara Kita

Hadi Masykur, mantan anggota organisasi teroris Jamaah Islamiyah, berbicara dalam acara pemutaran film dokumenter Kembali ke Titik, Jumat (7/4/2023), di Yogyakarta.

Hal ini juga berarti, para teroris yang lahir dari ”kinerja ideologis” seperti ini tak akan melakukan aksi apa pun tanpa adanya keyakinan bahwa yang dilakukan adalah benar.

Bahkan aksinya dianggap sebagai sebuah kewajiban yang akan mengantarkan pelakunya ke surga. Inilah yang membuat pelaku terorisme acap berlaku sadis, mulai dari melakukan aksi penusukan, pengeboman, hingga bom bunuh diri.

Baca juga Mengatur Jurnalisme di Platform Digital

Bahkan dalam sejumlah kejadian, bom bunuh diri dilakukan bersama keluarganya, termasuk anak-anak di bawah umur seperti dalam kasus Bom Surabaya tahun 2018, atau melibatkan janin yang masih berada dalam kandungan alias ibu hamil seperti pada kasus Bom Makassar pada 2021.

Namun demikian, di sisi lain, karena alasan ideologis pula, sangat dimungkinkan terjadi perubahan-perubahan di kalangan kelompok ini, khususnya tatkala ada perubahan pandangan atau ijtihad dari ulama atau tokoh yang diikutinya.

Perubahan ijtihad ini sangat mungkin, bahkan sering terjadi, dan berdampak pada perubahan pandangan hukum yang berlaku. Dalam kajian hukum Islam, ini dikenal dengan istilah taghayyurul ahkam bitaghayyuril azminah wal amkinah (perubahan hukum akibat perubahan situasi dan kondisi).

Baca juga Akademi Bahagia

Contohnya yang terjadi pada Al Qaeda dengan Letters from Abbottabad, di mana surat-surat itu diyakini menggambarkan perubahan pandangan Osama bin Laden terkait aksi-aksi terorisme.

Dalam konteks Indonesia, peristiwa Bom Bali I pada 2002 dan Bom Bali II pada 2005 bisa dijadikan contoh dari perubahan yang dipicu oleh perubahan ijtihad tersebut. Menurut sebagian sumber, pada awalnya bom Bali dilakukan karena dianggap mendapatkan izin dari Osama bin Laden. Namun, belakangan diberitakan, Osama mengevaluasi pelaksanaan serangan bom Bali dan bom-bom lain yang terjadi di Indonesia.

Bahkan, sumber yang lain mengatakan, Osama juga tidak setuju dengan aksi pengeboman di beberapa gereja pada momen malam Natal tahun 2000, mengingat karena gereja-gereja yang diserang dalam aksi itu bukan gereja yang difungsikan sebagai tempat persembunyian atau penimbunan senjata.

Baca juga Mengatasi Stagnasi Kualitas Pendidikan Nasional

Dampak dari aksi terorisme yang sangat destruktif, baik kepada korban maupun kepada pelaku, bisa disebut adalah salah satu penyebab dari perubahan fatwa jihad yang ada.

Sebagaimana diketahui, aksi-aksi pengeboman yang selama ini terjadi di Indonesia —baik yang dilakukan oleh JI ataupun di luar JI— tidak hanya menyasar mereka yang dianggap sebagai thaghut atau aparat keamanan, melainkan juga menyasar masyarakat biasa.

Bahkan, kebanyakan yang menjadi korban dari pengeboman adalah umat Islam sendiri. Padahal, mereka selalu mengatasnamakan tindakannya untuk melindungi dan membela umat Islam.

Baca juga Sebab Jurnalisme Investigasi Harus Terus Ada

Alih-alih, gerakan teroris di Indonesia justru mendapatkan perlawanan dari umat Islam. Tak sedikit masyarakat Islam yang menolak kedatangan para teroris di wilayahnya, bahkan untuk kepentingan menguburkan seorang terduga teroris yang meninggal sekalipun.

Realitas seperti inilah yang membuat sebagian tokoh teroris di Indonesia memikirkan ulang apa yang telah diyakininya selama ini. Dalam konteks seperti ini, perubahan seperti yang dialami JI sekarang ini adalah hal wajar dan sangat mungkin terjadi.

Bahkan jauh hari sebelumnya, pada 1997, JI Mesir dengan dimotori Syeikh Najih Ibrahim dan kawan-kawan, sudah lebih dulu mengalami hal yang kurang lebih sama, yang kemudian melahirkan buku serial pertaubatan mereka.

Baca juga Metode Living Books Sebagai Media Merdeka Belajar

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, untuk sebagian kasus, perubahan seperti ini tak dapat diragukan keasliannya, walaupun mungkin tidak demikian untuk sebagian kasus yang lain. Alih-alih, ada kemungkinan sebagian dari mereka justru menjadi splinter.

Anggota JI yang setuju dengan perubahan JI ini kemungkinan akan menggunakan ruang-ruang terang untuk berdakwah dan memperjuangkan keyakinan yang mereka miliki. Sebaliknya, untuk mereka yang tidak puas dengan perubahan JI ini, sangat mungkin akan melakukan hal-hal yang bersifat perlawanan.

Bahkan, tidak ada yang bisa menjamin para tokoh JI yang sudah menerima NKRI juga akan meninggalkan aspek ideologi negara atau hukum Islam seperti yang mereka yakini selama ini.

Masa depan JI

Dari pengetahuan penulis, kelompok teror di Indonesia hampir tak bisa dipisahkan dari cita-cita negara Islam atau penerapan hukum Islam, khususnya hukum jinayat. Hal terpenting adalah, perjuangan JI ke depan kemungkinan tak akan dilakukan dengan cara-cara teror lagi.

Baca juga Jadilah Guru yang Menyenangkan

Sebagaimana telah dinyatakan oleh para tokoh JI yang sudah berubah, mereka siap kembali ke NKRI dan berjuang dalam kerangka aturan yang dibolehkan oleh NKRI. Ke depan, bukan tak mungkin para tokoh JI yang ada akan bergabung dengan partai-partai politik untuk melanjutkan perjuangan politiknya, atau bahkan membentuk partai sendiri.

Bila benar demikian, kehadiran para tokoh JI akan menjadi pesaing yang serius bagi para politisi yang ada selama ini, khususnya dalam upaya mendapat dukungan dan memenangi hati rakyat.

Persoalannya, iklim demokrasi Indonesia masih jauh dari matang dan sarat politik transaksional. Siapa yang bisa menawarkan, terlebih bisa mewujudkan, kesejahteraan, akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Termasuk juga, para mantan tokoh-tokoh JI ini.

*Artikel ini terbit di kompas.id, Selasa 16 Juli 2024

Baca juga Madinah Sumbu Peradaban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *