Home Suara Korban “Saya Mengikhlaskan Semua Itu”
Suara Korban - 25/07/2019

“Saya Mengikhlaskan Semua Itu”

“Saya pikir tidak terjadi apa-apa, karena saya tidak pernah kontrol. Tetapi, kalau mengedip ada cahaya di mata saya. Lama-lama kok cahaya itu semakin terang. Akhirnya saya periksa, ternyata pembuluh darah retina pecah.” Demikian Ruli Anwari menceritakan sakit yang dideritanya akibat serangan teror Bom Kuningan yang terjadi pada 9 September 2004 silam.

Pada hari yang nahas itu, Ruli sedang berada di dalam sebuah gedung di Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tak pernah ia bayangkan, tiba-tiba ledakan sangat keras terjadi. Belakangan diketahui, sumber ledakan adalah bom yang dibawa sebuah mobil boks yang melintas di salah satu jalan protokol ibu kota itu. Ledakan bom sangat keras hingga membuat kerusakan di gedung tempat Ruli berada.

Pagi itu sebelum berangkat ke kawasan Kuningan, Ruli dan istri merasakan pengalaman yang tidak biasanya. Anak mereka menangis tidak ingin ditinggal pergi. Padahal, biasanya setiap pagi sang anak sudah terbiasa ditinggal di rumah bersama seorang asisten rumah tangga. Ruli dan istri tak mengira tangisan buah hati mereka mengandung isyarat.

Setelah sampai tujuan, sekitar pukul 10 pagi Ruli mengantarkan istri ke toilet. Tanpa disangka, terjadi sebuah ledakan dengan dentuman keras. Awalnya ia mengira ledakan tersebut berasal dari ban truk yang pecah. Namun ternyata, setelah ia melihat keadaan sekitar, barulah ia menyadari bahwa ledakan tersebut bersumber dari sebuah bom. “Setelah saya melihat semua kaca-kaca di depan saya jatuh, seperti film-film kalau adik-adik sering melihat,” ungkapnya dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di SMK Budi Mulia Pakisaji, Kab. Malang pertengahan Maret lalu.

Ledakan yang bersumber dari mobil boks itu menghancurkan bangunan dan fasilitas publik di sekitar tempat kejadian. Meski gedung tempatnya berada cukup berjarak dari mobil pembawa bom, ia mengaku bisa melihat langsung bagaimana ledakan itu merusak semua benda.

Ia kemudian keluar dari gedung bersama sang istri. Suasana menjadi tidak kondusif. Tampak sejumlah orang terluka dan berhamburan di jalanan, banyak kendaraan di tempat parkir hancur, dan di saat yang sama, asap hitam membubung tinggi di sekitar kantor Kedutaan Besar Australia.  

Saat itu, Ruli fokus mengkhawatirkan keselamatan istrinya yang mengalami luka serius di bagian kaki. Baru ketika dalam perjalanan pulang, ia menyadari bahwa dirinya juga terluka. Beberapa serpihan kaca dan benda keras mengenai kepalanya. Ia pun harus mendapatkan jahitan di beberapa titik di kepalanya. Bukan hanya dampak fisik, Ruli juga mengalami dampak psikis. Tiga hari pasca kejadian, ia merasa shock berat dan fisiknya menjadi lemas. Jangankan untuk bekerja ke kantor, sekadar beraktivitas harian di rumah saja ia merasakan kekuatan tubuhnya sangat lemah. Empat bulan setelah kejadian itu, ia masih trauma jika mendengar suara-suara keras, bahkan membuatnya panik dan tiba-tiba merasa lemas. Dampaknya, Ruli menjadi pribadi yang mudah marah kepada anak dan orang lain.

Waktu demi waktu berlalu, Ruli mengira dampak bom itu sudah selesai. Ia merasa telah baik-baik saja. Dampak psikis maupun fisik ia anggap telah selesai. Namun, perkiraan Ruli keliru. Pada tahun 2012 ia mengalami masalah dalam penglihatannya. Tiap kali ia berkedip, seolah ada cahaya yang menghalangi. Ia memeriksakan masalah itu ke dokter, dan dinyatakan salah satu pembuluh darah retinanya pecah.

“Saya dua kali ke dokter mata untuk memastikan. Jadi, retina itu kalau dioperasi ada dua kemungkinan, pertama cacat total, karena retinanya ada hitam di tengah. Kedua, ada kemungkinan sembuh. Tapi saya tidak berani ambil risiko,” tuturnya.

Meskipun masih mengalami efek dari ledakan bom, justu semakin meningkatkan semangat hidupnya untuk bangkit.

Meskipun masih terus mengalami efek dari ledakan, Ruli tak patah semangat. Perlahan-lahan justru ia semakin meningkatkan semangat hidupnya untuk bangkit. Selain membuka usaha di bidang kuliner, saat ini ia aktif bergabung menjadi duta perdamaian AIDA. Ia aktif  mempromosikan perdamaian kepada masyarakat luas di berbagai daerah di Indonesia.

Sebagai penyintas aksi terorisme, ia mengaku ikhlas atas semua kejadian yang menimpa dirinya karena menurutnya segala yang terjadi merupakan bagian dari takdir Tuhan. Ia juga belajar untuk ikhlas memaafkan mantan pelaku, orang-orang yang pernah terlibat dengan kelompok teroris yang telah bertobat dari dunia kekerasan. Dalam berbagai kegiatan AIDA, ia beberapa kali dipertemukan dengan mantan pelaku, dan ia menyatakan telah ikhlas memaafkan. Bahkan, ia mendoakan mantan pelaku agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. “Semua kejadian yang saya alami adalah takdir dari Allah. Saya mengikhlaskan semua itu. Saya kemudian mendoakan mantan pelaku, kita doakan supaya orang itu menjadi lebih baik. Bagi saya, jangan balas keburukan dengan keburukan lagi, tapi balaslah dengan kebaikan,” kata dia. [MSH]

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *