Home Suara Korban “Bukan karena Teroris Kakakmu Nggak Ada”
Suara Korban - 15/08/2019

“Bukan karena Teroris Kakakmu Nggak Ada”

Aliansi Indonesia Damai – “Rasanya sakit. Perih. Dampaknya terlalu besar bagi keluarga saya,” tutur Reni Agustina Sitania dalam sebuah kegiatan AIDA di Probolinggo pekan lalu. Mata perempuan itu berkaca-kaca dan suaranya terdengar parau.

Reni kehilangan saudara kandungnya, Martinus Sitania, akibat ledakan bom di Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan tahun 2004. Meski peristiwa tersebut telah 15 tahun berlalu namun terkadang ia merasakan seperti baru terjadi kemarin.

Yang membuat Reni dan keluarganya begitu sedih, jenazah Martinus sulit dikenali. Posisinya yang saat kejadian begitu dekat dengan mobil boks pembawa bom membuat tubuhnya hangus dan sulit diidentifikasi. “Bahkan helmnya masih menempel dengan tengkorak kepalanya,” ungkapnya masih dalam isak tangis tertahan.

Beberapa waktu setelah kejadian, Reni dan orang tuanya yang tengah berduka karena kehilangan anggota keluarga, tambah terpukul saat mendengar kabar bahwa Martinus disebut-sebut sebagai tersangka pelaku peledakan bom. Informasi tersebut mereka peroleh dari berbagai media.

Baca juga Pesan Terakhir Ayah Kepada Sang Anak

Awalnya Reni dan keluarga tidak mengetahui bahwa Martinus menjadi korban Bom Kedutaan Australia. Apalagi kawasan tersebut bukan jalur yang dilalui kakaknya ketika berangkat atau pulang bekerja.

Hanya saja ketika Martinus tak kunjung pulang pada 9 September 2004 itu, keluarga menjadi was-was. Apalagi berbagai media terus memberitakan terjadinya ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia.

Tangis keluarga langsung meledak ketika mendapat kepastian Martinus benar-benar menjadi korban. Menurut Reni, berdasarkan informasi dari investigasi polisi yang ia dapat kemudian, ketika mobil boks bermuatan bom meledak, dia sedang melintas mengendarai sepeda motor tepat berada di sampingnya.

Karena jenazah Martinus hangus, untuk memastikannya, keluarga harus menjalani tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). Meski hasil tes sudah keluar, namun jenazah tidak bisa langsung dipulangkan. Beberapa bagian tubuh Martinus belum ditemukan.

Jenazah Martinus baru bisa dibawa pulang seminggu setelah hasil tes DNA keluar. Keresahan Reni dan keluarga sedikit berubah menjadi kelegaan setelah pihak berwajib membuat pernyataan bahwa Martinus adalah korban, bukan pelaku peledakan.

Baca juga Belajar dari Semangat Sudirman Mengejar Mimpi

Meski begitu tetap tidak mudah bagi Reni dan keluarga menerima kematian Martinus. Terlebih kepergiannya begitu tragis, menjadi salah satu korban aksi terorisme. Kesedihan yang ditimbulkan dari tragedi itu sampai-sampai berdampak kepada kondisi fisik kedua orang tuanya. Menurut Reni, ibu dan ayahnya menjadi sering sakit-sakitan karena terpukul putra mereka menjadi korban aksi terorisme.

Menggantikan Tugas Kakak

Bagi Reni, kehilangan Martinus lebih dari kehilangan seorang kakak. Karena, kakak laki-lakinya itu tulang punggung keluarga. Sehingga setelah kepergiannya untuk selama-lamanya, Reni terpaksa batal melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Dia menggantikan posisi Martinus menjadi tulang punggung keluarga.

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Reni. Kehilangan kakak yang menjadi tulang punggung keluarga dan kesempatannya untuk kuliah harus lenyap seketika. Tanggung jawab keluarga pun beralih ke pundaknya.

“Ibu bilang, kamu harus ikhlas dan harus bisa memaafkan. Bapak bilang bukan karena teroris kakak kamu nggak ada, tetapi itu jalan Tuhan yang harus kita jalani.”

Namun seiring berjalannya waktu, Reni bisa mengikhlaskan semua yang terjadi. ”Ibu bilang, kamu harus ikhlas dan harus bisa memaafkan. Bapak bilang bukan karena teroris kakak kamu nggak ada, tetapi itu jalan Tuhan yang harus kita jalani. Dan, keluarga saya pun sudah memaafkan semuanya,” ungkapnya.

Lebih dari itu, bagi Reni, memaafkan, mengikhlaskan dan mendoakan adalah cara terbaik yang dia tempuh untuk merespons musibah yang menimpanya. Cara itu diharapkan agar para pelaku terorisme dapat tersadar bahwa yang mereka lakukan merugikan banyak orang.

”Seberat apa pun masalah yang kita hadapi, kita tetap harus saling memaafkan. Kita harus ikhlas dan harus mendoakan para pelaku agar mereka sadar bahwa yang mereka lakukan tidak benar dan merugikan banyak orang,” pesan Reni. [MSH]

Baca juga “Saya Mengikhlaskan Semua Itu”

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *