Home Wawancara Hak-hak Itu Harus Diperjuangkan, Harus Direbut
Wawancara - 11/05/2016

Hak-hak Itu Harus Diperjuangkan, Harus Direbut

Korban terorisme telah dijamin hak-haknya oleh negara berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Sungguh disayangkan, pemenuhan hak-hak korban terorisme tak kunjung terealisasi sampai sekarang. Pada Rabu (27/5/2015) tim AIDA mewawancarai Deputi Divisi Penerimaan Permohonan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, tentang permasalahan tersebut. Apa pandangannya terkait hak-hak korban terorisme, di mana masalahnya? Berikut petikan wawancaranya:

Sesuai dengan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang berlaku, para korban terorisme mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh negara. Namun hingga kini hak-hak korban belum juga terpenuhi. Apa sebenarnya kendala yang menghambat pemenuhan hak korban?

Merujuk pada UU Antiterorisme dan UU LPSK, memang korban terorisme diatur haknya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Putusan sidang kasus JW Marriott tahun 2004menurut saya sangatberharga karena di situ muncul pengakuan negara harus memenuhi hak-hak korban sesuai yang tertera dalam UU. Walaupun nilainya mungkin dirasa tidak cukup, tapi pengakuan itu penting bahwa ada hak-hak korban.

Tetapi, masalahnya begini. Kami sadar LPSK adalah lembaga yang tepat untuk mengakomodasi, menjembatani teman-teman korban terorisme mendapatkan haknya, mulai dari hak rehabilitasi medis, psikologis, psikososial, restitusi sampai pada kompensasi juga. Kalau pemenuhan hak rehabilitasi saya pikir bisa segera dilakukan, artinya tidak begitu ada masalah. Tetapi, khusus pemenuhan hak kompensasi, LPSK harus berhubungan dengan Kementerian Keuangan. Anggaran untuk memberikan ganti rugi kepada para korban yang terenggut nyawanya, yang luka berat atau luka ringan, itu semua dananya ada di Kementerian Keuangan.

Untuk menuju ke pencairan dana di sana, kita tidak bisa mengabaikan aturan sesuai kaidah bagaimana menggunakan APBN. Artinya, LPSK membutuhkan semacam surat keterangan dari lembaga pemerintah yang terkait yang dapat menjelaskan secara pasti bahwa para korban terorisme itu adalah nama-nama berikut ini. Sebelum ke sana, mungkin polisi atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau lembaga pemerintah lainnya tentu mereka melakukan investigasi untuk memastikan benar bahwa nama-nama yang tercantum adalah korban aksi teror di satu tempat tertentu, misalnya begitu. Sekali lagi, LPSK membutuhkan itu.

Dari situ, mekanisme pemberian kompensasi bisa kita perjuangkan misalnya dengan menganalogikan pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran HAM berat. Mengambil pelajaran dari kasus pelanggaran HAM berat, kami mendapatkan surat keterangan dari Komnas HAM bahwa nama-nama ini benar merupakan korban dan berhak mendapatkan hak kompensasi.

Harus ada terobosan berani dari LPSK untuk memulai proses pemenuhan hak kepada korban terorisme, termasuk kompensasi. Anda setuju dengan hal ini?

Yang menjadi titik penting untuk melihat pengaturan kompensasi dalam Perppu Antiterorisme yang sudah ditetapkan menjadi UU, adalah negara memerintahkan kepada Menteri Keuangan untuk membayar, dan pada konteks negara itulah semua mekanisme ada aturannya. UU ini menurut saya belum selesai karena belum diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Pertanyaannya buat Menteri Keuangan, bagaimana caranya membayarkan kalau tidak ada aturan yang rinci. Pemerintah sebagai representasi negara melakukan kegiatan,termasuk penggunaan anggaran, itu harus dipertanggungjawabkan. Bukan hanya siapakah yang menerima pembayaran itu dan uang yang dikeluarkan itu benar tetapi juga apakah ada dasar pengaturan yang membuat uang itu bisa dikeluarkan. Saya pikir ini yang mungkin saja menjadi salah satu kesulitan, kendala bagi Menteri Keuangan, tentang bagaimana ini dibayarkan, siapa eksekutornya, yang mana putusan pengadilannya.

Jadi, soal ini menurut saya juga harus dituntaskan karena kalau Menteri Keuangan tidak punya dasar untuk mengeluarkan uang itu, mereka bisa bermasalah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Memang mengeluarkan uang dari APBN sebagai kompensasi kepada korban terorisme bukan kejahatan, toh memang diperintahkan hakim, tapi dasar aturannya membelanjakan uang itu sendiri apa.

Pemberian bantuan nonkompensasi juga tidak kalah pentingnya bagi korban terorisme. Apa langkah LPSK agar pemenuhan hak rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial segera terwujud dan tidak terhambat oleh kompensasi?

Menyangkut bantuan medis, psikologis dan psikososial itu saya rasa jalannya harus lebih cepat dengan tetap merujuk, menganalogikan kepada penanganan kasus pelanggaran HAM berat, yaitu tetap membutuhkan surat keterangan korban dari lembaga terkait, dalam hal ini kepolisian atau BNPT. Tetap itu menjadi dasar kami untuk mendapatkan kepastian, konfirmasi dari pihak-pihak yang berwenang bahwa si pemohon benar adalah korban. Ini merupakan salah satu hak yang harus dipenuhi dalam konteks layanan pemerintah, bahwa negara gagal melindungi hak keamanan warganya. Apalagi kalau kita mendengar kisah dari korban terorisme ada yang hingga kini masih harus meminum obat, cacat seumur hidup, tentu saya sangat setuju pemerintah segera mewujudkan program rehabilitasinya kepada para korban.

Apa langkah LPSK paling dekat untuk menemukan solusi atas permasalahan ini?

Kita sedang dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) terkait pemenuhan hak korban aksi terorisme. PP-nya saat ini sudah disusun oleh LPSK, juga tentu bekerja dengan kementerian terkait, dalam hal ini Kemenkum HAM. Saya belum melihat detailnya seperti apa tetapi kami memperjuangkan pengaturan soal kompensasi baik untuk korban pelanggaran HAM berat maupun terorisme itu tentu akan diatur sejelas-jelasnya. Kalau kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat aturannya sudah ada di PP No. 44  tahun 2008, namun kasus terorisme belum, artinya masih disendirikan. Sebenarnya soal terorisme bisa menggunakan PP No. 44 tahun 2008 menyangkut soal kompensasi, restitusi dan bantuan psiklogis. Namun, kalau menyangkut kompensasi, baru yang menyangkut pada pelanggaran HAM berat saja.

Terakhirapa harapan Anda kepada korban terorisme yang belum terpenuhi haknya?

Hak-hak itu harus diperjuangkan, harus direbut. Dia bisa kita raih dari hanya sekadar lembaran pengumuman. Hidup ini berat, dinamikanya beragam, sehingga korban harus didorong dari objek menjadi subjek. Keberadaan AIDA menurut saya sangat mendukung teman-teman korban terorisme meraih haknya. (MLM)[SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *