Pemerintah Harus Segera Revisi UU Terorisme
Medan (Analisa).
“Kalau pemberitaan-pemberitaan masaÂlah terorisme lebih terfokus kepada pelaku maka sudah selayaknya liputan aksi teror tersebut juga melibatkan korban. Karena korbanlah yang sesungguhnya sangat menÂderita dari aksi teror tersebut.”
Hal itu diungkapkan Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi saat konferensi pers setelah berÂakhirÂnya acara Penguatan Perspektif KorÂban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media, baru-baru ini di Hotel Garuda Plaza Medan.
Ia mengatakan AIDA adalah lembaga yang fokus dalam pendampingan korban terorisme karena itu mereka mendorong pemerintah agar merevisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme untuk mengakomodasi perspektif korban dan tidak hanya mengakomodasi penindakan dan pencegahan saja.
“Dari perbincangan kita dengan para korban, pemerintah dinilai kurang peduli dengan nasib para korban terorisme. Apakah pada saat mereka berobat ke rumah sakit atau saat pasca penyembuhan. Padahal terkadang pemerintah sering mengatakan bahwa para korban akibat tindakan para terorisme tersebut dijamin biaya perobatanÂnya, namun kenyataannya tidak demiÂkian,” ujar Hasibullah.
Karena itulah AIDA meminta pihak legislatif dan eksekutif segera merevisi UU yang ada tersebut. Mereka berharap rencana revisi UU tersebut harus dijadikan sebagai momentum untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh dalam upaya pemberanÂtasan terorisme. Di mana di dalamnya juga terpenuhi hak-hak korban dan optimalisasi peran korban terorisme.
“Korban terorisme adalah pihak yang harus menanggung kegagalan negara dalam melindungi warganya. Sedangkan korban terorisme pihak yang tak bersalah dan tidak ada kaitannya dengan tujuan para teroris,” ujarnya kepada wartawan.
Dijelaskan Hasibullah, selama ini upaya pemberantasan terorisme berjalan tanpa ada kesadaran akan perspektif korban, yakni kesadaran bahwa seharusnya negara bertanggung jawab secara penuh atas segala kebutuhan medis maupun psikis para korban hingga benar-benar sembuh kembali.
Sebagai bentuk konkrit penguatan persÂpektif korban terorisme, pihaknya menguÂsulkan tiga ketentuan terkait hak korban dalam revisi, yakni menekankan berÂdasarkan pengalaman dan testimoni korban yaitu mendesak fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah memasukkan klausul perbaikan dana kompensasi korban agar ketentuan kompensasi tidak harus melalui mekanisme pengadilan. Tapi melalui mekaÂnisme assesÂment lembaga negara terkait. “Dari pengaÂlaman korban, kompenÂsasi melalui pengadiÂlan tidak realistis dan selama ini faktanya tidak ada korban yang pernah menerima komÂpensasi tersebut,” ungkapnya.
Selanjutnya, ia mendesak fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah memasukkan juga klausul jaminan negara terhadap kebutuhan medis korban pada masa kritis. Karena pengalaman korban, selama ini mereka tidak langsung mendapatkan bantuan secara medis dari rumahsakit karena tidak ada pihak yang menjamin.
Terakhir katanya, AIDA mendesak agar revisi UU ini dimasukkan defenisi korban yang bersifat konkerit yakni masyarakat sipil yang menjadi korban tindakan pidana terorisme dan bukan korban penanganan terorisme.
“Selama ini masih banyak kekurangan dari UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme tersebut dan dari revisi ini harus ada penguatan terkait hak-hak korban,” katanya.
Korban bom
Hadir dalam kegiatan Penguatan PersÂpektif Korban dalam Peliputan Isu TeroÂrisme bagi Insan Media, korban akibat bom Kuningan di Jakarta 2004 yaitu, Mulyono, selain itu hadir juga Sudirman seorang satpam yang saat terjadi bom Kuningan tersebut sedang bertugas. Saat ini ia masih tetap mengkonsumsi obat yang bila dihitung bajetnya selama sebulan mencapai Rp.6 juta, dan ini katanya masih dalam tangguÂngan pihak Kedutaan Australia. Ketika ditanya apakah pemerintah Indonesia tidak memberikannya, ia hanya tersenyum sambil menggeleng.
Selain dua korban bom kuningan juga hadir Sari yang merupakan korban pada saat terjadi bom di JW Marriott I 2003, ia juga mengalami hal yang sama, tidak ada perhatian dari pemerintah.
Selain korban, hadir juga beberapa mantan teroris di antaranya Sofyan Tsauri dan Iswanto yang mencoba menjelaskan kenapa mereka awalnya tertarik untuk maÂsuk dalam kelompok-kelompok terorisÂme itu. Namun akhirnya mereka taubat karena sesungguhnya mereka “telah salah jalan”.
Sementara Agus Sudibyo mantan pengurus Dewan Pers yang saat ini menjabat Direktur Indonesia New Media Watch menjelaskan tentang bagaimana seharusnya wartawan menuliskan berita dalam perspekÂtif korban, karena sering kali media mengaÂbaikan para korban tersebut. (am)
*Artikel ini pernah dimuat di Harian Analisa, edisi 15 Februari 2016.