Memetik Pelajaran dari Rekonsiliasi Tim Perdamaian

Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan Pelatihan Guru dengan tema “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Semarang akhir Oktober 2017 lalu. Para pengajar dari lima sekolah, yaitu SMAN 1 Weleri, SMAN 1 Kendal, SMA Muhammadiyah 1 Kendal, SMAN 3 Semarang dan MA Uswatun Hasanah Semarang, diundang dalam kegiatan tersebut.
Belasan guru yang menjadi peserta pelatihan tampak antusias mengikuti sesi demi sesi dalam kegiatan yang berlangsung selama dua hari tersebut. Selain materi-materi yang diberikan menarik dan disampaikan oleh narasumber yang berkompeten, para peserta terlihat sangat menikmati sesi-sesi ice breaking dan permainan di sela kegiatan.
Dalam kegiatan AIDA menghadirkan Tim Perdamaian, yaitu korban dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi, untuk berbagi pengalaman kepada para peserta. Tim Perdamaian yang dihadirkan di Semarang beranggotakan I Gusti Ngurah Anom, penyintas aksi teror Bom Bali 12 Oktober 2002, dan Kurnia Widodo, mantan anggota kelompok teroris jaringan Cibiru, Bandung.
Anom menceritakan kisahnya saat sedang singgah di Jalan Legian, Kuta untuk membeli air mineral tiba-tiba ledakan bom yang sangat besar meluluhlantakkan daerah itu. Tak hanya motornya yang hancur, ia mengalami cedera permanen akibat aksi teror tak berperikemanusiaan itu. Matanya tertancap serpihan benda asing kemudian setelah dioperasi penglihatannya tidak bisa kembali. Selain berpenglihatan hanya sebelah, beban penderitaannya bertambah dengan adanya trauma mendalam yang diakibatkan aksi terorisme tersebut.
Meskipun demikian, Anom tidak menyerah atas cobaan yang menimpanya. Ia bangkit mengalahkan rasa sakit dan trauma. Salah satu hal luar biasa yang dilakukannya adalah memaafkan pelaku yang telah membuatnya menderita seperti itu, juga kepada orang-orang yang pernah terjerumus ke paham terorisme.
Kurnia dari pihak mantan pelaku juga berbagi kisah kepada para peserta pelatihan. Ia menceritakan bagaimana sepak terjangnya di kelompok teroris sebelum akhirnya memutuskan keluar. Semasa di kelompok teroris tersebut, berbekal pengetahuannya di bidang ilmu kimia ia mempelajari cara merakit bom yang bisa digunakan untuk melakukan aksi terorisme. Secara berangsur dia mampu menyadari kekeliruan cara pandang kelompoknya terhadap ajaran agama. Akhirnya, jalan kekerasan dia tinggalkan. Salah satu alasan yang dia akui telah membuatnya yakin untuk meninggalkan kelompok teroris adalah pertemuannya dengan korban.
Para guru peserta pelatihan mengapresiasi AIDA yang telah memfasilitasi rekonsiliasi antara korban dan mantan pelaku terorisme. Seorang guru perwakilan dari SMAN 1 Kendal mengatakan, “Acara seperti ini bagus agar bisa menjadi desiminasi bagi siswa dan juga guru, bahkan saya baru kali ini melihat ada acara yang mendatangkan korban dan pelaku.”
Menurut salah satu peserta dari SMAN 3 Semarang, banyak pelajaran penting yang mesti diambil dan dipahami para guru dari kegiatan ini. Dia menilai bahwa rekonsiliasi atau saling memaafkan antara korban dan mantan pelaku merupakan hal yang luar biasa dan jarang terjadi. Dari Tim Perdamaian, guru dapat memetik inspirasi agar dapat menjadi pengajar yang berjiwa damai serta mampu menularkan semangat perdamaian kepada para siswa. “Korban yang memiliki jiwa yang lapang untuk memaafkan, bahkan saling berpelukan dengan mantan pelaku, lalu mantan pelaku juga yang harus bersusah payah untuk keluar dari jaringannya dengan penuh penyesalan untuk meminta maaf kepada korban, itu luar biasa,” kata dia. [F]