Home Berita Mendorong Guru Menjadi Pelopor Perdamaian
Berita - 09/02/2018

Mendorong Guru Menjadi Pelopor Perdamaian

Dok. AIDA - Sesi diskusi kelompok dalam Pelatihan Guru "Belajar Bersama Menjadi Guru Damai" di Pandeglang, Sabtu (23/4/2017). “Guru tidak hanya dituntut mampu mengomunikasikan wawasan keilmuan kepada siswa tapi juga mampu memotivasi siswa untuk membangun kedamaian di sekolah.”
Dok. AIDA – Sesi diskusi kelompok dalam Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Pandeglang, Sabtu (23/4/2017).

“Guru tidak hanya dituntut mampu mengomunikasikan wawasan keilmuan kepada siswa tapi juga mampu memotivasi siswa untuk membangun kedamaian di sekolah.”

Demikian perwakilan dari Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rizal Alfian, mengutarakan dalam Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Pandeglang, Banten akhir April lalu. Dia mendorong para guru untuk menciptakan sekolah damai. Sekolah damai dalam pandangannya adalah tempat yang kondusif bagi proses belajar mengajar, serta mejamin kenyamanan dan keamanan setiap komponen di sekolah.

Pelatihan selama dua hari itu diikuti dua puluh guru dari lima sekolah di Pandeglang, yaitu SMAN 3, SMAN 4, SMAN 17, SMKN 4, dan SMK Budi Utama. Kegiatan tersebut diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) untuk memperkuat visi perdamaian di kalangan guru melalui kisah penyintas dan mantan pelaku terorisme.

Dalam pelatihan, penyintas aksi teror bom di Hotel JW Marriott Jakarta 5 Agustus 2003, Didik Hariyono, menceritakan pengalamannya terkena ledakan bom. Saat kejadian ia sedang berjalan hendak kembali ke kantornya di Menara Rajawali, berdekatan dengan Hotel JW Marriott, seusai makan siang di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Ketika ia melintas di depan Hotel JW Marriott sebuah mobil meledak. “Saat saya lewat, mobil itu mau masuk menuju lobi hotel. Jadi, posisi saya mendekati mobil yang membawa bom,” ujarnya.

Ledakan itu menewaskan dua belas orang dan melukai 150 lainnya, termasuk Didik. Tubuhnya terlempar sepuluh meter, tangan dan kaki kanannya patah. Selain itu, bom juga menyisakan luka bakar mencapai tujuh puluh persen di sekujur tubuhnya.

Ia menjalani perawatan medis secara intensif di rumah sakit selama sebelas bulan. Operasi pemulihan telah berkali-kali ia jalani. Akibat luka parah yang dialami, Didik harus terbaring di tempat tidur hampir setahun. “Dampak terlalu lama terbaring otot-otot tubuh saya jadi mengecil sehingga saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya harus belajar kembali untuk berjalan, makan, menulis, menggenggam sesuatu, menyisir, dan berbicara,” tuturnya.

Setelah dinyatakan sembuh, pada 2015 Didik mulai kembali bekerja menjadi tenaga administrasi dan teknologi informasi di Balai Desa Minggiran Kecamatan Papar Kediri, Jawa Timur. Di samping kesibukan hariannya di Kediri, dia juga mengemban tugas lain sebagai duta perdamaian. Bersama mantan pelaku aksi terorisme, dengan fasilitasi dari AIDA, dia mengampanyekan perdamaian kepada berbagai elemen masyarakat. Meski telah menderita akibat serangan teror namun Didik tak mendendam mantan pelaku.

“Saya sudah memaafkan mantan pelaku dan berharap dia kembali ke jalan perdamaian. Saya tidak dendam dan marah pada mereka karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah dan tidak mengurangi beban kita tapi justru menambah beban dalam diri kita,” kata dia.

Selain Didik, mantan pelaku terorisme, Kurnia Widodo, juga berbagi pengalaman masa lalunya terlibat jaringan teroris. Awal mula dirinya tergabung dalam kelompok ekstrem karena diajak temannya di SMA untuk mengikuti kajian keagamaan di luar sekolah. ”Saya diajarkan untuk mengafirkan pemerintah dan aparatnya, membenci simbol-simbol demokrasi, antiupacara bendera, meragukan keislaman orang lain, dan mencapai tujuan dengan kekerasan termasuk perampokan,” ujarnya.

Setelah menjalani masa hukuman karena terlibat kelompok teroris jaringan Bandung, Kurnia memutuskan untuk meninggalkan kelompoknya. Pada 2016 dia dipertemukan dengan penyintas terorisme yang kemudian semakin menguatkan tekadnya menjauhi jalan kekerasan. “Di antara faktor yang mendorong saya untuk kembali ke jalan damai adalah setelah melihat dampak kekerasan yang dialami para penyintas. Setelah bertemu penyintas bom, saya timbul rasa empati dan menyesali semua tindak kekerasan masa lalu,” ucapnya.

Seorang peserta menyampaikan kesan setelah mengikuti pelatihan. Dari penuturan kisah penyintas dia mengaku dapat turut merasakan betapa berat dan perihnya penderitaan yang diakibatkan aksi teror. “Setelah mendengarkan kisah penyintas bom terorisme saya tersadar betapa bahayanya terorisme. Kisah penyintas perlu disebarkan ke pelbagai kalangan untuk menyadarkan masyarakat terhadap dampak dan bahaya terorisme,” kata guru yang mengajar di SMAN 4 Pandeglang itu.

Peserta lain menyatakan akan berkomitmen untuk melindungi anak didiknya dari paham ekstremisme. “Ke depan saya akan membentengi keluarga dan anak didik di sekolah dari ideologi ekstrem,” ujar guru SMK Budi Utama. [AS]

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA Suara Perdamaian edisi XIII Juli 2017