Membangun Damai dari Lapas

Hampir lima belas tahun berlalu, Ni Ketut Jontri masih mengingat betul perjuangannya mencari jenazah almarhum suaminya, I Ketut Candra, yang menjadi korban aksi teror bom di Legian, Bali, 12 Oktober 2002. Bersama keluarganya, ia berulangkali mendatangi seluruh rumah sakit yang merawat korban Bom Bali. Tiga bulan lamanya upaya tersebut baru menuai hasil. Jasad suaminya berhasil diidentifikasi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
“Tubuhnya sudah hancur, nyaris tidak dapat dikenali, tapi ada beberapa tanda tubuhnya yang masih bisa saya kenali,” ujar Ketut Jontri dalam kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Makassar, pertengahan Agustus lalu.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) sebanyak 16 petugas dari 14 lembaga pemasyarakatan (Lapas) di wilayah Sulawesi hadir sebagai peserta.
Saat peristiwa terjadi, suami Jontri yang bekerja sebagai pengemudi sedang menunggu tamu di sekitar lokasi ledakan. Sesaat sebelum peristiwa, Jontri dihinggapi perasaan tak enak. Anaknya yang masih kecil menangis terus-menerus. Sehari sebelum kejadian dia juga bermimpi buruk.
Trauma sangat mendalam akibat kehilangan seorang ayah dirasakan oleh anak-anaknya. Anak kedua sempat sangat marah saat melihat berita penangkapan para pelaku Bom Bali di televisi. “Dia bahkan ingin melempari TV-nya,” kata Jontri mengenang.
Seiring waktu Jontri dan anaknya terus berusaha mengikhlaskan peristiwa itu. Kini dia bekerja sebagai penjahit untuk menafkahi dua buah hatinya.
Dalam kegiatan ini hadir pula Joshua Ramos, korban Bom Kuningan 2004. Ia adalah petugas keamanan Kedutaan Besar Australia. Saat peristiwa bom terjadi, ia terlempar beberapa meter ke belakang. Saat kesadarannya pulih, ia menolong rekannya yang mengalami cedera parah dan mengantarkannya ke rumah sakit terdekat.
Saat tiba di rumah sakit, ia merasa kakinya tak bisa digerakkan lagi. “Ternyata ada logam masuk ke tempurung lutut. Setelah dioperasi, saya dipersilakan pulang. Saat itu rawat inap diprioritaskan bagi korban yang terluka parah,” ucapnya.
Dalam proses rawat jalan, ditemukan sejumlah cedera lain yang mengharuskan Joshua menjalani pengobatan terus-menerus. Hingga sekarang, 13 tahun setelah tragedi teror, dia masih harus mengonsumsi obat rekomendasi dokter.
Secara psikis, Joshua juga sempat terguncang. Sebab, saat teror bom terjadi, ia belum lama memeluk agama Islam. Para pelaku aksi teror juga muslim yang mengatasnamakan aksinya sebagai perjuangan membela agama. Ia sempat berpikir, apakah keputusannya memeluk Islam adalah kesalahan. Setelah melalui pergulatan pikiran dan mental, Joshua memutuskan tetap menjadi muslim dan bekerja di Kedubes Australia hingga sekarang.
Selain korban, dalam kegiatan ini hadir pula Tim Perdamaian -penyintas dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi- yaitu Suyanto, penyintas Bom Bali 2002, dan Kurnia Widodo, mantan warga binaan pemasyarakatan (WBP) kasus terorisme yang telah meninggalkan dunia kekerasan.
Suyanto mengaku bersyukur dapat selamat dari tragedi yang meluluhlantakkan bangunan tempatnya bekerja. Dia menyebut kehidupannya saat ini sebagai nikmat hidup kedua yang diberikan Tuhan.
Sementara itu, Kurnia menceritakan pengalamannya dahulu terjerumus ke dalam jaringan teroris. Pada pertengahan 2010, ia tertangkap dan menjalani hukuman di Lapas Cipinang. Selama di Lapas ia mulai menyadari kesalahannya di masa lalu. Ketika bebas, ia banyak bergaul dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh ekstrem yang sudah berubah. Kesadarannya untuk berubah semakin kuat ketika bertemu para korban terorisme. Dia mengaku penderitaan para korban menumbuhkan empati dalam dirinya serta membuatnya menyesali perbuatan masa lalunya saat bergabung dengan kelompok kekerasan. Kini ia merintis usaha kecil-kecilan sembari mengajar les privat anak-anak sekolah. “Bagi saya hal kecil untuk perdamaian lebih bernilai ketimbang hal besar untuk kekerasan,” kata dia.
Dalam kesempatan tersebut, Kurnia membeberkan sejumlah doktrin yang diterimanya saat bergabung dalam kelompok ekstrem, antara lain mengafirkan pemerintah dan aparatnya, antiupacara bendera dan simbol-simbol demokrasi, menghalalkan kekerasan seperti perampokan (fai’) dan konfrontasi langsung untuk mencapai tujuan, menghindari salat berjamaah di masjid umum, serta tidak makan daging yang dijual di pasar. “Kalau ada saudara atau teman kita yang perilakunya seperti itu, tanda-tanda dia sudah terkena doktrin radikalisme,” dia menerangkan.
Suyanto dan Kurnia telah melampaui masa-masa sulit dan kini berekonsiliasi menjadi Tim Perdamaian untuk mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, menjelaskan bahwa dari kehadiran para korban, petugas Lapas dapat menyaksikan langsung dampak terorisme. Para peserta diharapkan mendapatkan potret utuh korban. “Sementara dari mantan pelaku terorisme, para peserta dapat memahami proses dan tahapan perubahan pikiran dan perilaku WBP terorisme,” kata dia.
Dengan melihat dampak terorisme dalam diri korban, diharapkan komitmen petugas dalam mencegah terorisme semakin kuat. Lebih dari itu, para petugas dapat menyampaikan kisah-kisah korban saat berbincang dengan WBP di dalam Lapas. Kisah korban diharapkan dapat memancing empati dan pikiran kritis WBP terhadap ideologi kekerasan yang diyakini sebagai kebenaran.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Selatan, Sahabuddin Kilkoda, membuka kegiatan dengan membacakan sambutan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas), I Wayan Kusmiantha Dusak. Dalam sambutannya, Dirjen Pas mengapresiasi kegiatan AIDA karena menawarkan pendekatan baru dalam sistem pembinaan WBP kasus terorisme di Lapas. Sahabuddin sendiri mengapresiasi kegiatan ini digelar di wilayah kerja yang ia pimpin. [MSY]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XIV Oktober 2017.