Jadi Tangguh dan Damai Bersama Tim Perdamaian

Seorang guru tampak sibuk mengumpulkan anak didiknya untuk mengikuti Seminar Kampanye Perdamaian di Sekolah dengan tema ‘Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh’. Wakil Kepala Sekolah SMAN 8 Bandung ini antusias memberikan dispensasi bagi siswa-siswi untuk sejenak meninggalkan pelajaran di kelas agar mengikuti seminar.
“Di ruangan ini juga anak-anak akan belajar tapi dengan konsep lain, yakni belajar dari kisah atau pengalaman hidup Tim Perdamaian,” ujarnya saat memberikan sambutan.
Seminar yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan didukung Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu bertujuan untuk menanamkan semangat cinta perdamaian dan mencegah tindak kekerasan di kalangan pelajar. AIDA menghadirkan Tim Perdamaian, yang terdiri atas korban dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi, untuk berbagi pengalaman dan kiat menjadi generasi tangguh. Selain di SMAN 8 Bandung, kegiatan ini juga digelar di SMAN 3 Bandung, SMAN 1 Ngamprah, dan SMAN 1 Dayeuhkolot pada awal Agustus lalu.
Di hadapan puluhan siswa di tiap sekolah Tim Perdamaian dari unsur mantan pelaku, Ali Fauzi, berbagi pengalaman hidupnya. Dia pernah bergabung dengan kelompok teroris sebelum memutuskan untuk keluar. Ketika berpendirian untuk meninggalkan dunia kekerasan dia mengaku kerap menerima teror dan ujaran kebencian dari anggota kelompok tersebut.
“Di akun media sosial saya ada banyak teror dan ujaran kebencian tapi itu semua tidak menyurutkan semangat saya untuk terus melakukan kampanye damai. Saya juga tidak ada niatan sama sekali untuk kembali ke masa lalu atau bergabung lagi dengan kelompok prokekerasan,” kata dia.
Ali menambahkan keputusannya keluar dari jaringan terorisme semakin menguat setelah dirinya bertemu dengan korban terorisme. Kesaksian para korban mengalami penderitaan luar biasa akibat ledakan bom semakin menyadarkannya bahwa aksi teror tidak dapat dibenarkan. Dalam Seminar, pria asal Lamongan ini meminta maaf kepada para korban karena pernah terlibat dengan kelompok teroris.
“Kehadiran Tim Perdamaian di sekolah-sekolah untuk mengajak generasi muda tidak memiliki niatan bergabung dengan kelompok teroris. Melalui kisah ini saya harap anak-anak muda bisa menjadi duta damai di sekolah dan lingkungan masing-masing,” dia berpesan.
Tim Perdamaian dari unsur korban yang hadir dalam Seminar adalah Albert Christiono, penyintas Bom Kuningan 2004, dan Vivi Normasari, penyintas Bom JW Marriott 2003. Pada kesempatan Seminar yang berlangsung di SMAN 1 Ngamprah dan SMAN 3 Bandung, Albert menceritakan dampak ledakan bom yang menimpa dirinya tiga belas tahun silam. Dia mengalami luka serius di kepala karena tertancap serpihan logam akibat ledakan. Darah juga mengucur dari beberapa luka sobek di badannya.
“Pada hari kejadian, saya sedang libur kuliah. Saya diminta Bapak untuk mengambil dokumen ekspedisi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan menggunakan transportasi umum. Saat bus kota yang saya naiki melintas di Halte Kampus Perbanas atau seberang Kedubes Australia, tiba-tiba sebuah mobil boks meledak hebat,” ujarnya mengenang peristiwa.
Sementara itu, Vivi menceritakan derita yang dialaminya saat terkena ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003. Waktu itu dia sedang mengantre untuk makan siang di Restoran Syailendra yang ada di Hotel JW Marriott. Vivi terguncang ledakan bom yang disertai semburan api sangat besar.
Dia mengalami luka di sejumlah bagian tubuh hingga mengalami cacat permanen. Jari jemari tangannya mengalami fraktur sehingga tidak bisa lagi difungsikan secara normal. Kondisi tersebut sempat membuatnya terpuruk dan kehilangan kepercayaan dirinya.
Albert dan Vivi telah melewati masa-masa kesedihan. Meskipun menderita akibat aksi teror mereka telah memaafkan dan mengaku tak memiliki dendam terhadap mantan pelaku. Mereka telah berekonsiliasi dengan mantan pelaku dan bersatu menjadi Tim Perdamaian untuk mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat.
Seminar Kampanye Perdamaian mendapatkan respons positif dari peserta dan pihak sekolah. Salah seorang peserta di SMAN 8 Bandung mengatakan bahwa kegiatan ini sangat penting bagi kalangan remaja karena dapat menanamkan kembali semangat kebangsaan dan perdamaian yang belakangan ini tengah diuji berbagai tantangan.
“Remaja sekarang banyak yang keluar track dan melalui seminar ini kita diarahkan kembali ke track yang lurus untuk mencintai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia-red). Kita harus menjadi agen perubahan dan satu kontribusi dari kita untuk perubahan yang besar di masa depan,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu Wakil Kepala Sekolah SMAN 3 Bandung menilai Seminar dapat memperkuat pembentukan karakter anak didik agar tidak terjerumus dalam kelompok ekstrem yang belakangan ini gerakannya kian masif.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengharapkan agar peserta Seminar menyerap pembelajaran yang didapatkan dari Tim Perdamaian. Setelah mendengarkan kisah korban dan mantan pelaku terorisme, diharapkan peserta memiliki kesadaran diri untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan dan tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. “Itulah makna ketangguhan. Seorang yang tangguh itu bukan yang tidak pernah salah melainkan seorang yang berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya,” kata dia. [AS]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XIV Oktober 2017.