Menjalin Persaudaraan, Menyeru Perdamaian

“Bagaimana perasaan Bapak ketika bertemu dengan korban dan apa yang membuat Bapak terenyuh bertemu dengan korban?”
Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seorang guru kepada mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi, dalam Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Bandar Lampung, akhir Maret lalu. Guru SMAN 9 Bandar Lampung itu mengaku penasaran akan sosok Ali yang mampu meninggalkan dunia kekerasan bahkan kini mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat bersama penyintas bom terorisme.
Sebelumnya, dalam pelatihan guru muda itu telah mendengarkan kisah perjalanan hidup Ali dan penyintas aksi teror Bom Kuningan 2004, Nanda Olivia Daniel. Ali menceritakan pengalaman masa lalunya bergabung dengan jaringan teroris internasional hingga memutuskan keluar dan bertobat, sementara Nanda berbagi pengalaman saat mengalami musibah teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan Jakarta Selatan pada 9 September 2004.
Pelatihan yang berlangsung selama dua hari itu diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan diikuti dua puluh guru dari lima sekolah di Bandar Lampung, yakni SMA Taman Siswa, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 8, dan SMAN 9. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat visi perdamaian di kalangan guru melalui kisah korban dan mantan pelaku terorisme.
Ali mengungkapkan dirinya menangis dan hatinya tersayat tatkala bertemu penyintas bom terorisme serta mendengarkan penderitaan yang mereka alami. Tak hanya itu, ia juga mengaku sudah pasrah dan ikhlas jika para penyintas merasa emosional saat bertemu dengannya.
“Saat bertemu dengan sejumlah penyintas bom yang difasilitasi AIDA, kita semua menangis mendengarkan kisah mereka. Setelah tahu apa yang dialami penyintas, (hal itu) semakin menguatkan saya bahwa apa yang dilakukan teman-teman saya adalah sebuah kebiadaban. Ada banyak orang yang tak bersalah hancur hidup dan masa depannya akibat terkena ledakan bom,” ujarnya.
Bagi Ali, pertemuan dengan penyintas telah mengubah haluan hidupnya untuk kembali ke jalan perdamaian. Setelah melalui proses rekonsiliasi kini hubungan Ali dan penyintas bak saudara. “Ikatan saya dengan mereka bukan saja ikatan antara mantan pelaku dengan penyintas tapi sudah ikatan saudara. Kami sudah saling percaya dan mencintai. Kami berkeliling ke masyarakat untuk menyerukan pentingnya hidup damai,” katanya.
Pria asal Lamongan itu mengatakan, saat ini dirinya tidak hanya sudah keluar dari kelompok teroris tapi juga aktif melakukan kampanye perdamaian kepada masyarakat luas. Dari kalangan pelajar hingga tokoh agama, dari Sumatera Barat hingga Maluku, Ali bersama penyintas dan AIDA telah mengampanyekan nilai penting perdamaian, sekaligus pada saat yang sama mengingatkan bahaya paham ekstremisme. Ia menyadari perjuangannya mengampanyekan perdamaian sangat berisiko dan menimbulkan resistensi dari kelompok-kelompok prokekerasan, tapi ia tidak takut.
“Saya juga mengajak guru-guru untuk memberikan edukasi kepada anak didiknya tentang pentingnya hidup bersama di tengah kemajemukan bangsa ini. Sekarang ini toleransi sudah terkikis,” kata Ali kepada para peserta pelatihan.
Sementara itu, Nanda mengungkapkan bahwa dirinya begitu marah dan benci ketika pertama kali bertemu dengan mantan pelaku pada 2015. Akibat aksi teror Bom Kuningan 2004, dia mengalami kerusakan jaringan tulang di jari-jari tangan. Seiring berjalannya waktu ia menyadari bahwa kemarahan dan kebencian terhadap mantan pelaku tidak akan mengembalikan kondisi fisiknya seperti semula.
“Tidak ada gunanya marah berkepanjangan kepada mantan pelaku karena hal itu tidak bisa mengubah keadaan tangan saya. Tuhan saja memaafkan hamba-Nya, kenapa saya tidak belajar untuk memaafkan sesama,” kata ibu tiga anak ini.
Salah satu guru SMA Taman Siswa mengaku kagum terhadap rekonsiliasi perdamaian antara penyintas dan mantan pelaku terorisme. Menurut dia persatuan kedua pihak untuk menyebarkan pentingnya perdamaian sangat menginspirasi. Dia mengharapkan semakin banyak tercipta rekonsiliasi dan persaudaraan antara korban dan mantan pelaku sehingga kampanye perdamaian di masyarakat semakin efektif.
Selain Tim Perdamaian, pelatihan juga menghadirkan narasumber ahli tentang jaringan terorisme, Sofyan Tsauri. Dia mengatakan guru merupakan salah satu elemen penting yang berperan besar dalam membangun karakter anak didik. Oleh sebab itu ia mengimbau para guru agar mengantisipasi masuknya paham ekstremisme ke lingkungan sekolah, baik di dalam maupun di luar kegiatan belajar mengajar. “Guru harus melakukan sterilisasi terhadap pihak luar yang akan menyampaikan ceramah keagamaan atau mentoring kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah,” ujarnya. [AS]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XIII Juli 2017.