Home Berita Meneladani Ketangguhan dan Keluasan Hati Penyintas
Berita - 03/08/2018

Meneladani Ketangguhan dan Keluasan Hati Penyintas

Satu kelompok siswa memperagakan yel dalam Seminar Kampanye Perdamaian di SMAN 3 Kota Bima (22/11/2017).
Dok. AIDA – Satu kelompok siswa memperagakan yel dalam Seminar Kampanye Perdamaian di SMAN 3 Kota Bima (22/11/2017).

 

Matanya sembab, pipinya tampak basah. Sesekali dia menghela napas panjang sambil menyapukan kerudung ke bawah matanya. Siswi SMAN 2 Kota Bima itu menitikkan air mata saat menyimak penuturan kisah Chusnul Chotimah, penyintas aksi teror Bom Bali 2002.

Momen itu merupakan bagian dari Seminar Kampanye Perdamaian dengan tema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di lima sekolah di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat akhir November lalu. Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan kesadaran generasi muda akan pentingnya menumbuhkan jiwa tangguh dalam diri serta melestarikan perdamaian di masyarakat. Tak kurang dari 50 siswa dari setiap sekolah, yaitu SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, dan SMAN 5 Kota Bima mengikuti seminar yang didukung oleh Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.

Dalam Seminar, Chusnul menceritakan kisahnya saat ditimpa tragedi yang merampas sebagian nikmat hidupnya. Pada 12 Oktober 2002 malam saat aksi teror bom terjadi dia hanya sekadar lewat di Jalan Legian, Bali untuk membeli nasi bungkus. Ratusan orang di kawasan Legian dikejutkan dengan meledaknya sebuah mobil yang belakangan diketahui bermuatan 1,1 ton bahan peledak.

Chusnul memperkirakan jaraknya dengan mobil pembawa bom kurang lebih 10 meter. Ledakan mengakibatkan luka bakar hampir 60 persen di sekujur tubuhnya. Atas bantuan banyak pihak dia menjalani pengobatan hingga ke luar negeri. Dia bersyukur bisa sembuh meski fisiknya tak sempurna seperti sebelum terkena ledakan.

Perempuan paruh baya itu tak putus asa kendati luka akibat bom terkadang menjadi penghalang baginya untuk bangkit. Dengan ketekunan dan doa dia menjalankan usahanya berjualan sayur untuk menambah pemasukan keluarga. Dia mengaku selalu teringat akan tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk membesarkan anak. “Di tengah penderitaan karena sakit yang saya rasakan, pikiran saya cuma satu, bagaimana dengan anak saya kalau saya tidak segera bangkit,” ujar Chusnul.

Pada 2016 dia berkesempatan mengikuti kegiatan AIDA yang melibatkan mantan pelaku terorisme. Melalui proses fasilitasi yang bertahap, interaksi antara Chusnul dan mantan pelaku menghasilkan rekonsiliasi. Dia mengaku telah bangkit dari penderitaannya. Rasa marah dan dendam di hati juga ia musnahkan. Kini dia mampu berdiri bersama mantan pelaku untuk mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat.

Dalam Seminar Kampanye Perdamaian di SMAN 2 seorang siswa bertanya kepada Chusnul.“Bagaimana ibu begitu kuat sehingga bisa tegar dan memaafkan pelaku, padahal dia sudah membuat ibu mengalami peristiwa tragis?”

Menanggapi pertanyaan tersebut Chusnul mengaku selalu teringat akan nasihat-nasihat positif yang dia terima dari berbagai pihak, salah satunya dari kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan AIDA.

“Saya diberi wejangan bahwa dendam tidak akan pernah menyelesaikan masalah, perlahan saya renungkan dan akhirnya dendam itu hilang,” ujarnya.

Di samping Chusnul, Seminar Kampanye Perdamaian juga menghadirkan Sudarsono Hadisiswoyo, penyintas aksi teror bom di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004. Secara bergantian Chusnul dan Sudarsono membagikan kisahnya kepada para siswa di Kota Bima.

Selain penuturan kisah penyintas, Seminar Kampanye Perdamaian juga menghadirkan Iswanto, mantan pelaku terorisme. Dia mengisahkan saat tergabung dengan jaringan terorisme sering mendapatkan anjuran-anjuran yang dia rasakan tidak sejalan dengan Islam.  Di antaranya dia dilarang berterus terang kepada orang tua serta ditekankan untuk membenci dan memerangi semua orang yang beragama lain.

“Saya baca lagi kitab-kitab rujukan agama Islam, kebetulan saya punya dasar Bahasa Arab jadi saya tahu dan bisa membedakan mana yang sesungguhnya benar-benar dianjurkan dan mana yang tidak,” dia menerangkan.

Tekadnya untuk meninggalkan kelompok kekerasan bulat setelah gurunya menganjurkan untuk meninggalkan cara-cara kekerasan dalam mengajak masyarakat pada kebaikan. Dia juga mengaku semakin yakin setelah mengetahui secara langsung dampak aksi terorisme yang melekat pada diri korban. Dalam Seminar Kampanye Perdamaian Iswanto meminta maaf kepada para korban secara umum lantaran dirinya pernah tergabung dengan kelompok teroris.

Sebagian siswa mengutarakan kesan setelah mengikuti Seminar Kampanye Perdamaian. Seorang siswa dari SMAN 1 mengaku takjub akan ketangguhan dan keluasan hati korban yang mampu memaafkan mantan pelaku. ”Sangat mustahil jika korban memaafkan pelaku, kecuali dengan hati dan jiwa yang sangat besar,” kata dia.

Salah satu peserta Seminar Kampanye Perdamaian di SMAN 5 mengungkapkan bahwa dia memetik banyak pelajaran berharga dari kegiatan tersebut. Dia mengatakan, “Dari acara tadi saya belajar kita itu harus memaafkan orang lain sehingga bisa mengubah diri kita dari perilaku yang buruk menjadi perilaku yang lebih baik.” Peserta lain dari SMAN 4 menyampaikan, “Kekerasan tidak harus dibalas lagi dengan kekerasan, kalau ada yang berbuat kekerasan dibalas saja dengan senyuman dan kebaikan.” [F]

 

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XV Januari 2018.