Home Opini Membangun Perdamaian: Belajar dari Santri
Opini - 23/10/2018

Membangun Perdamaian: Belajar dari Santri

Selamat Hari Santri 22 Oktober 2018

Oleh: Ahmad Hifni, Aliasi Indonesia Damai

Tiga tahun lalu, pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015  resmi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Sejak itu setiap tahunnya umat Islam, khususnya kaum santri, membuat acara peringatan untuk memeriahkannya.

Peringatan ini merujuk pada Resolusi Jihad ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), pada 22 Oktober 1945, yang mewajibkan umat Islam untuk melawan penjajah yang hendak merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia. Keberadaan Resolusi Jihad tersebut menguatkan Fatwa Jihad Rais Akbar NU, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, yang diterbitkan pada 17 September sebelumnya.

Tak tanggung-tanggung, fatwa ini tidak saja menginspirasi semangat perjuangan santri dan masyarakat di Jawa Timur, tetapi juga ribuan pemuda pejuang Tanah Air di berbagai daerah lain di Indonesia. Fatwa Kiai Hasyim yang diperkuat menjadi Resolusi Jihad ini begitu spektakuler. Bagaimana tidak, seorang kiai yang kesehariannya bisa dikatakan terbatas, sekadar mengajar di pesantren, mampu membangun nasionalisme pemuda di seluruh Indonesia.

Setelah fatwa tersiar, ribuan pemuda pejuang Tanah Air bersatu melakukan perlawanan melawan penjajah di daerah masing-masing. Di antara peperangan melawan penjajah yang terletup dari semangat Fatwa Jihad adalah pertempuran Laskar Hizbullah dan pasukan Belanda di Hotel Oranje Surabaya 19 September 1945, perang 5 hari di Semarang 15-20 Oktober 1945 antara pejuang Indonesia melawan pasukan Jepang yang belum menyerah, serta serangkaian pertempuran sengit di Surabaya yang mencapai puncaknya pada perang besar 10 November 1945 di mana pekik takbir Bung Tomo menggelorakan semangat jihad bangsa. Momen tersebut yang mendasari pemerintah untuk kemudian menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Kembali menyoal Hari Santri Nasional, pemerintah melalui penetapan tersebut menunjukkan pengakuannya atas perjuangan ulama, kiai, dan para santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konteks saat ini, momentum Hari Santri selayaknya kita maknai tidak hanya sebagai pengingat atas perjuangan santri melawan imperialisme, tetapi juga spirit santri dalam membangun perdamaian di negeri ini.

Mengapa santri bisa menjadi duta perdamaian? Karena dalam setiap santri melekat empat paradigma, yang ditradisikan di lingkungan pesantren. Pertama, seorang santri senantiasa berpikir dan bersikap moderat dalam beragama. Bagi seorang santri, sikap moderat adalah sikap yang paling adil dalam memahami agama. Moderatisme kaum santri adalah jalan tengah dalam merespons problem sosial-keagamaan. Seorang santri tidak akan condong pada pemahaman yang ekstrem baik ke kanan maupun ke kiri terkait isu kemasyarakatan atau keumatan. Hal itu selaras dengan pesan Rasulullah Saw dalam sebuah riwayat hadis, “Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.

Kedua, santri senantiasa mendahulukan perdamaian ketimbang mengambil jalan kekerasan. Hal itu selaras dengan prinsip ajaran Islam bahwa perdamaian merupakan prioritas utama di muka bumi ini karena sejatinya setiap orang membutuhkan perdamaian dalam hidupnya. Dalam keadaan apa pun, bagi santri, perdamaian harus senantiasa ditegakkan, karena hanya melalui perdamaian manusia sebagai khalifah Allah bisa menjalankan mandat dan kepercayaan Allah, yaitu untuk membangun kehidupan dan peradaban adiluhung.

Ketiga, santri memiliki pandangan yang menghargai keberagaman. Meskipun dididik di lingkungan yang relatif homogen, yaitu pesantren di mana para santri adalah muslim, namun mereka memahami bahwa dalam Islam pun terdapat kebinekaan. Santri tidak mempermasalahkan fakta perbedaan di masyarakat karena pembelajaran di pesantren sejak awal dikenalkan pada keragaman mazhab.

Sikap itu bagi santri merupakan puncak perwujudan keimanan bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya berbeda-beda. Allah bisa saja menciptakan makhluk-Nya satu umat, satu keyakinan, satu warna kulit, satu bahasa, namun yang Allah kehendaki adalah keberagaman, bukan keseragaman. Karena itu, santri senantiasa menganggap golongan yang berbeda dan umat agama lain sebagai ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dihargai. Mereka harus diperlakukan secara adil dan setara, karena sesungguhnya mereka adalah keturunan Adam yang dimuliakan Tuhan.

Keempat, santri mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan. Bagi santri, menghormati manusia berarti menghormati Allah, karena Allah lah yang menciptakan manusia. Perbedaan bukanlah alasan untuk tidak berlaku adil terhadap manusia lain. Seseorang tidak bisa disebut menghormati Allah tanpa menghargai ciptaan-Nya sendiri. Maka dari itu, bagi santri, Islam tidak hanya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi Islam pun mendorong agar mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks kebangsaan dan keagamaan, tentu saja tantangan kita adalah menerjemahkan empat paradigma santri tersebut dalam konteks mutakhir, khususnya dalam rangka membangun pandangan keagamaan yang toleran demi mewujudkan perdamaian di Indonesia. Jika di era penjajahan kita bisa meneladani semangat santri melawan imperialisme, maka dalam konteks sekarang, kita bisa belajar dari santri tentang membangun kerukunan dan perdamaian bagi bangsa Indonesia.

Kredit foto: Kemenag RI