12/01/2024

Refleksi Sewindu Bom Thamrin

14 Januari 2016 aksi terorisme terjadi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, menyasar pos polisi dan kedai kopi waralaba ternama. Serangan teror bom disusul dengan baku tembak aparat dan pelaku tersebut mengakibatkan delapan orang meninggal dunia dan melukai 26 lainnya. Korban jatuh dari kalangan masyarakat sipil dan aparat keamanan.

Sewindu sudah tragedi Bom Thamrin berlalu. Bagi para korban, memori peristiwa kelabu tersebut bakal selalu terkenang. Hingga sekarang sebagian korban masih merasakan dampak yang dialami, baik luka fisik maupun psikis. Delapan tahun ini mereka terus berusaha untuk berdamai dengan takdir yang menimpa serta keadaan diri mereka yang mengalami keterbatasan fungsi atau penurunan kondisi kesehatan akibat aksi terorisme tersebut.

Baca juga Setop Kekerasan, Belajar dari Kisah Korban

Menilik sejarah delapan tahun lalu, peristiwa Bom Thamrin bisa dikatakan menjadi trigger yang sangat kuat bagi pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Meski tahun-tahun sebelumnya pemerintah sudah mendorong revisi UU Antiterorisme, namun desakan semakin menguat ketika aksi Bom Thamrin terjadi.

Alhasil, pasca-Bom Thamrin pemerintah dan DPR sepakat untuk memulai pembahasan penyempurnaan UU Antiterorisme. Meski pengesahan revisinya terjadi dua tahun setelah Bom Thamrin, namun bisa dirasakan saat ini kita memiliki regulasi pemberantasan terorisme yang hampir paripurna, yakni UU No. 5 Tahun 2018. Disebut hampir paripurna sebab setidaknya terdapat penguatan pemberantasan terorisme yang signifikan di beleid tersebut ketimbang sebelum direvisi dalam sejumlah aspek, seperti: pencegahan, penindakan, deradikalisasi, hingga pemenuhan hak korban.

Baca juga Peringatan Korban Terorisme, Momen Membangun Masa Depan yang Damai

Kembali ke sejarah Bom Thamrin pada 2016, peristiwa tersebut menjadi momentum pertama kalinya negara, melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hadir memenuhi amanat Undang-Undang untuk memberikan hak korban, meskipun masih terbatas hanya hak medis. Sesaat setelah aksi teror Bom Thamrin, LPSK bahkan secara proaktif menyisir sejumlah rumah sakit di Jakarta untuk menyerahkan guarantee letter sebagai jaminan penyediaan layanan pengobatan para korban, terlebih saat di masa-masa kritis.

Dalam sejumlah aksi teror sebelum Bom Thamrin, pemenuhan hak korban terorisme, bahkan sekadar bantuan medis, belum diimplementasikan negara. Aturannya sendiri sebenarnya sudah ada, setidaknya dalam UU Antiterorisme yang lama No. 15/2003 dan UU No. 31/2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sekali lagi, sebelum Bom Thamrin belum pernah ada jaminan penanganan medis bagi korban di masa kritis dari pemerintah. Sejak peristiwa Bom Thamrin hingga seterusnya, negara hadir dalam pemenuhan hak korban terorisme.

Baca juga Haji Duta Perdamaian

Hal lain yang muncul sebagai akibat dari trigger peristiwa Bom Thamrin, dalam arti positif, adalah meningkatnya kesadaran publik terhadap isu korban dan perdamaian. Para korban dari lintas peristiwa terorisme, seperti Bom Bali, Bom JW Marriott Jakarta, dan Bom Kedutaan Besar Australia Jakarta, semakin berdaya untuk terlibat dalam mengampanyekan perdamaian ke publik.

Baca juga Tajuk Idul Fitri Menjadi Pribadi Pemenang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *