Anjuran Saling Memaafkan Dalam Islam
Home Inspirasi Aspirasi Damai Anjuran Saling Memaafkan Dalam Islam
Aspirasi Damai - 07/11/2018

Anjuran Saling Memaafkan Dalam Islam

Anjuran Saling Memaafkan Dalam Islam
Ilustrasi Anjuran Saling Memaafkan Dalam Islam. Photo: muslimcouncil.org.hk

 

Oleh: Ahmad Hifni, alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

Memaafkan merupakan sikap mulia yang amat dianjurkan dalam agama Islam. Seberat atau sepedih apa pun manusia mengalami dampak akibat kesalahan yang dilakukan orang lain, Allah Swt tetap memerintahkan setiap hamba untuk melapangkan dada terhadap kesalahan sesama. Dalam Al-Quran Allah berfirman:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Dan hendaklah mereka memberi maaf dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nur: 22).

Terkait ayat tersebut pakar tafsir M. Quraish Shihab mengatakan bahwa orang yang saleh dan memiliki kekayaan dalam suatu komunitas hendaknya tidak bersumpah untuk tidak memberikan derma kepada kerabat, orang miskin, orang yang berada di jalan Allah dan orang yang berhak menerima infak lainnya, hanya karena alasan-alasan yang bersifat pribadi seperti dengan sengaja menyakiti. Sebaliknya, mereka hendaknya memaafkan dan tidak membalas keburukan yang ditimpakan. Apabila seseorang ingin agar Allah memaafkan kesalahan-kesalahannya, maka hendaknya tetap berbuat baik kepada orang yang mungkin pernah melakukan kesalahan. Ayat ini diturunkan ketika sahabat Abu Bakar al-Siddiq bersumpah untuk tidak lagi memberikan bantuan ekonomi kepada kerabatnya yang bernama Mastah bin Utsatsah lantaran terlibat kasus tuduhan bohong (hadis al-ifki) terhadap istri Rasulullah Saw, Aisyah Ra.

Ayat di atas menegaskan bahwa memaafkan merupakan sikap mulia yang hendaknya dimiliki setiap orang karena Allah sendiri maha pemberi maaf dan menyayangi hamba-Nya. Pemberian maaf sebagaimana ditekankan dalam ayat ini tidak harus menunggu permintaan maaf. Substansi memaafkan berdasarkan ayat tersebut adalah berlapang dada dan membuka pintu maaf selebar-lebarnya kepada orang lain dengan kesadaran penuh bahwa kesalahan merupakan suatu keniscayaan yang pasti pernah dilakukan oleh setiap manusia.

Perintah memaafkan dalam ayat di atas juga mesti dipahami bahwa mengampuni kesalahan orang lain harus disertai keikhlasan, artinya melapangkan dada dan menyadari bahwa seluruh ganjalan yang selama ini tebersit dalam hati telah hilang sepenuhnya, sehingga yang tersisa adalah optimisme untuk menatap masa depan yang lebih damai dan tenteram.

Enggan memaafkan kesalahan orang lain, saudara atau kerabat, apalagi disertai sumpah serapah yang bisa mengancam keutuhan jalinan persaudaraan tidaklah mencerminkan sikap seorang muslim sejati. Oleh sebab itu islah, rekonsiliasi atau perbaikan hubungan antarpihak-pihak yang berselisih sangat dianjurkan dalam Islam.

Terkait rekonsiliasi Aliansi Indonsia Damai (AIDA) memiliki pengalaman yang cukup menggembirakan dalam membangun perdamaian antara dua belah pihak yang pernah melakukan kesalahan dan pihak yang menjadi korbannya. Dua pihak tersebut adalah korban dan mantan pelaku terorisme. Ketika dipertemukan, mantan pelaku menyampaikan kepada korban bahwa dirinya telah menyadari kekeliruannya di masa lalu, yaitu bergabung dengan kelompok teroris, serta meminta maaf atas kesalahannya itu. Dari pihak korban kendati aksi terorisme telah merenggut banyak anugerah namun dengan besar hati memaafkan masa lalu mantan pelaku.

Ni Luh Erniati, korban Bom Bali I (12 Oktober 2002), mengaku telah memaafkan setulus-tulusnya para mantan pelaku terorisme. Dalam kesempatan sebuah kegiatan AIDA di Lamongan pada 2015, ia bersilaturahmi dengan seorang mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi. Proses rekonsiliasi Erni dan Ali Fauzi sudah dimulai sebelum kegiatan di Lamongan berlangsung. Atas kesadaran kedua belah pihak akan pentingnya perdamaian dilestarikan di negeri ini, rasa kesal, dendam, egois atau amarah disingkirkan dari hati. Erni bahkan mengaku telah menganggap Ali Fauzi seperti keluarganya sendiri.

Erni menyadari tidak mungkin memendam kebencian berlarut-larut karena tidak akan mengubah apa-apa, justru bisa menambah masalah. “Kalau pun saya membalas teroris, itu tidak akan mengembalikan suami saya,” ujarnya saat menceritakan suaminya yang meninggal dunia akibat aksi Bom Bali dalam suatu seminar yang diselenggarakan AIDA di Jakarta awal November 2018. Saking dekatnya kekeluargaan antara Erni dan Ali Fauzi, keduanya kerap melontarkan candaan dan saling berbagi hobi. Hal ini dilakukan bukan atas kehendak orang lain, melainkan atas kehendak korban dan mantan pelaku terorisme itu sendiri.

Dalam konteks rekonsiliasi antarpihak yang berselisih, Allah Swt berfirman:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat: 10).

Melalui ayat ini Allah Swt menegaskan bahwa rekonsiliasi di antara dua belah pihak, yaitu pihak yang pernah melakukan kesalahan dan pihak yang menjadi korbannya harus diupayakan. Perbaikan hubungan antara pihak-pihak yang bertikai tidak hanya dimuliakan Allah tetapi juga menjadi harapan bagi masyarakat secara luas. Hal itu karena setiap manusia pada prinsipnya membutuhkan perdamaian dalam hidup.

Pada akhirnya, memaafkan dan meminta maaf hendaknya menjadi kesadaran bersama bahwa setiap kejadian di muka bumi ini telah ditakdirkan oleh Allah Swt. Setiap peristiwa di dunia ini merupakan ketetapan Allah yang tak seorang pun bisa menolaknya. Maka dari itu, seperih apa pun kejadian yang menimpa, kita harus menjadikannya sebagai pembelajaran, karena di balik semua kejadian di muka bumi ini pasti ada hikmah yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran.