Merdeka, Belajar, Merundung
Oleh: Saifur Rohman
Pengajar Filsafat di Program Doktor Universitas Negeri Jakarta
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada 11 September 2024 berpamitan kepada anggota DPR dengan sebuah puisi. Dalam puisinya, Nadiem menyatakan telah membebaskan peserta didik dari ketakutan dalam praktik pembelajaran selama 10 tahun terakhir.
Dua hari kemudian, pengelola Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan RSUP dr Kariadi Semarang mengakui adanya perundungan terhadap mahasiswa di Program Pendidikan Doktor Spesialis (PPDS) di Semarang, Jumat (13/9/2024).
Sehari sebelumnya, siswa SDN 4 Mononutu, Kota Ternate, Maluku Utama, berinisial N, tewas diduga akibat perundungan, Selasa (10/9/2024). Sepulang sekolah, korban merasa sakit pada bagian belakang kepala dan muntah-muntah. Setelah pingsan, korban dibawa ke Rumah Sakit Chasan Boesoine pada pukul 17.00, tetapi sejam kemudian nyawanya tidak tertolong.
Baca juga Kemerdekaan dan Pendidikan
Tiga peristiwa tersebut hampir berurutan. Apabila dipilah, dua kasus adalah peristiwa perundungan peserta didik di tingkat pendidikan dasar dan pendidikan tinggi.
Merundung dan merdeka belajar
Perundungan tentu bukan bagian dari wujud kemerdekaan belajar yang dialami peserta didik. Diakui atau tidak, kekerasan yang muncul dalam diri peserta didik merupakan salah satu perwujudan tindakan sadisme.
Tak heran dalam berbagai kasus yang terjadi, pelaku melakukan ”perayaan” setelah melukai korban karena terdapat kepuasan atau keberhasilan mendominasi korban. Secara psikologis, hal itu merupakan cerminan perilaku menyimpang yang melibatkan aspek-aspek psikologis, yakni kognitif, motorik, dan emotif.
Baca juga Proklamasi Kemerdekaan yang Sarat Makna
Bentuk perundungan mengalami variasi modus dan akibatnya. Perundungan akhir-akhir ini mengakibatkan korban mengalami sakit jiwa, tertekan, dan kematian. Selain kasus-kasus kematian karena penganiayaan dan bunuh diri, ada pula kasus seorang siswa kelas 2 SMAN 4 Kota Pasuruan yang harus dilarikan ke rumah sakit jiwa Lawang Malang, Senin (26/8/2024). Pihak keluarga menduga korban mengalami stres karena terus-menerus mengamuk.
Di luar nalar
Pelbagai peristiwa yang menimpa peserta didik di atas tampak di luar nalar. Dalam kasus perundungan di pendidikan tinggi di Semarang, misalnya, praktik pemerasan terhadap korban ternyata digunakan oleh pelaku untuk berfoya-foya.
Perundungan di Undip itu mencakup jam kerja lebih dari 80 jam per minggu dan kewajiban iuran hingga Rp 40 juta per bulan. Uang iuran digunakan untuk kebutuhan makan, sewa kendaraan, kos, karaoke, dan sewa lapangan sepak bola untuk senior-senior di program tersebut (Kompas, 14/9/2024).
Kasus perundungan itu terkuak setelah ARL (30), mahasiswa PPDS, ditemukan tewas bunuh diri di kamar kos, Senin (12/8/2024). Sebelumnya pihak Undip menyatakan ”tidak menemukan fakta terkait perundungan terhadap ARL”. Sementara itu, dalam kurun waktu 2021-2023, Undip telah mengeluarkan tiga mahasiswa pelaku perundungan.
Baca juga Jamaah Islamiyah, dari Johor Berakhir di Bogor
Fakta-fakta tersebut menunjukkan, perilaku sadisme telah terjadi di tingkat pendidikan dasar hingga tinggi. Peningkatan jumlah dan variasi perundungan justru terjadi ketika pemerintah telah membebaskan peserta didik dari ”ruang yang menakutkan” dan memberi ruang untuk berkreasi. Secara eksplisit, puisi Makarim yang ditulis dalam bentuk syair itu menceritakan tentang kebebasan peserta didik masa kini.
Dalam syair puisinya, Nadiem membayangkan pada masa lalu ruang kelas menjadi ”ruang yang menakutkan”. Pada masa kini, anak ”diberikan ruang untuk berkreasi, berinovasi, bahkan untuk berjuang”. Dikatakan, ”ruang kelas menjadi panggung dan juga peluang untuk menemukan jati diri setiap orang”. Dia juga mengaku telah meletakkan sendi-sendi dasar Merdeka Belajar dengan istilah ”menanam akar” dengan harapan menjadi lebar dan ”terlihat mekar”.
Kebebasan untuk menemukan jati diri setiap siswa dianggap sebagai aspek mendasar dalam Merdeka Belajar. Namun, ada tiga hal yang dilupakan dalam konteks kebebasan untuk jati diri tersebut.
Baca juga Pesan Damai Grand Sheikh Al-Azhar dan Antikekerasan
Pertama, penemuan jati diri tidak bisa dilakukan di dalam ruang bebas nilai. Kebebasan dalam perspektif Erich Fromm memiliki dua dimensi, yakni kebebasan dari dan kebebasan untuk. Apabila direfleksikan dalam kebebasan belajar, konsepsi kebebasan itu berasal dari kekangan kebijakan masa lalu menuju kebebasan untuk kreasi dan jati diri atau karakter siswa.
Kedua, kebebasan yang diberikan itu tak ubahnya pisau bermata dua. Kebebasan yang menemui bentuk negatif adalah modus-modus baru perundungan yang membawa pada imajinasi baru tentang kengerian. Siswa memiliki kebebasan untuk ”berkreasi” dalam praktik-praktik sosial sehingga menemukan kondisi yang tak terpikirkan sebelumnya.
Bukti, dalam kasus perundungan siswa NS (17) di Jawa Timur, gangguan jiwa terjadi dalam bentuk depresi, Senin (26/8/2024). Peristiwa itu dilakukan oleh siswa kelas 11. Menurut keterangan polisi, kekerasan itu sudah lama terjadi, seperti pemerasan, olok-olok, pemukulan, dan puncaknya terjadi setelah upacara kemerdekaan (17/8/2024). Dalam kasus terakhir, korban dihadang di pintu gerbang dan mengalami kekerasan fisik.
Baca juga Tentang Pembubaran JI
Ketiga, istilah ”merdeka” yang sinonim dengan ”kebebasan” perlu direfleksikan kembali dalam praktik pembelajaran ke depan. Liberalisme dalam pendidikan tidak dikenal dalam filosofi pendidikan nasional. Secara historis, praktik pendidikan dipahami melalui istilah ”mengajar” dan ”mendidik”. Mengajari adalah mengasah kognitif, sedangkan mendidik adalah mengasah sikap.
Suka atau tidak bahwa kebebasan, kemerdekaan, kreativitas tidak selalu menjadi solusi bagi masalah pendidikan kita. Ke depan, pengambil kebijakan yang baru di bidang pendidikan diharapkan membawa kemerdekaan dalam pendidikan tidak sekadar bebas berkreasi, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa.
*Artikel ini diambil dari laman kompas.id edisi 10 Oktober 2024