Dwi Siti Rhomdoni (Dwiki, kiri) dan Agus Kurnia (kanan), Penyintas Dalam Kegiatan Peringatan 3 Tahun Bom Thamrin, Minggu, (13/01/2019)
Home Berita Penyintas Bom Thamrin Ajak Masyarakat Terima Perbedaan
Berita - 15/01/2019

Penyintas Bom Thamrin Ajak Masyarakat Terima Perbedaan

ALIANSI INDONESIA DAMAI- Puluhan orang berbaju putih berkumpul di sebuah sudut persimpangan Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (13/1/2019). Mereka adalah para korban aksi terorisme di lokasi tersebut pada tiga tahun sebelumnya. Komunitas yang menamakan diri Sahabat Thamrin ini menyebarkan selebaran bertuliskan “Menerima Perbedaan untuk Merayakan Kebersamaan dan Perdamaian” kepada para warga yang menikmati hari bebas berkendaraan (Car Free Day).

Menurut Dwi Siti Rhomdoni, salah seorang korban Bom Thamrin, tema itu dipilih karena akhir-akhir ini masyarakat Indonesia terbelah menjadi berkubu-kubu imbas dari perbedaan pilihan politik. Para korban Bom Thamrin melihat sebagian masyarakat di tahun politik seperti saat ini enggan menerima perbedaan. Apabila tidak dikelola dengan baik, keadaan ini bisa menyulut pertikaian dan perpecahan.

Dari pengalamannya selaku penyintas Bom Thamrin, dia mengingatkan masyarakat bahwa aksi terorisme seperti yang menimpanya berawal dari upaya segelintir orang untuk memaksakan kehendak dan tidak menghargai perbedaan.

Dwi Siti Rhomdoni (Dwiki, kiri) dan Agus Kurnia (kanan), Penyintas Dalam Kegiatan Peringatan 3 Tahun Bom Thamrin, Minggu, (13/01/2019)
Dwi Siti Rhomdoni (Dwiki, kanan) dan Agus Kurnia (kiri), penyintas Bom Thamrin dalam kegiatan Peringatan 3 Tahun Bom Thamrin di Jakarta, Minggu (13/1/2019).

“Peristiwa teror pada dasarnya adalah upaya para pelaku untuk menunjukkan bahwa mereka memilih pilihan dan kepercayaan yang berbeda dengan kita. Perbedaan itu hendak mereka paksakan agar kita mau memilih sikap yang sejalan dengan pemikiran mereka. Cara apa pun yang mereka lakukan, termasuk dengan cara mengancam dan menebar ketakutan,” kata Dwiki, sapaan akrab Dwi Siti Rhomdoni.

Hal senada juga diungkapkan anggota Sahabat Thamrin lainnya, Agus Kurnia. Ia mengatakan acara peringatan tiga tahun aksi terorisme di Jalan MH. Thamrin bertujuan untuk mengajak masyarakat agar menyadari bahwa perbedaan di tengah-tengah masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya, hal tersebut harus diterima agar masyarakat bisa hidup rukun dan damai.

“Kami mengajak masyarakat untuk menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Mari sama-sama kembali bergandengan tangan, rapatkan barisan. Kita terima perbedaan itu, kita semua bersaudara, sebangsa dan se-Tanah Air,” terangnya.

Selain berbicara soal perbedaan, Sahabat Thamrin juga menekankan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab Negara. Agus bersyukur bahwa dirinya telah menerima bantuan untuk memulihkan luka fisik dan psikis, termasuk kompensasi dari Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diberikan pada 6 September 2018 lalu. Meskipun demikian, ia menyadari bahwa masih banyak korban terorisme lain yang belum mendapatkan hak-haknya secara penuh. Dari itu ia berharap agar para korban yang belum memperoleh hak-haknya segara diperhatikan oleh Negara.

“Alhamdulillah pemerintah membantu saya dengan menanggung seluruh biaya pengobatan sampai saya bisa mendengar kembali, dan kami terus mendampingi korban lainnya yang hingga kini masih terus menjalani pengobatan,” ujar Agus.

Pernyataan Agus diperkuat Dwiki. Ia mendorong pemenuhan hak-hak korban semakin optimal. “Saat ini kami sudah diberikan bantuan dari pemerintah salah satunya kompensasi. Masih banyak korban teror yang lainnya yang mungkin belum seberuntung kami, nah itu juga kami berharap kepada pemerintah dapat memberikan bantuan atau kompensasi pada korban bom lainnya seperti di Surabaya, Samarinda, dan lainnya,” kata Dwiki.

Ia menjelaskan, yang dibutuhkan oleh korban kekerasan aksi terorisme tidak hanya sekadar kompensasi. Bantuan tunai sebagai ganti rugi Negara tersebut tidak dapat dianggap sebagai bantuan yang dapat menjawab persoalan korban. Sebab, korban kejahatan aksi terorisme sebenarnya merasakan luka yang sangat panjang.

Secara terpisah, Direktur Yayasan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, menyatakan bahwa masih banyak korban terorisme yang belum mendapatkan hak-haknya. Terkait kompensasi, para korban terorisme di masa lalu seperti Bom Bali 2002 dan 2005, Bom JW Marriott 2003, dan Bom Kuningan 2004, sama sekali belum menerimanya.

“Kompensasi bagi korban lama itu menjadi kebutuhan yang sangat besar karena melihat dari jumlah korban. Kebanyakan yang belum mendapatkan kompensasi justru dari korban lama. Sampai hari ini kan kurang lebih dari korban Thamrin 13 orang yang mendapatkan kompensasi, dari (korban bom) Kampung Melayu 3 orang, Medan 1 orang, Samarinda juga demikian, mungkin hanya 20-an orang yang dapat kompensasi. Sementara ratusan korban lainnya itu belum dapat kompensasi,” ujarnya saat menghadiri acara Peringatan 3 Tahun Bom Thamrin.

Ia menambahkan, salah satu kendala dari pemberian kompensasi kepada korban lama karena belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Padahal, kebutuhan akan PP cukup mendesak karena mencakup implementasi dari hak-hak para korban.

“PP ini yang memberikan rincian syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh para korban. Dan PP itu yang saat ini ditunggu-tunggu oleh korban,” pungkas Hasibullah. [MSH]