Pemenuhan Hak Korban Terorisme Terkendala Regulasi
ALIANSI INDONESIA DAMAI– Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, menyayangkan pemenuhan hak-hak korban terorisme di Indonesia yang masih banyak belum terealisasi. Menurutnya, implementasi pemenuhan hak korban yang diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, masih terkendala aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang belum rampung.
“PP ini yang memberikan rincian syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh para korban, dan PP itu yang saat ini ditunggu-tunggu oleh korban,” ujar Hasibullah dalam acara Peringatan 3 Tahun Tragedi Bom Thamrin di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (13/1/2019) sebagaimana dilansir Viva.co.id.
Ia menjelaskan, banyak penyintas tindak terorisme, khususnya yang telah berlalu lama, belum mendapatkan hak-haknya termasuk kompensasi. Ia menyebut para korban aksi teror bom di Bali pada 2002 dan 2005, bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 2003, dan bom di Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan pada 2004, belum menerima kompensasi dari Negara. Ia berharap pemerintah segera menerbitkan PP secepatnya, agar para korban dapat segera mendapatkan kejelasan pemenuhan hak-hak mereka.
“Kompensasi bagi korban lama itu menjadi kebutuhan yang sangat besar karena melihat dari jumlah korban. Kebanyakan yang belum mendapatkan kompensasi justru dari korban lama. Sampai hari ini kan kurang lebih dari korban Thamrin 13 orang yang mendapatkan kompensasi, dari (korban bom) Kampung Melayu 3 orang, Medan 1 orang, Samarinda juga demikian, mungkin hanya 20-an orang yang mendapat kompensasi. Sementara ratusan korban lainnya itu belum dapat kompensasi,” terangnya.
Menurut Hasibullah, apabila merujuk pada UU No. 5 Tahun 2018 maka pemenuhan hak-hak korban akan memerlukan proses yang cukup lama. Dalam hal ini pemberian kompensasi, misalnya, harus ditentukan berdasarkan ketetapan pengadilan. Di samping itu, terkait besaran jumlah kompensasi bagi korban yang memenuhi rasa berkeadilan para korban, juga harus diatur detail dalam PP nantinya.
“Itu nanti harus berdasarkan ketetapan pengadilan, bukan putusan pengadilan. Dan bagaimana itu bisa dilaksanakan, itu juga tergantung pada PP. PP ini yang akan memberikan rincian apa yang harus dipenuhi oleh para korban, oleh karena itu penerbitan PP atas UU Nomor 5 tahun 2018 itu harus disegerakan,” katanya. [KAN]