Serangan Bom Koyak Upaya Perdamaian di Filipina Selatan
ALIANSI INDONESIA DAMAI– Serangan dua bom mematikan terjadi di Gereja Katolik di Jolo, Provinsi Sulu, Filipina pada Minggu (27/1/2019). Sebagaimana dilansir The New York Times, juru bicara militer, Letkol Gerry Besana mengatakan bahwa ledakan terjadi ketika orang-orang berkumpul untuk melaksanakan misa. Ia mengatakan, salah satu bom meledak di dalam gereja, sementara bom lainnya meledak di tempat parkir. Ledakan bom ini membuat panik para jemaat dan membuat mereka berhamburan keluar gereja.
Ledakan yang terjadi di Katedral Our Lady of Mt Carmel itu merenggut korban jiwa sebanyak 20 orang dan puluhan luka-luka. Sementara itu, AFP melaporkan korban tewas telah meningkat menjadi 27 orang. Menurut penghitungan terakhir yang diberikan pihak kepolisian, korban tewas termasuk 20 warga sipil dan tujuh tentara. Sementara yang terluka termasuk 14 tentara, 2 polisi dan 61 warga sipil.
“Ledakan pertama menghancurkan bangku-bangku kayu di dalam Katedral Our Lady of Mount Carmel dan panel-panel kaca jendela, dan bom kedua melemparkan sisa-sisa manusia dan puing-puing ke arah alun-alun kota yang menghadap ke gereja,” kata saksi mata sebagaimana dilansir Al-Jazeera.

Presiden Rodrigo Duterte, melalui juru bicara Salvador Panelo, berang terhadap aksi terorisme itu, dan bersumpah bahwa pasukan pemerintah akan mengejar para pelaku serangan dan memastikan mereka dihukum atas apa yang telah dilakukan. “Angkatan bersenjata Filipina akan menghadapi tantangan dan menghancurkan para penjahat tak bertuhan ini,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pertahanan, Delfin Lorenzana, mengatakan bahwa ia telah mengarahkan militer untuk meningkatkan kesiagaan pascaperistiwa. “Saya telah mengarahkan pasukan kami untuk meningkatkan tingkat siaga mereka, mengamankan semua tempat ibadah dan tempat-tempat umum sekaligus, dan memulai langkah-langkah keamanan proaktif untuk menggagalkan rencana permusuhan,” ujarnya sebagaimana dilansir Rappler.
Lorenzana juga berbela sungkawa sedalam-dalamnya kepada para korban. “Kami menyampaikan bela sungkawa tulus kami kepada keluarga dan teman-teman para korban, dan menawarkan simpati kami kepada orang-orang yang cinta damai di Sulu yang sangat terpengaruh oleh tindakan pengecut ini,” tambahnya.
Dunia Mengecam
Peristiwa itu mengundang keprihatinan para pemimpin dunia. Paus Francis mengutuk dan mengecam keras pelaku aksi kekerasan itu. Hal senada juga disampaikan perwakilan negara-negara muslim. Sekretaris jenderal Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara berpenduduk mayoritas muslim, Yousef Al-Othaimeen, menyatakan kemarahannya atas serangan itu. Ia juga mengucapkan rasa duka dan belasungkawa yang mendalam atas musibah yang dialami para korban.
Yousef mengatakan, OKI dengan tegas menolak segala bentuk kekerasan, ekstremisme dan terorisme, apa pun sumber atau motif yang melatarbelakanginya. OKI juga menyambut hasil referendum baru-baru ini di Filipina selatan, yang memberikan otonomi luas bagi mayoritas Muslim di kawasan itu, dengan harapan mengakhiri hampir lima dekade pemberontakan separatis yang telah menewaskan 150.000 orang.
Uskup Angelito Rendon Lampon, yang pernah mengabdi sebagai pendeta di Katedral Our Lady mengatakan, banyak bekas parokinya terguncang setelah serangan itu. “Saya kenal banyak korban karena saya bekerja di sana selama 21 tahun. Saya berdoa untuk para korban dan keluarga mereka. Kami mengutuk serangan ini. Mereka yang bertanggung jawab tidak memiliki rasa hormat bahkan untuk kesucian tempat itu,” katanya.
Lampon juga menambahkan bahwa pastor yang memimpin massa pada saat pemboman, Pater Ricky Bacolcol masih shock, “Ia masih kaget dan tidak bisa berbicara tentang apa yang terjadi” terangnya.
Dalam pernyataan terpisah, tentara Filipina mengatakan ledakan itu kemungkinan disebabkan oleh bahan peledak improvisasi (IED). Foto-foto di media sosial menunjukkan puing-puing dan mayat-mayat tergeletak di jalan yang biasanya sibuk di luar Katedral Our Lady of Mount Carmel, yang juga pernah dilanda bom di masa lalu.
Pasukan dengan kendaraan lapis baja menutup jalan utama menuju gereja, sementara ambulans mengevakuasi korban meninggal dan terluka ke rumah sakit. Beberapa korban dievakuasi melalui udara ke kota Zamboanga.
Tidak Ada Korban WNI
Terkait serangan ini, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyampaikan kecaman keras dan turut berduka atas peristiwa ini. “Indonesia mengecam serangan teror di Pulau Jolo, Filipina Selatan pada 27 Januari 2019, yang menyebabkan sejumlah korban jiwa dan luka-luka. Indonesia menyampaikan simpati dan duka cita mendalam kepada korban dan keluarga korban, serta kepada Pemerintah Filipina.” Demikian rilis Kementerian Luar Negeri di laman resminya, www.kemlu.go.id, Senin (28/1/2019).
Dalam perkembangannya Konsulat Jenderal Indonesia di Davao City, Filipina Selatan terus memantau situasi dan terus berkoordinasi dengan otoritas keamanan dan rumah sakit setempat. Hingga saat ini tidak ada informasi mengenai WNI yang menjadi korban dalam insiden tersebut. Selain itu Indonesia juga menyatakan kesiapan bila Filipina membutuhkan bantuan.
“Indonesia berkeyakinan Pemerintah Filipina akan menemukan pelaku teror tersebut dan menghukum sesuai ketentuan yang berlaku. Pemerintah Indonesia siap untuk memberikan bantuan, apabila diperlukan.” terang Kemlu RI.
Akar Kekerasan
Jolo telah lama bermasalah dengan kehadiran kelompok ekstremis, termasuk Abu Sayyaf, sebuah kelompok bersenjata yang masuk daftar hitam oleh Amerika Serikat dan Filipina sebagai “organisasi teroris” karena bertahun-tahun melakukan pemboman, penculikan, dan pembunuhan secara brutal.
Kontributor Al-Jazeera, Jamela Alindogan, melaporkan dari Manila, mengatakan bahwa waktu serangan cukup mencurigakan. “Minggu lalu, ada referendum dan Pulau Jolo memilih untuk tidak menjadi bagian dari pemerintahan otonom baru yang sedang dibuat,” katanya.
Bangsamoro, yang berarti bangsa Moro, adalah wilayah otonom yang diperluas, yang diharapkan untuk menggantikan kebijakan darurat yang selama ini diterapkan, yang telah dikritik karena gagal untuk mengakhiri konflik kekerasan di sana. Ketua panel perdamaian Front Pembebasan Islam Moro (MILF), Mohagher Iqbal, juga mengutuk pemboman itu. Ia mengatakan bahwa siapa pun yang bertanggung jawab di balik ledakan itu berniat memunculkan nuansa keagamaan pada hasil pemungutan suara Bangsamoro.
“Sulit untuk mengatakan siapa yang bertanggung jawab, tetapi jelas itu adalah untuk memberi warna religius pada plebisit. Ada orang-orang yang hidup dengan penderitaan orang-orang,” kata Iqbal.
Senada dengan Iqbal sebagaimana dilansir Channel News Asia, Penasihat Keamanan Nasional, Hermogenes Esperon, mengatakan kelompok ekstremis merencanakan pemboman untuk merusak perdamaian yang akan segera tercipta setelah referendum. “Kami tidak akan membiarkan mereka merusak preferensi rakyat untuk perdamaian. Damai harus menang atas perang,” kata Esperon.
Sebagaimana diketahui, pada hari Jumat (25/1/2019) diumumkan bahwa para pemilih di Mindanao secara luas memilih Bangsamoro. Umat Muslim di wilayah Mindanao, Filipina selatan, menyetujui pembentukan daerah otonom baru dengan harapan mengakhiri konflik kekerasan dalam lima dekade terakhir. Langkah ini diharapkan mampu menarik investasi dan mengentaskan kemiskinan di Filipina Selatan. [KAN]