Home Opini Menghentikan Spiral Terorisme
Opini - Pilihan Redaksi - 24/07/2019

Menghentikan Spiral Terorisme

Resensi Buku La Tay`as, Ibroh dari Kehidupan Teroris & Korbannya karya Hasibullah Satrawi

Oleh: M. Syafiq Syeirozi, alumnus PP Tambak Beras

Kekerasan, apa pun bentuk dan latar belakangnya, rentan memicu kekerasan lain sebagai ekspresi balas dendam. Terorisme pun tak lepas dari premis ini. Sebagian korban konflik komunal di Maluku dan Sulawesi Tengah pada awal Reformasi yang di kemudian hari terjerat kasus terorisme, cukup menjadi bukti. Beberapa anak pelaku terorisme yang meniti jalan kekerasan yang sama dengan orang tuanya, juga menguatkan hal itu.

Balas dendam menjadi motif utama para korban konflik hingga terlibat aksi terorisme. Lantaran rasa solidaritas keagamaan, sejumlah orang yang tidak terkait langsung dengan konflik juga terjerat pidana terorisme. Lagi-lagi motifnya balas dendam. Semangat yang kurang lebih sama juga melatari beberapa anak pelaku, meski faktor ideologi jauh lebih kental.

Keluarga korban terorisme juga tak terlepas dari dendam. Penulis buku ini, Hasibullah Satrawi, mengutip cerita korban Bom Kuningan 2004 yang berhasil meredam amarah kedua anaknya. Saat peristiwa ledakan yang mencederai ayahnya dan menewaskan ibunya, keduanya masih belum mengerti getir-pahit kehidupan. Saat beranjak besar, mereka sempat bercita-cita menjadi polisi dan tentara. Anak yang menjadi polisi akan menangkap para teroris, sementara yang tentara bertugas mengeksekusi mereka (hlm 134).

Balas dendam dan ideologi melatarbelakangi banyak kasus terorisme di Indonesia, tetapi faktor lainnya mustahil diabaikan. Menurut Hasibullah, ada beberapa faktor lain, yaitu semangat keagamaan, kezaliman terhadap umat Islam, problem sosial-ekonomi, pertemanan dan keluarga, serta hubungan guru-murid (hlm 37-53). Kesimpulan tersebut didapatkan Hasibullah dari perbincangannya dengan sejumlah pelaku terorisme, baik yang masih menjalani hukuman maupun yang telah menghirup udara bebas.  

Kendati tak merujuk secara eksplisit, Hasibullah tampak terpengaruh oleh teori spiral kekerasan Dom Helder Camara (Spiral of Violence: Prayer and Practice, 1971), terutama faktor-faktor penyebab terorisme yang sebagiannya saling berlilitan satu sama lain. Menurut Camara, spiral kekerasan dihasilkan dari tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional, dan struktural, yaitu ketidakadilan sosial-ekonomi, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi Negara. Kemunculan kekerasan satu menyebabkan kekerasan lainnya. Senada dengan Camara, Hasibullah mengakui bahwa terorisme adalah realitas multidimensi yang pencegahan dan penanggulangannya juga harus multistrategi.

Alih-alih mendedahkan cara-cara mengatasi faktor multidimensi tersebut, Hasibullah malah menawarkan alternatif disengagement dan deradikalisasi terorisme melalui peran mantan pelaku terorisme dan korbannya. Pendekatan yang belum banyak dilakukan di Indonesia.

Pembelajaran dari pelaku terorisme dan korbannya

Kehidupan mantan pelaku terorisme tak melulu seputar upaya reintegrasi dan resosialisasi dengan lingkungannya, serta ikhtiar melepaskan diri dari jerat jejaring kekerasan berbasis agama. Pengakuan atas kesalahannya di masa lalu dan permintaan maaf kepada korban dari perbuatannya sendiri maupun kelompoknya adalah sisi penting kehidupan mereka. Aspek yang kerap lolos dari pengamatan banyak pihak.

Sementara cerita korban terorisme tak sekadar soal kepedihan dan perjuangannya melanjutkan hidup. Upaya mereka untuk berdamai secara internal dengan kondisi tubuh cacat (korban langsung) dan keadaan keluarga yang tak lagi utuh (korban tak langsung), serta berdamai secara eksternal dengan orang-orang yang terlibat terorisme, juga tak bisa diabaikan. Pemaafan menjadi kunci kebangkitan mereka.

Hasibullah mengajak pembaca mengambil ibroh (pembelajaran) dari kisah korban dan mantan pelaku terorisme, dua pihak yang berada di posisi berbeda, namun kini dengan kelegawaan hati masing-masing mereka bekerja bareng memainkan peran sebagai duta perdamaian. Mantan pelaku memanggul risiko bertentangan dengan kolega jaringan lamanya, sedangkan korban terorisme dengan kebesaran hatinya berdamai dengan kenyataan.

Belajar dari masa lalu untuk hari esok yang lebih baik adalah perintah Allah Swt seperti termaktub dalam Q.S. Al-Hasyr: 18, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” Pelajaran puncak yang dipetik penulis dari kisah mantan pelaku terorisme dan korbannya adalah tidak membalas kekerasan dengan kekerasan dan tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan (hlm 213-220).

Tidak membalas kekerasan dengan kekerasan dan tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan.

Saat kekerasan dibalas dengan kekerasan dan ketidakadilan dibalas dengan ketidakadilan, maka yang muncul adalah korban-korban tak bersalah yang tak paham dengan permasalahan yang melatari aksi kekerasan tersebut. Para korban bom di Indonesia adalah contohnya.

Jika teori spiral kekerasan dihasilkan Camara dari pergulatan hidupnya sebagai pemuka agama sekaligus aktivis perdamaian, demikian pula dengan Hasibullah. Ia mendapatkan pelajaran di atas setelah sekian tahun mendampingi korban terorisme untuk mengadvokasi hak-haknya dari Negara, merekonsiliasi mereka dengan para pelaku terorisme, serta memberdayakan dua pihak tersebut untuk bekerja sama menghentikan spiral terorisme dan mewujudkan perdamaian.    

Kekurangan buku ini tidak membahas soal hak-hak korban terorisme secara lebih detail. Tak ada uraian strategi Hasibullah mengadvokasi mereka di hadapan lembaga-lembaga Negara yang berwenang. Hasibullah juga tidak mengungkapkan cerita bagaimana upaya merekonsiliasikan korban dengan pelaku terorisme yang secara kasat mata sangat sulit.

Terlepas dari itu, buku ini membuktikan bahwa pemaafan korban, rekonsiliasi, serta perhatian yang efektif terhadap mantan pelaku dan korban adalah salah satu kunci menghentikan spiral terorisme. Hal yang wajib diperhatikan oleh praktisi deradikalisasi dan disengagement terorisme.

Identitas Buku
Judul buku: La Tay’as Jangan Putus Asa: Ibroh dari Kehidupan Teroris
dan Korbannya
Penulis: Hasibullah Satrawi
Penerbit: Aliansi Indonesia Damai (AIDA)
Cetakan: Pertama, Februari 2018
Tebal: xx + 226 halaman
ISBN: 978-602-51366-0-3

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *