Lingkungan Positif Bagi Korban Dan Mantan Pelaku
Manusia hidup dalam sebuah sistem kelompok yang disebut dengan lingkungan. Keadaan lingkungan sangat berperan dalam memengaruhi perilaku manusia yang ada di dalamnya. Agar tercipta suatu pola perilaku yang positif dalam diri manusia, dibutuhkan lingkungan yang positif pula. Hal ini turut berlaku pada penyintas dan mantan pelaku terorisme. Penyintas membutuhkan lingkungan yang positif agar dapat bangkit dari keterpurukan. Sedangkan mantan pelaku terorisme juga membutuhkan lingkungan yang positif agar dapat kembali ke jalan perdamaian.
Menciptakan lingkungan positif bagi penyintas
Bagi orang-orang yang terkena musibah, lingkungan yang positif akan membantu mereka untuk menjadi pribadi yang ikhlas dan mampu bangkit dari keterpurukan. Mereka menerima energi positif yang berasal dari dukungan orang-orang di sekitarnya, sehingga mampu meredam kepedihan yang disebabkan oleh musibah itu. Lingkungan semacam inilah yang dibutuhkan oleh para penyintas terorisme. Sebagaimana diketahui bersama, ledakan bom dapat menimbulkan efek yang sangat destruktif. Para penyintas merasakan kepedihan yang luar biasa, baik itu luka fisik hingga mengalami cacat, atau kehilangan orang tercinta akibat aksi teror. Sukar rasanya membayangkan kepedihan itu akan hilang dengan mudah, jika para penyintas hanya berjuang seorang diri.
Atas dasar itulah muncul sejumlah organisasi yang peduli pada nasib penyintas terorisme, sebagai langkah konkret dalam mewujudkan lingkungan yang positif serta menjadi wadah bersama untuk bangkit dari keterpurukan. Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) adalah salah satunya. YPI merupakan organisasi perkumpulan para penyintas aksi terorisme di seluruh Indonesia. Organisasi ini dibentuk dan diurus oleh komunitas penyintas aksi terorisme itu sendiri. YPI menjadi wadah bagi para penyintas untuk menjalin silaturahmi dan berbagi dukungan. Melalui YPI, para penyintas saling mendorong semangat hidup dan menguatkan satu sama lain, agar yang masih terpuruk dapat segera bangkit serta ikhlas terhadap musibah yang telah terjadi.
Sucipto seolah mendapat sebuah pembelajaran hidup, yaitu rasa syukur atas hidup yang dimiliki saat ini.
Di samping itu, berkumpul dengan sesama penyintas dapat membentuk pribadi yang lebih bersyukur. Hal ini seperti yang dialami oleh Sucipto Hari Wibowo, penyintas Bom Kuningan 2004 yang sekaligus menjabat sebagai Ketua YPI. Setelah berkumpul dengan sejumlah penyintas lainnya, Sucipto menyadari bahwa ternyata ada yang menanggung derita lebih berat darinya. Beberapa penyintas justru ada yang tewas atau mengalami cacat seumur hidup akibat serangan bom. Sembari membantu menguatkan penyintas lain, Sucipto seolah mendapat sebuah pembelajaran hidup, yaitu rasa syukur atas hidup yang dimiliki saat ini.
Peran Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dalam membantu para penyintas aksi terorisme tidak kalah penting. AIDA secara aktif melakukan pendampingan kepada para penyintas untuk menjamin pemenuhan hak-hak mereka yang harus ditanggung Negara. Terlebih setelah terbitnya UU No. 5/2018 yang semakin menekankan jaminan pemenuhan hak-hak korban. Salah satu pasalnya bahkan menyebutkan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab Negara. AIDA proaktif untuk mengadvokasi hak-hak penyintas melalui berbagai kegiatannya. Dalam kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD) yang diselenggarakan pada 11 November 2018, AIDA mendorong agar kementerian/lembaga terkait sebagai kepanjangan tangan Negara untuk mengimplementasikan amanat UU tersebut, berupa pemberian bantuan rehabilitasi medis, psikologis dan psikososial, serta kompensasi. Harapannya, pemberian bantuan dari Negara bisa mencakup korban terorisme sepenuhnya.
Selain organisasi, lingkup kelompok yang lebih kecil seperti keluarga dan teman dekat juga dapat berkontribusi dalam mewujudkan lingkungan yang positif bagi para penyintas. Peran mereka sangat dibutuhkan dalam membantu penyintas melampaui kesedihannya. Secara personal, keluarga dan teman dekat adalah orang yang paling sering berinteraksi dengan penyintas. Mereka harus selalu menciptakan suasana yang menyenangkan, agar penyintas dapat segera move on dari pilu yang dideritanya. Mereka juga perlu menjaga sikap di hadapan penyintas. Artinya, jangan sampai melakukan hal-hal yang justru membebani atau mengingatkan kembali penyintas dengan luka lamanya. Penyintas harus sering didukung dan didorong semangatnya.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin senantiasa mengajarkan untuk membantu orang yang sedang mengalami kesusahan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa meringankan dari seorang mukmin salah satu kesusahan hidupnya di dunia, niscaya Allah akan meringankan salah satu kesusahan hidupnya pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan, niscaya Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan, Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Lingkungan positif bagi mantan pelaku
Faktor lingkungan tidak hanya memberikan dampak bagi kehidupan penyintas, melainkan juga para pelaku terorisme. Pasalnya, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap keterlibatan pelaku dalam dunia terorisme. Dari pengakuan para pelaku saat berinteraksi dengan AIDA, pertemanan menjadi salah satu penyebab yang menjerumuskan mereka ke dalam praktik-praktik kekerasan. Berteman dengan orang-orang yang ekstrem dan menganjurkan kekerasan membuat seseorang cenderung mengikuti pola perilaku yang serupa.
Atas dasar itu, lingkungan yang positif dan senantiasa mengajarkan perdamaian akan mampu menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan, termasuk aksi terorisme. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari kisah pertobatan Ali Fauzi Manzi, salah satu mantan anggota kelompok Jemaah Islamiyah (JI). Hal yang paling berpengaruh dalam kisah pertobatan Ali Fauzi adalah ketika dia dipertemukan langsung dengan penyintas aksi terorisme dalam sebuah forum dialog. Kala itu, Ali Fauzi terkejut melihat kondisi penyintas yang mengalami kerusakan hampir di sekujur tubuhnya.

Ketika dipertemukan dengan AIDA, Ali Fauzi semakin sering berinteraksi dengan korban-korban terorisme lainnya. Dengan tegar, para penyintas menceritakan kehidupan mereka pasca terkena ledakan bom. Menariknya, dengan segala penderitaan yang dialami oleh para penyintas, mereka tetap ikhlas memaafkan pelaku. Para penyintas telah menerima musibah tersebut sebagai bagian dari takdir Allah, tanpa menyimpan dendam terhadap pelaku. Pertemuan itu sungguh mengetuk hati nurani Ali Fauzi. Dia mengaku hatinya teriris dan menyesali perbuatannya di masa lalu, setelah melihat semangat perdamaian dan ketangguhan dari penyintas.
Sejak itu Ali Fauzi meyakini bahwa suatu lingkungan yang dipenuhi dengan nilai-nilai perdamaian akan mampu menjauhkan seseorang dari tindak kekerasaan. Atas dasar itulah, Ali Fauzi mendirikan sebuah lembaga bernama Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP). Melalui pendekatan kemanusiaan, YLP membantu mantan pelaku untuk dapat kembali berintegrasi ke dalam masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan mengupayakan akses pekerjaan bagi mantan pelaku. Dengan tersedianya pekerjaan, mantan pelaku bisa fokus dengan kehidupan barunya dan tidak memilih untuk kembali ke jalan kekerasan.
Selanjutnya, YLP juga fokus terhadap kondisi generasi muda yang sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh yang negatif. Dalam proses pencarian jati diri, tidak jarang para generasi muda itu salah dalam bergaul dan terseret ke dalam dunia kekerasan. Untuk itu, YLP senantiasa memberikan pendidikan dan pelatihan yang berisi nilai-nilai perdamaian bagi para generasi muda.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah mengajarkan agar memilih berada di lingkungan yang positif, dikelilingi oleh orang-orang yang mengajarkan kebaikan. “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Wallahu a’lam bil sawab.