Belajar dari Semangat Sudirman Mengejar Mimpi
Aliansi Indonesia Damai – Baru tiga bulan bekerja, kejadian nahas itu terjadi. Ledakan bom yang memporak-porandakan tempat kerjanya membuat Sudirman A. Talib tak hanya harus menjalani operasi berkali-kali. Ia juga kehilangan mata kiri akibat tertancap serpihan bom.
Sungguh perjalanan hidup yang tak mungkin akan pernah terlupakan. Apalagi akibat ledakan bom tersebut Sudirman kehilangan mata kiri dan terpaksa menggunakan bola mata palsu. Dia juga harus mengonsumsi obat yang entah sampai kapan.
Pria kelahiran Bima, 5 Oktober 1982 ini merantau ke Jakarta untuk mengubah hidup keluarganya di kampung. Dia nekat berangkat meski tak memiliki keahlian. Hasilnya, ketika melamar menjadi sekuriti, dia langsung ditolak.
Tidak menyerah, Sudirman bergeser ke Serang. Sambil bekerja dia meningkatkan kemampuan dengan cara mengikuti kursus bahasa Inggris. Harapannya bisa digunakan sebagai bekal melamar kerja di Jakarta seperti cita-citanya ketika berangkat dari kampung.
Harapan Sudirman terwujud. Dia diterima bekerja sebagai tenaga outsourcing sekuriti di sebuah perusahaan dan ditugaskan di Kedutaan Besar Australia. Sayangnya, kebahagiaan yang baru sesaat itu direnggut oleh ulah teroris. Hanya tiga bulan setelah diterima bekerja, tepatnya 9 September 2004, bom meledak menghancurkan semua yang ada di sekitarnya.
”Saya hanya mampu mengucap Allahu Akbar tiga kali sebelum akhirnya terjatuh dan tidak bisa bergerak.”
”Saya hanya mampu mengucap Allahu Akbar tiga kali sebelum akhirnya terjatuh dan tidak bisa bergerak,” tuturnya saat mengikuti kegiatan bedah buku yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Universitas Negeri Jakarta pada April 2018 lalu. Sudirman yang sedang berjaga dan berjarak sekitar 10 meter dari pusat ledakan, terhempas. Dia tak sempat menyelamatkan diri.
Terkapar tak berdaya, Sudirman masih bisa melihat dan mendengarkan teriakan-teriakan orang di sekitarnya. ”Di sekitar saya dipenuhi asap. Orang-orang teriak-teriak ada bom,” ungkapnya.
Dalam ketidakberdayaan karena tubuhnya penuh luka, tangan patah dan mata berdarah, Sudirman mencoba meminta pertolongan. Dia berteriak sekeras yang mampu dilakukannya. Bersyukur, setelah beberapa saat, dia ditolong dan dilarikan ke rumah sakit.
Untuk mengatasi luka-luka maha berat tersebut, Sudirman menjalani operasi puluhan kali. Total dia menjalani perawatan di rumah sakit selama empat bulan.
Setelah keluar dari rumah sakit, Sudirman langsung kembali bekerja di Kedutaan Australia. Belum sembuh benar. Namun, keputusan itu terpaksa diambil demi tanggung jawabnya kepada keluarga di kampung.
Lebih dari itu, bagi Sudirman semua cobaan yang dialaminya tidak boleh melunturkan tekad dan keinginan. Dia justru menjadikannya sebagai penyemangat. ”Tidak boleh menyerah karena menyerah bukan pilihan,” tegasnya.
Ujian yang Belum Usai
Setahun usai kembali bekerja, Sudirman merasa telah bangkit dari keterpurukan. Dia juga merasa ujian hidupnya sudah selesai. Tenyata, setahun pasca kejadian kelam tersebut, dia merasakan sakit yang luar biasa di mata kirinya. Rasa sakit itu disertai pembengkakan dan air mata yang terus mengalir.
Hasil pemeriksaan dokter sungguh mengejutkan. Ada serpihan gotri yang tertinggal di mata! Pilihan satu-satunya bagi Sudirman adalah menjalani operasi pengangkatan serpihan. Jika tidak dilakukan, mata sebelah kanannya berisiko ikut terkena infeksi.

Ternyata bukan hanya operasi pengangkatan serpihan yang harus dijalani Sudirman. Karena serpihan itu terlalu kecil, dokter hanya punya pilihan mengangkat mata kirinya! Sudirman berusaha menerima kenyataan tersebut dengan ikhlas. Bersiap menjalani hidup dengan hanya memiliki satu mata.
Pascaoperasi, untuk menyamarkan kondisi matanya, Sudirman mengenakan bola mata palsu yang terbuat dari plastik. Namun yang terjadi kemudian tak seperti yang dibayangkan, bola mata palsu tersebut sering jatuh ketika dia berjalan.
Sudirman pun kembali ke dokter. Hasil pemeriksaan sungguh mengejutkan. Dia divonis mengalami trauma otak. Untuk mengatasinya, sungguh berat. Dia harus meminum beberapa macam obat hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
Pernah suatu hari Sudirman nekat berhenti meminum obat. Akibatnya, dia merasakan sakit kepala yang luar biasa hingga pingsan. Sejak itu dia memilih untuk menaati nasihat dokter, yaitu rutin mengonsumsi obat. Seiring waktu, secara perlahan ia berdamai dengan kondisi tubuhnya, menjalani hidup dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.
Rasa ikhlas dan syukur tersebut senantiasa ia tanamkan di jiwa agar terus bersemangat dalam berusaha memenuhi tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, serta mewujudkan cita-citanya sejak masih di kampung, yaitu berkuliah. Delapan tahun pascaterkena ledakan bom, Sudirman mendaftar kuliah di sebuah universitas swasta di Jakarta. Ia mengambil kelas khusus karyawan agar perkuliahannya tidak mengganggu kewajibannya mencari nafkah. Lima tahun setelahnya, dia menyandang gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris. Sudirman memiliki tekad kuat bahwa menjadi korban aksi terorisme tidak boleh menjadi penghalang atas keberlangsungan mimpi dan cita-cita. Demi mewujudkan cita-cita, ia memutuskan untuk mengisi hari-harinya dengan kegiatan positif. Salah satunya adalah dengan turut aktif bersama AIDA menyuarakan perdamaian kepada masyarakat. Menurutnya, setiap manusia memiliki tanggung jawab dan mimpi yang harus selalu diperjuangkan. “Perdamaian bukan hanya menjadi tanggung jawab pelaku, korban atau pun individu, melainkan tanggung jawab kita bersama,” pungkasnya. [WR]
2 Comments