Alasan di Balik Sebuah Pemberian Maaf
Oleh: Faruq Arjuna Hendroy, Alumnus Hubungan Internasional UIN Jakarta
Dalam hubungan interaksi antar sesama, manusia memang tidak bisa lepas dari perselisihan. Terkadang seseorang melakukan kesalahan yang dapat merugikan orang lain, sehingga timbul rasa sedih, marah, bahkan dendam. Berbagai rasa tersebut bisa saja bertahan sangat lama. Sebab, memaafkan kesalahan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Meskipun demikian, beberapa orang justru mau secara tulus memberikan maaf kepada orang yang telah menyakiti mereka. Sekalipun luka yang mereka derita tergolong sangat berat.
Hal inilah yang ditunjukkan oleh beberapa penyintas aksi terorisme. Setelah melalui proses yang panjang, mereka memilih memaafkan pelaku terorisme. Para penyintas tersebut memberikan maaf secara sadar, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Menerima musibah itu sebagai bagian dari takdir yang penuh dengan hikmah dan pembelajaran.
Ini bukan sekadar tataran mimpi ideal sebuah sikap mulia. Aliansi Indonesia Damai (AIDA) telah bertemu dengan para penyintas yang sudah sampai pada tahap pemaafan itu. Ni Luh Erniati adalah salah satu contohnya. Wanita yang disapa Erni ini kehilangan suami dalam peristiwa Bom Bali 2002. Sejak peristiwa itu, dia harus membesarkan kedua anaknya yang masih belia seorang diri. Namun hal itu tidak membuat Erni menyimpan dendam. Justru sebaliknya, telah memaafkan perbuatan pelaku.
Penyintas lain, Sudirman A. Thalib, juga melakukan hal serupa. Pria yang kerap disapa Dirman ini menjadi korban langsung peristiwa bom Kedutaan Besar Australia di Kuningan, pada tahun 2004 silam. Ledakan bom telah menghancurkan salah satu mata serta merusak sistem saraf di tubuhnya, sehingga ia harus rutin mengonsumsi obat-obatan sampai sekarang. Dengan semua derita itu, ’ajaibnya’ Pak Dirman masih mau memaafkan pelaku secara tulus.
Kedua penyintas di atas bahkan melakukan hal yang lebih dari sekadar memaafkan. Mereka dengan senang hati bersilaturahmi ke rumah mantan pelaku dan bertemu keluarganya. Silaturahmi itu dilakukan tanpa ada beban sedikitpun, seolah peristiwa bom itu tidak pernah ada. Hubungan mereka bukan seperti musuh, melainkan layaknya sahabat karib.
Baca juga Belajar dari Semangat Sudirman Mengejar Mimpi
Sepintas, semua fakta tersebut terasa sulit diterima oleh logika. Akan tetapi, pemberian maaf dan rekonsiliasi itu benar-benar terjadi.
Lalu mengapa ada orang yang mau memaafkan, sekalipun luka yang diderita sangat menyakitkan? Beberapa pakar menjelaskan bahwa memaafkan dapat memberikan sejumlah manfaat bagi si pemberi. Manfaat inilah yang agaknya menjadi motivasi bagi pemberi maaf untuk memaafkan kesalahan pelaku.
Menurut Lewis B. Smedes (1984), memaafkan merupakan upaya untuk mengimbangi perasaan negatif – yang disebabkan oleh luka yang diderita – dengan perasaan positif yang menggembirakan. Perasaan negatif itu memang sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Akan tetapi, jika perasaan negatif itu bisa berkoeksistensi dengan perasaan positif, maka suatu keseimbangan perasaan akan tercipta. Dari situ, seseorang akan kembali menemukan perasaan yang netral. Hal tersebut akan berdampak baik bagi kondisi fisik dan mental karena perasaan negatif telah dapat dikendalikan.
Sementara Michael McCullough (1997) menyatakan bahwa memaafkan adalah terapi untuk menghilangkan kumpulan kebencian yang bersemayam di dalam diri. Dengan memaafkan, seseorang akan terbebas dari keinginan untuk membalas dendam. Padahal balas dendam akan menyeret manusia ke dalam siklus pertikaian tanpa henti. Memaafkan dapat menjadi langkah awal bagi seseorang untuk dapat keluar dari siklus itu dan memulai rekonsiliasi agar tercipta suasana yang damai antara pihak yang bertikai.
Sedangkan Jeanne S. Zechmeister dan Romero (2002) menegaskan bahwa memaafkan adalah cerminan tingginya standar moral yang dimiliki oleh seseorang. Memaafkan adalah upaya seseorang untuk memenuhi peran sosial dalam hubungan bermasyarakat. Siapapun yang bersedia memaafkan akan mendapat status yang terhormat dan layak diapresiasi. Pemberi maaf dianggap sebagai pribadi yang kuat karena memilih untuk tidak membalas kekerasan yang ditujukan kepadanya.
Terbukti para penyintas aksi terorisme benar-benar merasakan sejumlah manfaat di atas. Setelah memutuskan untuk memaafkan kesalahan perilaku, perasaan para penyintas menjadi lebih lega. Gerak tubuh mereka menjadi lebih ringan. Pikiran mereka pun menjadi lebih positif. Mereka pun mendapat predikat sebagai pribadi yang tangguh.

Sejalan pernyataan para pakar di atas, Islam juga menganjurkan penganutnya agar selalu mengedepankan pemberian maaf. Setiap muslim yang lebih memilih memaafkan daripada membalas akan diberi ganjaran pahala yang besar. Pemberi maaf masuk ke dalam kategori orang-orang yang ditinggikan derajatnya di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
”Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Q.S Ali Imron: 133-134)”
Meskipun demikian, pemberian maaf akan sulit terjadi jika tidak ada itikad baik dari pelaku untuk meminta maaf. Karena itulah, pelaku harus menunjukkan perasaan bersalah dan ketulusan meminta maaf terlebih dahulu. Dari situ akan lahir rasa empati yang mendorong si pemberi maaf untuk memaafkan. Tentu setelah ia memahami betapa tertekannya pelaku akibat menyesali kesalahannya di masa lalu. Dengan demikian pemberian maaf tidak bisa berdiri sendiri. Pemberi maaf maupun yang dimaafkan memiliki peran yang saling melengkapi. Hal ini telah dicontohkan oleh permaafan dan rekonsiliasi di antara korban dan mantan pelaku terorisme di berbagai perjumpaan dan kegiatan AIDA. [FAH]
Baca juga Lika-liku dan Titik Balik Mantan Pelaku Terorisme Menuju Pertobatan
1 Comment