Mahfud MD Ajak Tokoh Agama Jaga Kedamaian
Aliansi Indonesia Damai- Di tengah kondisi makin mengentalnya polarisasi masyarakat, ditambah maraknya kabar bohong dan ujaran kebencian yang berpotensi mengarah pada tindakan kekerasan, penggagas Gerakan Suluh Kebangsaan, Mahfud MD, mengajak tokoh agama untuk mengedepankan perdamaian. Ia juga menekankan agar umat muslim menerima perbedaan sebagai esensi ajaran Islam.
Pada acara Halaqah Alim Ulama bertema “Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan Ibroh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesai Damai (AIDA) bekerja sama dengan Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan di Surakarta Sabtu (31/8) lalu, Mahfud menegaskan bahwa dampak terorisme sangat berbahaya, terutama bagi keutuhan bangsa.
“Terorisme itu sangat berbahaya. Karena sudah adanya korban dan pelaku. Bahkan tidak ada orang yang bahagia karenanya.”
Mahfud menjelaskan, kejahatan terorisme menghancurkan kehidupan, baik pelaku sendiri maupun orang lain. Sifatnya sangat destruktif dan menebarkan ketakutan, juga menyisakan berbagai persoalan kepada korbannya, baik korban langsung maupun tak langsung. Akibat aksi teror, banyak orang tak bersalah menjadi korban. “Terorisme itu sangat berbahaya. Karena sudah adanya korban dan pelaku. Bahkan tidak ada orang yang bahagia karenanya,” kata dia.
Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu lebih lanjut menjabarkan bahwa kejahatan semacam terorisme berawal dari paham dan ideologi kekerasan. Hubungannya sering berkelindan dengan agenda kelompok-kelompok yang kecewa dari negara atau pemerintahan yang ada. Kelompok-kelompok tersebut kemudian memperjuangkan perubahan negara agar menjadi berdasarkan agama tertentu, seperti misalnya, khilafah.
Namun demikian, khilafah sendiri menurut Mahfud adalah fitrah manusia, dan termasuk perkara muamalah (hubungan sosial), tidak termasuk ibadah mahdhah (murni terkait akidah). Istilah khilafah, menurut Mahfud, tak ubahnya konsep kepemimpinan biasa yang umum dibentuk sekelompok manusia ketika berorganisasi.

“Dahulu, pada zaman Nabi, kepemimpinan itu otoritasnya hanya dimiliki oleh Nabi. Kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, semua dipegang Nabi. Nabi yang membuat hukum, Nabi yang membuat undang-undang, Nabi yang melaksanakan. Semua urusan diatur oleh Nabi,” kata dia.
Selepas masa Nabi, Mahfud menambahkan, umat muslim berijtihad untuk menentukan pemimpin. Pemerintahan Abu Bakar, menurutnya, sudah sangat berbeda dengan masa kepemimpinan Rasulullah. Demikian pula para pemimpin umat Islam pengganti mereka, baik era khulafaur rasyidin maupun Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Usmaniyah, atau yang lainnya.
Ia juga mengingatkan bahwa khilafah, keamiran, kesultanan, kerajaan, atau republik semua bermakna sama yang bisa berlaku di berbagai negara muslim. Kepemimpinan itu esensi, bukan sebagai sistem khusus yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw. “Oleh karena khilafah merupakan wilayah mu’amalah, maka itu merupakan wilayah ijtihad. Dengan kata lain, ia mengisyaratkan adanya perbedaan bentuk antara satu dengan lainnya,” terang Mahfud, sebagai keynote speaker dalam acara itu.
Dalam konteks Indonesia, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, para ulama telah berijtihad bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan agama atau sekularisme. “Karena ideologi Indonesia Pancasila, maka ia kadang disebut sebagai darus salam (perdamaian) menurut kalangan Nahdlatul Ulama, atau sebagai darul ‘ahd wa al-syahadah (negara konsensus) bagi Muhammadiyah,” ungkap Mahfud.
Baca juga Keluarga Berperan Penting dalam Menjaga Kedamaian
Dari itu, Mahfud mengajak kepada ulama dan tokoh agama yang hadir dalam kegiatan agar tidak mudah terprovokasi oleh kabar bohong dan segala hal yang berpotensi pada kekerasan. Ia mengingatkan, aksi terorisme bisa berangkat dari pengentalan ideologi, dan kejahatan itu bercorak teologi kematian.
Sebelumnya, sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, menyampaikan pengantar bahwa Allah menghendaki perbedaan dalam kehidupan manusia. Menurutnya, Allah menciptakan perbedaan agar manusia saling mengenal (li taarafu). Makna li taarafu menurutnya tidak hanya sebatas saling mengenal, tetapi juga bekerja sama, tolong menolong, serta berinteraksi dalam rangka memakmurkan bumi.
Dalam Halaqah Alim Ulama: Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan Ibroh, dihadirkan korban dan mantan pelaku terorisme sebagai narasumber. Josuwa Ramos (korban Bom Kuningan 2004) dan Kurnia Widodo (mantan pelaku ekstremisme) berbagi kisah kepada para peserta tentang pengalaman hidup mereka. Kurnia selaku pihak yang pernah tergabung dengan kelompok teroris meminta maaf kepada Josuwa. Sebagai penyintas terorisme, Josuwa berbesar hati dan memaafkan Kurnia, meskipun itu tidak mudah. Kini, keduanya merajut persahabatan dan saling bekerja sama untuk menyebarkan semangat perdamaian kepada masyarakat. [FS]