Ketika Korban dan Pelaku Berpelukan
Pernahkah Anda membayangkan korban dan mantan pelaku aksi terorisme saling bertemu, bahkan berpelukan erat? Mungkin sebagian dari kita mengatakan itu mustahil. Tapi, begitulah yang terjadi.
Aliansi Indonesia Damai – Pertengahan Agustus lalu di Pejaten, Jakarta Selatan, waktu menunjukkan pukul 17.15 saat seorang pria berkaca mata mengucap salam di depan pintu. Sekelompok orang yang tengah duduk di ruangan langsung menyahut, sebagian bahkan berdiri untuk menyambut. Yang datang adalah Sucipto Hari Wibowo. Di antara orang yang berdiri menyambutnya adalah Choirul Ihwan. Begitu berhadapan, mereka berdua langsung bersalaman, berpelukan, dan cium pipi kanan dan kiri, atau biasa disingkat orang menjadi cipika-cipiki. Mereka lantas saling menanyakan kabar.
Pertemuan dua pria ini terlihat layaknya dua orang sahabat yang lama tak bertemu, hangat dan begitu tulus. Sucipto dan Choirul lantas duduk di sofa, melanjutkan perbincangan yang terlihat makin hangat, dari membahas hal remeh-temeh hingga isu-isu terorisme. Di antara perbincangan, tak jarang tawa mereka terdengar lepas. Apalagi ketika mereka saling mengolok layaknya sahabat lama.
Kebanyakan orang tentu tidak menyangka bila Sucipto dan Choirul memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Sebelum momen canda tawa pada sore itu terjadi, keduanya bisa dibilang berada pada posisi berlawanan. Sucipto adalah korban aksi teror bom di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004. Lain halnya dengan Choirul, pemuda ini justru mantan anggota kelompok teroris bernama Jamaah Taliban Melayu (JTM).
Kerusakan Saraf
Ketika bom meledak, Sucipto tengah mengendarai motor melintasi Jl. HR Rasuna Said Kuningan, tepatnya di jalur lambat di seberang Kedutaan Besar Australia. Meski ia dan titik bom berjarak lebih dari 20 meter, namun kekuatan ledakan membuatnya terjatuh. Kep.alanya terasa begitu sakit dan badannya lemas. Pandangannya pun terbatas, tertutupi asap putih yang ditimbulkan oleh ledakan. Ketika asap putih mulai terurai, dia melihat sekelilingnya begitu mengerikan.
Suasana di kawasan Kuningan saat itu begitu kacau, tak teratur. Kaca di gedung-gedung di kawasan Kuningan hancur. Berbagai kendaraan, termasuk motornya, ringsek. Bus kota di belakangnya tampak rusak, kacanya pecah semua. Tak jauh dari bus, banyak orang bergelimpangan dengan luka menganga dan darah yang mengalir. Selang beberapa waktu kemudian banyak orang berhamburan keluar dari gedung menyaksikan kengerian kondisi jalan raya HR Rasuna Said.
Baca juga Kisah Penyintas, Menolak Menyerah dari Musibah
Bersyukur, Sucipto bisa bangkit dan menyalakan motornya. Teringat tugasnya dari kantor, ia melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan dokumen. Sekembalinya ke kantor ia melaporkan kejadian yang menimpa kepada atasannya. Ia juga meminta izin untuk beristirahat sejenak lantaran ia rasakan badannya tak bisa lagi diajak kompromi.
Kepalanya begitu nyeri. Sempat beristirahat sekira satu jam, ia rasakan kondisinya tak memungkinkan untuk melanjutkan pekerjaan di kantor. Dia lantas diantar pulang oleh seorang temannya. Sakit di kepalanya tak kunjung reda. Semalaman dia dikompres oleh ibunya. ”Paginya, telinga saya terasa seperti berisi air,” ungkap Sucipto.
Tanpa menunggu lebih lama, Sucipto diantar ke dokter. Hasilnya, gendang telinga pria asal Mojokerto, Jawa Timur ini mengalami pembengkakan dan terdapat kerusakan jaringan saraf. Dia pun harus menjalani perawatan di rumah sakit selama seminggu dan rawat jalan selama setahun. Namun, itu bukan berarti Sucipto bisa sembuh total. Hingga lebih dari 12 tahun setelah peristiwa Bom Kuningan, dia masih sering mengalami sakit kepala yang begitu hebat. Bahkan, dia pernah sampai menghentikan mobil yang dikendarainya secara tiba-tiba di tengah jalan ketika sakit di kepalanya menyerang.
Keluar-masuk Hutan
Pengalaman hidup Choirul tampak berkebalikan dari kisah Sucipto. Ia justru pernah berada dalam satu barisan dengan kelompok yang menyebabkan Sucipto menderita.
Selama bergabung dengan JTM, Choirul pernah merencanakan dan melakukan aksi-aksi teror, salah satunya merakit senjata api. Selain itu, ia meyakini doktrin yang ditekankan dalam kelompoknya, yaitu bahwa setiap orang yang tak sepaham dengan ajaran mereka adalah kafir. Mereka tak pandang bulu. Selama tak sejalan dengan keyakinan agama mereka, meskipun salatnya rajin, amal salehnya banyak, orang-orang seperti itu tetap dianggap di luar Islam.
Pada titik yang paling ekstrem, Choirul menjatuhkan vonis kafir kepada saudara-saudara kandungnya sendiri. Alasannya, mereka mengikuti pemilu. Baginya, pemilu adalah bagian dari sistem demokrasi, dan menurutnya, demokrasi adalah kesyirikan.
Baca juga “Kasih Sayang Orang Tua Mengalahkan Itu Semua”
Pemuda kelahiran Madiun, Jawa Timur itu lantas pergi dari rumah untuk bergelut di dunia kekerasan, dengan keyakinan berjihad di jalan Allah. Anak, istri dan keluarga besarnya ia tinggalkan. Hidupnya sempat berpindah-pindah, termasuk ke Mamuju, Sulawesi Barat untuk bergabung dengan kelompok ekstrem. Ia dan kelompoknya hidup di hutan dan pegunungan untuk memperjuangkan keyakinannya.
Suatu ketika, tiga hari berturut-turut Choirul mimpi bertemu ibu. Rasa rindu yang begitu dalam membuatnya keluar hutan untuk mencoba mengontak keluarganya di Madiun. Saat ia menelepon, bukan ibu yang menerima melainkan kakaknya. Informasi yang disampaikan kakak membuatnya terpukul, ibundanya telah meninggal dunia beberapa jam sebelum ia menelepon.
Choirul lantas berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari kejaran pihak berwajib. Sambil berpindah-pindah dia masih menerima pesanan pembuatan senjata api. Namun, akhirnya ia pun tertangkap. Saat ia berada di Bekasi, Jawa Barat diketahui aparat. Ia ditangkap dengan tuduhan pelanggaran Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Setelah menjalani persidangan, ia divonis hukuman empat tahun penjara. Hidup di balik terali besi membuat Choirul merenungi perjalanan hidupnya. Secara bertahap ia mencoba untuk mengkritisi pemahamannya tentang jihad dengan mencari berbagai referensi. Dia sampai pada satu titik pemahaman bahwa keyakinannya tentang ajaran agama selama ini salah.
Batin Choirul makin tergugah setelah dipertemukan dengan korban terorisme dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Ia mengaku sungguh tak mengira korban yang dipertemukan dengannya ternyata berjiwa besar, mau dan mampu memaafkan mantan anggota kelompok teroris seperti dirinya. Padahal, kejahatan yang dilakukan para teroris telah membuatnya cacat seumur hidup.
Sikap korban yang mampu memaafkan sungguh membuat nurani Choirul tersentuh. Membuatnya menyadari bahwa tindakannya selama ini telah melukai, bahkan membuat korban-korban terluka, bahkan terenggut nyawanya. ”Bagaimana mungkin orang yang menderita begitu besar dengan mudahnya memaafkan kami? Saya merasa begitu kerdil di hadapan orang yang besar,” tutur Choirul.
Saat itu juga, dengan air mata meleleh, Choirul meminta maaf kepada korban. Dia juga mantap meninggalkan dunia kekerasan dan memilih bergabung dalam kegiatan untuk mengampanyekan perdamaian. Choirul telah meminta maaf, sedang Sucipto telah memaafkan. Menurut Sucipto, menyimpan dendam hanya akan membuat hidup tidak tenang, dipenuhi kemarahan.
Sucipto dan Choirul telah melampaui kegetiran masa lalu masing-masing. Mereka kini bertekad untuk bekerja sama dalam mengampanyekan perdamaian. Pertemuan keduanya di Pejaten sore itu juga bagian dari misi kampanye perdamaian. Mereka terlibat dalam sebuah kegiatan AIDA untuk mengajak generasi muda agar memiliki ketangguhan yang mantap dalam menghadapi berbagai tantangan. [HP]