Tiga Kisah Kebangkitan Penyintas
Tiga tokoh di bawah ini mengalami dampak dan trauma berbeda-beda akibat aksi terorisme. Namun, mereka memiliki satu kesamaan, yaitu bangkit dari keterpurukan.
Aliansi Indonesia Damai – Sucipto adalah korban teror bom di Kedutaan Besar Australia Kuningan, Jakarta pada 9 September 2004. Ketika bom meledak dia tengah mengendarai motor melintasi Jl. HR Rasuna Said. Tepatnya, di seberang Kedutaan, di jalur lambat. Meski jaraknya cukup jauh, namun dahsyatnya ledakan membuatnya terjatuh.
Kepala Sucipto terasa begitu sakit dan badannya terasa lemas. Pandangannya pun terbatas, tertutupi asap putih yang ditimbulkan ledakan. Ketika asap putih mulai menipis, dia melihat sekelilingnya begitu mengerikan. Kaca bus kota di belakangnya hancur. Tak jauh dari bus banyak orang bergelimpangan dengan luka dan darah yang mengalir.
Bersyukur, Sucipto bisa bangkit dan menyalakan motornya. Melanjutkan tugas hingga selesai dan kembali ke kantor.
Saat berada di kantor itulah Sucipto merasakan badannya tak bisa lagi diajak kompromi. Kepalanya begitu nyeri. Sempat beristirahat, dia lantas diantar pulang oleh seorang temannya.
Baca juga Mendalami Makna Perdamaian
Sakit di kepala Sucipto tak kunjung reda. Semalaman dia dikompres ibunya. ”Paginya, telinga saya terasa seperti berisi air,” ungkapnya.
Sucipto kemudian dilarikan ke dokter. Ternyata gendang telinganya mengalami pembengkakan dan jaringan sarafnya rusak. Terpaksa dia harus menjalani perawatan di rumah sakit selama seminggu dan rawat jalan selama setahun.
Namun, itu bukan berarti Sucipto bisa sembuh total. Hingga lebih dari 12 tahun peristiwa ledakan bom itu, dia masih sering mengalami sakit kepala yang begitu hebat. Bahkan, dia pernah sampai menghentikan mobil yang dikendarainya di tengah jalan ketika serangan sakit kepala itu datang.
Meski penderitaan yang dialaminya akibat bom tak juga sirna, Sucipto tak menyerah begitu saja. Kesadarannya terhadap tanggung jawab kepada keluarga membuatnya ingin terus hidup dan menghadapi kenyataan. Apalagi sejak menjadi Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), dia bertekad untuk menjadi lebih kuat agar bisa mendampingi para penyintas yang kondisinya jauh lebih berat darinya.
Terlebih setelah bertemu mantan pelaku yang telah menyadari kesalahan dan meminta maaf secara langsung -dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA)- Sucipto mengaku menjadi semakin kuat. Tak hanya memaafkan pelaku -meskipun itu tidak mudah baginya sebagai penyintas- ia pun mendukung bila orang-orang yang telah bertobat dari jerat terorisme bisa menyadarkan masyarakat agar menjauhi paham kekerasan tersebut.
Dukungan Keluarga dan Sesama Korban
Salah seorang korban yang selamat dari teror bom dan penembakan di Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016, Dwi Siti Rhomdoni, merasakan pengalaman yang serupa dengan Sucipto. Perempuan yang akrab disapa Dwiki ini saat kejadian sedang meeting dengan klien dari luar daerah di sebuah kedai kopi. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja setelah ditugaskan pada divisi baru.
Baca juga Ketika Korban dan Pelaku Berpelukan
Waktu menunjukkan pukul 10:05 WIB, saat Dwiki berbincang-bincang dengan klien. Tanpa disangka sebuah bom meledak sekitar dua meter di belakangnya. Seketika dia terpental hingga kepalanya membentur meja. Kedai kopi itu menjadi porak poranda. Ledakan itu membuat pelanggan kedai kopi panik, semua sibuk menyelamatkan diri.
Di tengah kekacauan, Dwiki sekuat tenaga berusaha bangun. Namun, karena merasa pusing dia terjatuh. Dia mencoba duduk dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Beberapa saat kemudian, Dwiki merangkak mengikuti orang-orang di tempat itu ke arah samping kedai untuk keluar. Dalam keadaan mencekam di mana para teroris dan aparat keamanan baku tembak, orang-orang melompat keluar dengan panik dan berhamburan hingga beberapa orang tertindih. Begitu halnya dengan Dwiki, tertindih dan pingsan.
Saat tergeletak lemah itulah ia diselamatkan oleh seorang temannya. Dia dilarikan ke rumah sakit menggunakan taksi.
Dokter menyatakan Dwiki mengalami cedera pada tulang leher. Dia dirawat selama kurang lebih tiga minggu, dan kemudian dilanjutkan rawat jalan, tiga kali sebulan kontrol untuk menjalani check-up saraf, ortopedi, dan psikologi.
Awal 2017 Dwiki mulai kembali bekerja. Tentu bukan hal yang mudah baginya untuk mengerjakan tugas-tugas pekerjaan dengan cedera saraf dan trauma yang terkadang masih muncul. “Namun, berkat semangat dari keluarga membuat saya kuat dan bagkit,” akunya.
Baca juga Pengalaman Mendampingi Korban Terorisme
Terlebih setelah bergabung dengan YPI dan bertemu sesama penyintas yang kondisinya lebih parah, membuat Dwiki makin kuat. “Saya bertemu teman-teman yang mengalami luka bakar hingga 80 persen, bola matanya lepas, dan lain-lain. Mereka mampu bangkit. Melihat semangat teman-teman itu membuat saya membuang rasa sakit, dan bangkit,” tuturnya.
Tidak Mati Sebelum Benar-benar Mati
Peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 menyebabkan 202 orang meninggal dan 209 lainnya luka-luka. Salah satu korban meninggal adalah suami Ni Luh Erniati, Gede Badrawan. Ketika ledakan terjadi, dia tengah bekerja di Sari Club. “Saat itu dua anak saya baru berumur sembilan tahun dan satu setengah tahun,” kata Erni.
Perempuan berkacamata itu terpaksa merahasiakan peristiwa Bom Bali yang menewaskan sang suami dari dua putranya hingga beberapa tahun. Alasannya, ia tak ingin tumbuh kembang anak-anaknya terganggu.
Pada malam nahas itu, Erni mendengar suara ledakan besar. ”Tak ada terlintas sedikit pun bahwa itu adalah bom. Saya kira itu gardu yang meledak di tengah jalan,” ungkapnya.
Seperti biasa perempuan berkulit sawo matang itu tetap menanti sang suami pulang pada dini hari. Tepat pada pukul 04.00 ia dapati sang suami tak kunjung pulang.
Pagi harinya, para tetangga menyebut ada sebuah ledakan bom terjadi di Jl. Legian, sekitar 1 km dari Pantai Kuta. Tetangganya pun bertanya kabar Gede Badrawan yang tengah bekerja di daerah tersebut. Erni sempat gusar setelah kabar ledakan semakin ramai dan suami tak kunjung tiba di rumah. Perasaannya tidak tenang. Dia pun memutuskan pergi ke Legian, tempat suaminya bekerja.
Baca juga Lingkungan Positif Bagi Korban Dan Mantan Pelaku
Ternyata, di sana dia mendapatkan hamparan mayat yang berserakan di pinggir jalan. Seketika tangisnya pun pecah. Erni menerobos ke tengah kerumunan massa, mencari suami tercinta, tapi tidak menemukan hasil.
“Saya lihat Sari Club itu sudah nggak ada. Yang ada hanya puing-puing kebakaran. Saya melihat orang mengangkat potongan tubuh korban,” kata dia.
Meski dicari hingga ke rumah sakit, Erni tak juga menemukan suaminya. Baru empat bulan kemudian dia mendapat kabar kepastian dari rumah sakit. “Mengakhiri penantian saya, suami telah berhasil diidentifikasi,” tuturnya.
Namun itu tak membuat penderitaannya berakhir. Dia harus merangkap tugas sebagai ibu sekaligus pengganti ayah bagi kedua anaknya yang masih kecil.
Dalam keterpurukan itu Erni mendapat dukungan dari seorang teman yang membuatnya bertekad untuk bangkit. “Kamu jangan pernah mati sebelum benar-benar mati,” ujarnya menirukan nasihat temannya.
“Kalimat ini saya ucapkan berulang-ulang untuk menguatkan diri saya sendiri. Saya nggak boleh mati. Anak-anak masih membutuhkan saya. Dari situ saya berjanji membuktikan bahwa saya mampu menghidupi anak-anak tanpa ada suami. Saya akan memberikan pendidikan di atas pendidikan kami seperti yang saya cita-citakan bersama suami,” tuturnya.
Erni kemudian memulai usaha dengan cara belajar menjahit bersama-sama para janda korban Bom Bali. “Ada yang memfasilitasi mesin dan kain. Saya belajar dari nol,” katanya. Perlahan, ia belajar dan menjalankan usaha menjahit hingga kini.
Kebangkitan Erni semakin kukuh dengan terbangunnya sikap ketegaran dalam dirinya. Dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan AIDA, ia pernah dipertemukan dengan pelaku Bom Bali. Puncak ketegarannya terjadi ketika ia mampu memberikan maaf kepada pelaku yang sebelumnya telah memohon maaf kepadanya. Harapannya, dengan kasih sayang dan memaafkan akan menumbuhkan seribu cinta dari hilangnya satu cintanya di peristiwa Bom Bali, yakni suami tercintanya.”Yang dulu kita saling membenci, tapi dengan kasih sayang kita bisa menjadi saudara, itu harapan yang bisa saya miliki. Berharap inspirasi para korban akan menumbuhkan mungkin seribu cinta,” Erni menandaskan. [HP]
Baca juga Sabar sebagai Jalan Perdamaian
2 Comments