Home Suara Korban Jadi Korban Terorisme, Nanda Olivia Berdamai dengan Diri Sendiri
Suara Korban - 04/12/2019

Jadi Korban Terorisme, Nanda Olivia Berdamai dengan Diri Sendiri

Aliansi Indonesia Damai – Mereka yang pernah terdampak bom aksi terorisme sesungguhnya tak pernah mengira akan menjadi korban dari sebuah ledakan. Sebagian korban tak tahu apa-apa dan tak punya persoalan pribadi dengan pelakunya. Boleh jadi mereka sekadar lewat di lokasi kejadian atau kebetulan tengah menaiki transportasi umum. Namun akibat dari ledakan bom, tak sedikit dari korbannya mengalami luka serius, kehilangan anggota tubuh, bahkan harus menjalani pengobatan bertahun-tahun lamanya.

Derita yang lebih berat tentu saja dirasakan keluarga korban yang kehilangan nyawa. Apalagi jika korban adalah tulang punggung keluarga. Bayangkan, sejumlah korban tak langsung harus membesarkan anak-anaknya seorang diri, mencari nafkah untuk kehidupan sendiri, hingga menjadi ibu sekaligus bapak bagi anak-anaknya.

Meskipun demikian, tak sedikit pula penyintas yang bangkit dari keterpurukan dan memilih menjalani hidup dengan rasa optimisme. Salah satu kuncinya adalah berdamai dengan diri sendiri dan menerima seluruh kejadiaan sebagai takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Baca juga Sarbini Tak Menyerah dari Musibah

Cara ini dipraktikkan oleh salah seorang penyintas Bom Kuningan 2004, Nanda Olivia. Meski peristiwa kelam itu terjadi satu setengah dekade lalu, bagi dia seolah baru terjadi kemarin. Perempuan berhijab inipun masih teringat jelas bagaimana ledakan itu memporak-porandakan lokasi di sekitar gedung Kedutaan Besar Australia, Kuningan Jakarta Selatan.

Gendang Telinga Robek

Pada 9 September 2004, pagi menjelang siang sekitar pukul 10.00 WIB, Nanda Olivia tidak merasakan firasat buruk sama sekali. Waktu itu ia berstatus sebagai mahasiswa sekaligus seorang ibu.

Ketika itu, Nanda berangkat menuju kampus dengan menggunakan transportasi umum (bus kopaja) untuk menyelesaikan tugas akhir. Ketika bus yang dia tumpangi berada di sekitar Kedubes Australia, tiba-tiba guncangan besar terjadi setelah sebuah mobil box yang melintas tiba-tiba meledak.

Baca juga Ketabahan Ramdhani Di Balik Musibah Bom Kuningan

“Saya di dalam bus kopaja. Mobil itu hampir mendekati halte, saya bersiap-siap turun. Lalu tiba-tiba bom itu meledak, padahal jarak antara bus dan lokasi ledakan sekitar 300 meter,” ungkap Nanda.

Meski berada dalam posisi yang tidak begitu dekat, sekitar 300 meter dari pusat ledakan, tetapi para penumpang bus merasakan dampaknya. Kabut asap mengudara, hawa panas menyebar dan suara bising menelusup memasuki gendang telinga. Serpihan benda beterbangan dan sebagian menembus bodi bus.

”Saya tidak begitu ingat. Saya hanya mendengar suara mendesing yang membuat telinga sakit. Saya juga kehilangan tulang di ibu jari dan gendang telinga sobek karena pengaruh suara mendesing. Ada luka sobek di bahu,” papar Nanda.

Sesaat setelah peristiwa, Nanda pergi ke rumah sakit. Bukan hanya memikirkan kondisi luka di tubuhnya, dia resah dan khawatir terhadap masa depan anak-anaknya. Dia pun berdoa, berharap luka yang dideritanya tak sampai membuat nyawanya melayang.

Baca juga Kisah Penyintas Mengikis Kebencian

”Saya sangat khawatir. Saya khawatir anak saya akan menjadi yatim.” Nanda bercerita dengan suara parau menahan isak tangis.

Selama dirawat di rumah sakit, Nanda berusaha terlihat tegar di depan ibunya. ”Saya berangkat ke rumah sakit sendiri. Sampai di rumah sakit saya tidak pernah mengetahui kenapa harus menjadi korban. Saya dirawat di rumah sakit selama sebulan. Ibu sering terlihat sedih jika melihat kondisi saya. Saya tidak ingin memperlihatkan kesedihan kepada ibu,” kisah Nanda sambil terisak-isak.

Sebulan setelah pengobatan, kondisi Nanda belum juga mengalami perubahan yang berarti. Dia kemudian diterbangkan ke Australia untuk mendapatkan pengobatan intensif. Utamanya untuk mendapatkan tindakan lanjut penyembuhan tangan. ”Di sana saya mendapatkan terapi, dan trauma healing. Setiap hari berobat, terapi, pulang begitu tiap hari untuk melakukan pemulihan,” ungkapnya.

Pada saat menjalani pengobatan, Nanda mendapatkan kunjungan dan dukungan dari teman-teman dan keluarganya. Sehingga secara perlahan membuatnya bangkit dari rasa sedih dan sakit, serta dari musibah yang dialaminya. ”Karena mereka saya mendapatkan energi positif untuk bangkit,” tuturnya.

Nanda Olivia berbagi kisah dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 7 Surakarta.

Memaafkan Pelaku

Terhitung setelah sepuluh tahun, yakni sejak 2004 sampai 2015, Nanda merasa bahwa dirinya telah baik-baik saja. Namun peristiwa bersejarah dalam kehidupannya terjadi. Tanpa disangka, dia bertemu mantan pelaku terorisme.

Nanda mengaku marah. Namun berkat kebesaran hatinya, dia lebih memilih memaafkan setelah pelaku meminta maaf dan berkeinginan tulus untuk bertobat dari jalan kekerasan. ”Saya tidak ada masalah lagi dengan kondisi fisik dan psikis saya. Sampai satu hari saya bertemu dengan adik Amrozi, Ali Fauzi,” tutur Nanda di hadapan para siswa SMAN 7 Surakarta beberapa waktu lalu.

Sebagai manusia biasa, sudah sewajarnya seseorang akan merasakan marah, bahkan bisa saja berniat membalas apa yang telah diperbuat pelaku kepada korbannya. Namun Nanda berpikir bahwa kamarahan tak akan menyelesaikan masalah. ”Kemarahan tidak akan membuat teman-teman saya dan tangisan ibu dari anak kecil itu yang telah meninggal kembali lagi. Akhirnya, saya tekankan dalam diri saya bahwa harus belajar memaafkan. Bukan karena orang lain, tetapi karena diri saya. Saya memaafkan diri saya untuk ikhlas, sadar dan bangkit,” tuturnya.

Nanda menyadari, apapun yang dia lakukan tidak akan mengembalikan masa lalu. Akan tetapi berdamai dengan diri sendiri dan memaafkan orang lain membuat dirinya tegar dan kuat. Nanda ingin menatap masa depan dengan rasa lapang di dalam dada.

Baca juga Sudjarwo Bangkit Kembali Merajut Mimpi

”Saya memaafkan diri saya sendiri dan berdamai dengan masa lalu, ikhlas. Bukan untuk Mas Ali Fauzi, atau orang lain. Akan tetapi untuk kehidupan saya supaya saya bisa menjalani kehidupan ini dengan lebih baik lagi kedepan,” tutur Nanda.

Bersama AIDA, kini Nanda menjadi duta perdamaian dengan berbagi kisah kehidupannya kepada masyarakat. Semua itu dia lakukan semata-mata agar orang lain lebih memperhatikan dampak dari aksi kekerasan dan menyadari betapa perdamaian begitu mahal harganya.

Nanda pun sudah bertemu dengan sejumlah mantan pelaku yang telah bertobat. Baginya, tidak ada orang yang sepenuhnya salah. Akan tetapi, bagi mereka yang mampu meminta maaf dan memberikan maaf terhadap orang yang pernah berbuat salah, maka ialah pemenangnya. ”Pesan saya akhirnya, jangan membalas kekerasan dengan kekerasan,” pungkasnya.

Baca juga Tiga Kisah Kebangkitan Penyintas

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *