Home Pilihan Redaksi Sudjarwo Bangkit Kembali Merajut Mimpi
Pilihan Redaksi - Suara Korban - 14/11/2019

Sudjarwo Bangkit Kembali Merajut Mimpi

“Jangan pernah takut untuk bermimpi. Saya pernah punya mimpi dan mimpi itu hilang, namun saya bisa bangkit lagi dan bisa melewati masa-masa sulit itu. Apapun yang terjadi dengan kita, percayalah, itulah suratan takdir yang terbaik.”

Aliansi Indonesia Damai– Hari itu, 11 September 2004, meskipun sedang dihinggapi rasa lelah, Sudjarwo tetap berangkat bekerja ke Kantor Kedutaan Besar Australia di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Sudjarwo bekerja sebagai staf keamanan di kantor tersebut. Hari itu, ia mendapatkan giliran shift pagi.

Seperti biasa, sebelum melakukan tugas di bagian keamanan, Sudjarwo mengikuti apel pagi. Saat apel pagi, pimpinan apel sempat memperingatkan bahwa harus ada peningkatan keamanan karena terjadi ancaman teror. Apalagi dalam 2 tahun sebelumnya, beberapa aksi pengeboman menggemparkan Indonesia, seperti Bom Bali 2002 dan Bom JW Marriot tahun 2003. Bukan tidak mungkin Kedubes Australia juga menjadi sasaran dari aksi pengeboman.

Setelah apel pagi, Sudjarwo ditugaskan di bagian pengecekan kendaraan. Dia bertugas mengatur dan memberikan akses untuk kendaraan yang masuk. Segala sesuatu berjalan baik-baik saja, hingga jam menunjukkan pukul 10.30. Suara ledakan yang dahsyat mengagetkan dan memekakkan telinganya. Sudjarwo sempat bertanya-tanya pada temannya perihal suara apa yang baru saja terdengar. Namun belum sempat mendapatkan jawaban, Sudjarwo sudah tidak bisa lagi melihat apapun. Sudjarwo hanya bisa melihat kepulan asap putih dan mendengar gemuruh suara reruntuhan kaca di gedung sekitar.

Baca juga Tiga Kisah Kebangkitan Penyintas

Sudjarwo belum menyadari bahwa dirinya baru saja menjadi korban aksi pengeboman. Bahkan dia juga tidak tahu bahwa jaraknya sangat dekat dari titik pengeboman. Sesaat kemudian, Sudjarwo sempat melihat rekannya yang lain. Ia berusaha mengikuti rekannya yang tengah mencoba menyelamatkan diri. Sudjarwo mencoba berjalan namun kemudian terjatuh. Saat itulah Sudjarwo menyadari bahwa dirinya sedang terluka berat. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di kondisi yang demikian. Segalanya hancur di depan matanya. 

Ketika terjatuh, tidak ada satu orang pun yang menolong Sudjarwo. Ia sempat terkatung-katung di tengah jalan sambil menahan rasa sakit. Orang-orang sibuk menyelamatkan diri masing-masing, sebagian lainnya mungkin takut untuk menolong. Beberapa waktu berselang barulah salah seorang menolong dan meletakkannya di trotoar. Sudjarwo ditinggal di bawah pohon bersama satu orang lainnya dengan luka yang parah di bagian kaki.

“Ada cerita yang lucu tapi menyedihkan. Ketika saya ditolong dan diletakkan di bawah pohon, banyak sekali semut merah yang datang mengerubungi saya. Saya mencoba untuk menyingkirkannya tapi tidak bisa. Semakin lama semakin banyak. Kami seperti bangkai yang dikerubungi semut. Itu sakitnya luar biasa,” ungkap Sudjarwo saat berbagi kisahnya di salah satu kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA).

Baca juga Memaafkan, Hilangkan Dendam

Setelah itu barulah datang pertolongan dan Sudjarwo dibawa ke RS Metropolitan Medical Centre (MMC). Ia mengalami luka parah, terutama di bagian tangan kirinya. “Kondisi yang paling parah adalah tangan kiri saya hancur. Jari manis, tengah, dan kelingking saya hancur. Hingga saat ini saya tidak bisa mengepalkan tangan sebab sendi-sendinya sudah tidak ada,” tutur Sudjarwo.

Awalnya, dokter yang menangani Sudjarwo menyarankan agar tangan kirinya diamputasi karena dianggap sudah tidak mugkin terselamatkan. Saat itu pihak keluarga menolak. Akhirnya diputuskan untuk  mengambil tindakan memotong tulang panggul dan dibentuk seperti tulang jari. Jadi ruas-ruas tulang jari yang sekarang adalah potongan dari tulang panggul Sudjarwo. Tentu tidak bisa dibayangkan rasa sakit yang dirasakannya ketika tulang panggulnya harus dipotong. Bahkan hingga kini masih terdapat proyektil yang bersarang di tubuhnya yang tidak bisa diambil karena alasan keselamatan. Proyektil tersebut di antaranya ada di bagian gigi dan tulang rusuknya.

Sudjarwo juga menjalani masa pengobatan di Singapura karena alat medis di Indonesia belum cukup lengkap. Selama satu tahun Sudjarwo harus menjalani terapi khusus untuk kakinya yang juga terkena dampak ledakan. “Ini adalah hasil uji terapi selama setahun. Alhamdulillah normal, meskipun tidak sempurna tapi ini adalah hasil terbaik yang Tuhan kasih sama saya,” ungkap Sudjarwo dengan tegar. 

Berdamai dengan Diri Sendiri

Tidak mudah bagi Sudjarwo menghadapi masa-masa sulit pasca ledakan Bom. Di usianya yang saat itu baru menginjak 21 tahun, ia merasa mimpi-mimpinya terenggut. “Ada kekecewaan yang sangat mendalam. Jiwa saya bergejolak, marah, sedih. Semuanya bercampur aduk. Dalam pandangan saya ledakan itu telah merenggut hidup saya. Saya seperti ditelanjangi, cita-cita saya dipangkas oleh mereka,” kenangnya.

Baca juga Setiap Ujian Pasti Ada Jalan Keluar

Sudjarwo banyak merenung. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri, apa sesungguhnya rencana Yang Maha Kuasa di balik apa yang ia alami. Namun, Sudjarwo bersyukur, selama masa-masa sulit itu, keluarganya selalu ada untuk mendukung. Pada tahun 2007, ia memutuskan untuk menikah. Setelah menikah, istrinya pun selalu setia mendampinginya.

Sudjarwo juga sampat mengikuti konseling dengan Yayasan Pulih selama satu tahun untuk menyembuhkan traumanya. Selain itu, ia juga bergabung dengan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI). Di sanalah, ia bertemu dengan banyak teman sesama penyintas untuk saling menguatkan. Di sana pula ia banyak menemukan inspirasi untuk bangkit. Itulah obat terbaik yang pernah ia dapatkan.

Seiring berjalannya waktu, Sudjarwo mulai memahami bahwa apapun yang terjadi bukanlah sesuatu yang harus disesali. Ia sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri meskipun itu bukanlah hal yang mudah. Sudjarwo pun sudah bisa memaafkan mantan pelaku. Bersama AIDA kini ia telah bergabung menjadi Duta Perdamaian.

Baca juga Mulailah Berdamai Dengan Diri Sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *