Pertobatan Mantan Napiter: Pembinaan yang Tepat (Bagian 2)

Pengantar: Artikel berseri berikut adalah tentang Imran Rabbani, mantan Narapidana kasus terorisme di Amerika Serikat. Imran memutuskan meninggalkan paham ekstremisme yang pernah diyakininya sebagai kebenaran. Ada banyak faktor yang membuatnya sampai di titik itu. Redaksi menerjemahkan dan meringkas artikel yang dimuat di Los Angeles Times, 12 Januari 2020.

Ketika Imran tiba di fasilitas penahanan, Kapten Michael Thomas bersikap skeptis. Imran merupakan tahanan pertama di sana yang terkait dengan terorisme; sekitar 95% dari tahanan adalah anggota gang. Namun Thomas menyimpan perasaan itu sendiri.

“Aku akan menunjukkan kepadamu cara menghargai dan mempercayai kamu seperti aku mempercayai orang lain. Kita akan memulai lembaran baru di hidupmu,” Thomas mengingat perkataannya kepada Imran.

Meskipun beberapa penjaga melabelinya sebagai “bayi ISIS”, masih banyak yang memerlakukannya dengan baik. Otoritas federal menyarankan agar Imran dimasukkan ke dalam sel isolasi sampai mereka yakin dia tidak akan menyebarkan ideologi ISIS ke tahanan lain. Menghabiskan berjam-jam sendirian itu sulit. Imran pun merindukan ibunya.

Dia kemudian menemukan sosok ibu pada diri Pamela Muhammad, seorang petugas. Pamela pernah pergi ke kafetaria dan memotong label hot dog halal dan membawanya ke Imran. Hal itu untuk membuktikan apakah dia mematuhi hukum dan ajaran Islam. Pamela yang seorang muslimah pernah memberikan sajadah kepada Imran.

Baca juga Pertobatan Mantan Napiter: Perjumpaan yang Menjerumuskan (Bagian 1)

Pamela ingat, saat itu dia dengan lembut meletakkan tangannya di punggung Imran sambil mengatakan kepadanya, “Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa mengandalkanku. Bacalah al-Quran. Itu akan membuatmu tetap tenang karena ada beberapa hal yang masih kamu pelajari.”

Imran juga diberikan sesi terapi psikis bersama Dr. Linda June yang menangani unit kesehatan mental di sana. Mereka bertemu 45 menit selama dua kali dalam seminggu. Untuk membantu Imran melewati masa tahanannya, June memberikan buku tentang psikologi dan menunjukkan beberapa bab untuk dibaca. Imran yang awalnya membenci aktivitas membaca menyetujuinya. Dari situ ia justru mulai mengembangkan bakat di bidang psikologi.

Mereka mendiskusikan berbagai macam teori yang berhasil membantu Imran untuk memahami dirinya sendiri, seperti teori Carl Rogers tentang unconditional positive regard –menunjukkan penerimaan dan dukungan secara penuh untuk seseorang, apa pun yang orang lain katakan.

Baca juga Berdamai dengan Kenyataan Mendamaikan Keadaan

June merasa empati dengan kondisi Imran, namun juga tetap memberikan tantangan kepadanya. Ketika Imran kembali ke pusat penahanan, dia mengingat apa yang dikatakan oleh June, “Kelihatannya kamu punya masalah dengan pihak berwenang.”

Imran tertawa ketika dia ingat betapa defensifnya dia ketika June memberitahunya. Namun, setelah dia kembali ke selnya, dia menyadari bahwa June benar.

Buku-buku kemudian mulai memenuhi selnya. Dia memiliki beberapa buku favorit, di antaranya adalah The Alchemist, City of Thieves dan The Autobiography of Malcom X. Para tahanan biasanya hanya diperbolehkan untuk meminjam beberapa buku dalam suatu waktu, namun Pamela mendesak Kapten Thomas untuk memberikan pengecualian kepada Imran. Kapten Thomas menyetujui dan menjelaskan kepada petugas lain untuk membiarkannya.

Imran mengatakan, salah satu pelajaran penting yang ia dapat dari membaca adalah bahwa orang-orang lebih mungkin untuk menggunakan kekerasan ketika mereka dikelilingi oleh kekerasan pula. (Bersambung)

Sumber: https://www.latimes.com/nation/la-na-col1-terrorism-prison-radicalization-2019-story.html

Baca juga Potret Peacemaker untuk Indonesia Damai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *